Khilafah.id – Bagi saya keunikan Hizbut Tahrir bukan terletak pada analisa politik, pendapat fiqih dan sistem organisasinya, karena ketiga hal tersebut juga dimiliki oleh harakah Islam yang lain. Siapa pun bisa membuat analisa politik, mengeluarkan pendapat fiqih dan merancang sistem organisasi, asal mampu dan punya kapasitas. Jadi, pada aspek ini Hizbut Tahrir tidak otentik. Hizbut Tahrir biasa-biasa saja. Tidak ada yang istimewa.
Yang khas dari Hizbut Tahrir sebenarnya pada filsafat politik yang mereka anut. Akan tetapi, karena alergi dengan kata filsafat, yang dianggap ide kufur, Hizbut Tahrir memilih kata ide atau pemikiran (fikrah) untuk menunjukkan pikiran-pikiran abstrak, teoritis dan filosofis seputar masalah politik. Sebagai sebuah ide/pemikiran manusia, kebenaran filsafat politik Hizbut Tahrir bersifat relatif dan spekulatif. Tidak mutlak.
Filsafat politik Hizbut Tahrir tertuang di dalam beberapa kitab mutabannat (resmi) dan non-mutabannat (tidak resmi). Salah satu di antaranya, kitab Afkar Siyasiyah karangan Abdul Qadim Zallum. Beliau murid dan kader kepercayaan Taqiyuddin an-Nabhani. Tangan kanan Taqiyuddin an-Nabhani yang sudah menjadi anggota Lajnah Qiyadah sejak awal pendirian Hizbut Tahrir. Setelah Taqiyuddin an-Nabhani wafat, beliau yang menjadi Amir sampai menjelang wafat pada tahun 2003.
Karena buku ini ditulis oleh orang yang benar-benar terjun ke dalam dunia politik untuk merebut kekuasaan, terlalu abstrak dan sulit dipahami oleh orang yang tidak mengalami langsung perjuangan politik. Sebab, mereka tidak menemukan, mengalami dan menjiwai fakta dan realita politik yang diabstraksikan dan direfleksikan oleh penulisnya.
Kitab Afkar Siyasiyah salah satu kitab favorit saya waktu aktif di HTI. Buku tersebut memberi teori-teori untuk menjelaskan fenomena yang saya alami di lapangan. Bahkan sebelum bergabung dengan Hizbut Tahrir, saya sudah mempelajari filsafat politik Hizbut Tahrir dengan membaca sampai habis kitab Afkar Siyasiyah.
Filsafat dan pemikiran politik Hizbut Tahrir bau-bau kiri (Marxisme-Komunisme). Hal ini tidak terlepas dari pemikiran politik anti penjajahan di dunia Arab saat itu yang didominasi oleh pemikiran Sosialisme Arab. Hizbut Tahrir membalutnya dengan Sirah Nabawiyah. Seolah-olah perjuangan politik mereka napak tilas dari dakwah Rasulullah saw. Padahal, fakta, realitas, konteks, pelaku dan motifnya jauh berbeda.
Inilah sebab utama, mengapa pemikiran politik Hizbut Tahrir tidak terbukti kebenarannya secara empirik. Taqiyuddin an-Nabhani pendiri Hizbut Tahrir dan Abdul Qadim Zallum Amir kedua Hizbut Tahrir sampai akhir hayat mereka berdua gagal mendirikan Khilafah Tahririyah. Mereka meninggal dalam keadaan tanpa ada bai’at dipundaknya. Sedangkan, Atha Abu Rusytah Amir Hizbut Tahrir yang sekarang, di usia 78 tahun, belum juga mendapat tanda-tanda Khilafah Tahririyah akan tegak. Apakah nasibnya sama dengan dua Amir sebelumnya, meninggal dalam keadaan tanpa bai’at di pundaknya? Wallahu a’lam.
Pada zaman kepemimpinan Abdul Qadim Zallum, Hizbut Tahrir mengembangkan jaringan ke luar Arab, seperti Asia Tengah, Eropa, Amerika, Australia dan Indonesia. Perkembangan ini mengikuti pergerakan para diaspora syabab Hizbut Tahrir di seluruh dunia. Lalu, Hizbut Tahrir merevisi doktrin terkait tempat pusat dakwah (majal), dari Arab menjadi Arab dan luar Arab. Daerah majal ini diharapkan menjadi tempat berdirinya Khilafah Tahririyah. Hizbut Tahrir berpendapat. Khilafah Tahririyah boleh dan bisa berdiri di luar Arab.
Akan tetapi, Abdul Qadim Zallum tidak setuju Khilafah Tahririyah berdiri di negara-negara yang mayoritas non-muslim atau negara-negara yang dulunya bukan bagian dari wilayah Khilafah Utsmaniyah. Hal ini membuatnya bersilang pendapat dengan Umar Bakri Muhammad, pendiri Hizbut Tahrir di Inggris. Umar Bakri Muhammad berpendapat, Khilafah boleh dan bisa tegak dimanapun, termasuk di Inggris dan negara-negara non-Muslim lainnya.
Pada masa kepemimpinan Abdul Qadim Zallum, Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia dibawa oleh Abdurrahman al-Baghdadi. Seorang warga Lebanon yang menjadi anggota Hizbut Tahrir di Suriah, kemudian diaspora ke Australia. Dari Australia pindah ke Bogor. Abdurrahman al-Baghdadi yang merekrut dan mengkader Yusanto, A. Saefullah, Anwar Iman, Shiddiq al-Jawi, dan pentolan HTI lainnya.
Meski telah merevisi pendapat Hizbut Tahrir tentang tempat dakwah (majal) yang kemudian bertransformasi menjadi tempat Khilafah Tahririyah berdiri, afkar siyasiyah dari Abdul Qadim Zallum menjadi afkar sia-sia, sebab tidak ada dalil baik di dalam al-qur’an, hadits, ijma sahabat dan qiyas syar’iyah yang menunjukkan bahwa Khilafah Tahririyah akan tegak. Apalagi tegak di Indonesia. Kitab Afkar Siyasiyah hanya abstraksi dan refleksi penulis yang tidak bersandarkan kepada dalil-dalil syar’i. Kesimpulannya, kitab tersebut tidak layak untuk dijadikan panduan dan pedoman dalam perjuangan melanjutkan kehidupan Islam.