Khilafah.id – Dewan Ekskutif Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menggelar acara Seminar Nasional dan Bedah Buku “300 Hari di Bumi Syam“, di Gedung Prof. RHA. Soenarjo atau Convention Hall (CH) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Kamis beberapa waktu lalu. Dalam diskusi kali ini diterangkan bahwa khilafah di Indonesia tidak mungkin tengak.
Hadir dalam acara ini, Dr. Phil. Sahiron Syamsuddin (Wakil Rektor II UIN Sunan Kalijaga), Febri Ramdani (Penulis), dan Ust. Abu Nida (Pengasuh PP. Islamic Centre Bin Baz Bantul).
Dalam penyampaiannya, selaku Keynote Speaker, Sahiron menjelaskan, bahwa Islam memiliki prinsip universal, yaitu sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin. Bahwa Nabi Muhammad SAW. pun diutus tidak lain adalah untuk memberikan rahmat kepada seluruh alam. Hal ini jelas sekali tercantum di dalam Al-Qur’an; “Tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad), melainkan untuk menyebarkan rahmat, kasih sayang untuk seluruh alam” (Al-Anbiya:107).
“Jadi, justru sangat aneh kalau kemudian Islam dituduh sebagai agama yang mengajarkan kekerasan. Itu bisa dipastikan faktornya adalah politik”. Terangnya.
Selain menjelaskan secara normatif, Sahiron juga menceritakan kisah pengalaman seorang perempuan mantan simpatisan ISIS, yang merasa tertipu oleh propaganda dan iming-iming Negara Islam. Padahal, fakta di lapangan sama sekali jauh dari kata Islam. Ini sebagai salah satu indikasi kuat bahwa apapun alasannya khilafah di Indonesia tidak mungkin tengak.
Memasuki sesi inti, yakni Diskusi Bedah Buku, Febri Ramdani, selaku penulis memaparkan isi dari buku yang ia tulis, yang merupakan rekam jejak pengalamannya sebagai mantan simpatisan ISIS. Febri mengaskah bahwa khilafah di Indonesia tidak mungkin tengak.
“Saya nekat berhijrah dan bergabung dengan kelompok ISIS itu”. Ujarnya.
Sebenarnya, kenekatan Febri pergi ke Suriah didorong oleh banyak faktor.
“Saya ke sana itu, selain karena ingin menyusul keluarga yang sudah lebih dulu berangkat ke Suriah, juga karena terdoktrin propaganda ISIS yang tersebar di berbagai media. Terlebih lagi, kondisi pemerintah Indonesia yang dihinggapi oleh para koruptor, membuat saya kecewa. Kemudian saya memutuskan untuk hijrah ke Suriah dengan bayangan di sana akan hidup tentram sesuai syariat Islam. Tapi, ternyata sangat jauh dari apa yang saya bayangkan. Di sana justru yang terjadi adalah penyiksaan dan konflik yang mengatasnamakan Islam, tetapi sebenarnya sama sekali bukan”. Lanjutnya.
“Anehnya,” sambungnya, “di sana yang saya lihat adalah pertikaian antar sesama umat Islam. Kelompok sini mengucapkan ‘Allahu Akbar’, lawannya pun mengucapkan kalimat yang sama’. Jadi, menjadi kontradiksi dan menjadi boomerang satu sama lain “.
Selanjutnya, Noorhaidi, selaku Pembanding I memaparkan, bahwa memang propaganda kelompok-kelompok ekstrimis itu cukup masif, terlebih di kalangan pemuda. Selain kondisi psikologis yang rawan terjebak pada situasi kegamangan dalam mencari jati dirinya, faktor keluarga juga ikut berperan.
“Seperti Mas Febri ini kan juga karena faktor itu. Apalagi kondisi keluarga yang kurang harmonis, sehingga mudah untuk terpengaruh oleh propaganda yang mengiming-iming manis, jaminan kehidupan, dan lain sebagainya. Maka, saya sarankan kepada Mahasiswa untuk lebih giat lagi memperdalam dan memperluas dalam membaca dan mengkaji literatur keagamaan”.
Pembanding II, Ust. Abu Nida, menjelaskan bahwa sebenarnya penulis buku ini kesalahannya adalah dia pergi ke Suriah tidak dengan bekal ilmu pengetahuan, sehingga yang didapat adalah kerugian.
“Mas Febri ini kan pergi ke Suriah ya karena tertipu saja, sebab ia belum mempunyai ilmu pengeatahuan yang cukup. Sehingga ya mudah tertipu”. Jelasnya.
Menurut Abu Nida, yang namanya Khilafah itu hari ini tidak ada.
“Saya tidak percaya kalau hari ini ada Khilafah. Lagian, Negara Indonesia ini juga sudah bisa disebut sebagai Negara Islam (Muslim). Di Indonesia, dalam berkehidupan ya aman, nyaman saja”. Terangnya.
Selain itu, Abu Nida juga menyinggung soal hukum dalam Islam tentang status orang yang murtad.
‘Bahwa orang murtad (keluar dari agama Islam) itu boleh untuk dibunuh, iya. Akan tetapi siapa yang berhak melakukannya?. Itu adalah persoalan penafsiran Ulama. Maka, dalam belajar agama, kita mesti selektif dan harus merujuk kepada penafsiran para Ulama supaya paham arti makna yang terkandung dalam teks-teks Al-Qur’an maupun Hadits. Pungkasnya.