Khilafah.id – Tidak ibarat orang kebakaran jenggot, aktivis khilafah justru seperti tikus kebakaran lumbung. Kasus penyelewengan dana di Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) kini telah naik ke tahap penyidikan. Ahyudin, eks-Presiden ACT, telah menjalankan pemeriksaan di Bareskrim Polri selama 12 jam. Selain persoalan yang viral, ia mengaku juga diperiksa penyidik terkait dana dari pihak Boeing untuk korban kecelakaan Lion Air JT-610. Masalah ACT semakin lebar.
Apa yang sebenarnya ACT agendakan, layakkah dipandang hanya sebagai penilapan biasa? Atau ternyata ada agenda besar di baliknya? Tempo berhasil mengangkat ACT ke cover majalah, dan perlahan ACT undercover semakin terang ke publik. Menariknya, otoritas terkait berhasil menelusuri hingga ke dalam, misalnya agenda khilafahisasi. Artinya, kesewotan sejumlah pihak pro-ACT justru memancing kecurigaan, jangan-jangan ACT menyembunyikan rahasia besar.
Untuk diketahui, tanggapan pro-ACT datang dari berbagai pihak. Setelah Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Muhadjir Effendy mencabut izin ACT melalui Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 133/HUK/2022 tanggal 5 Juli 2022 tentang Pencabutan Izin Penyelenggaraan Pengumpulan Sumbangan Kepada Yayasan Aksi Cepat Tanggap, Selasa (5/7) lalu, pengeroyokan para aktivis khilafah mencuat di media sosial.
Tulisan ini merupakan opini pribadi menggunakan data-data yang ada, mengumpulkan puzzle yang berserakan untuk menyusun suatu hal; ACT undercover. Masalah pendanaan memang urgen untuk diungkap, sebab suatu gerakan dan agenda politis-ideologis tidak akan berhasil tanpa finansial yang stabil. Di sisi yang lain, funding khilafahisasi selalu bergerak underground. Maka tidak salah jika ACT undercover ditelusuri dan diungkap ke publik. Pendanaan abal-abal harus diungkap sedetail mungkin.
Kekompakan Aktivis Khilafah
Setelah ACT jadi sorotan publik, simpatisan ternama HTI, Aab Elkarimi, langsung bikin konten di TikTok berjudul “Trial by The Press”. Aab yang selama ini jadi pembela aktivis khilafah dalam sejumlah isu sekaligus pengkritik ulung untuk rezim Jokowi, mengatakan bahwa Tempo sengaja membuat opini tentang ACT yang membuat lembaga filantropi tersebut terpojokkan. Menurutnya, fenomena ACT adalah pola kerja mengerikan yang berakibat penghakiman lewat opini publik.
Investigasi Tempo pun ia anggap bias politik. Ia bahkan setuju petinggi ACT menjadikan ACT sebagai lumbung pangan, tempat para dedengkot ACT menumpuk kekayaan dengan gaji 250 juta perbulan. Wajar, kata Aab. Ia kemudian menyeret kasus ACT ke kasus partai politik. Pada kesimpulannya, ia menuduh adanya upaya mendiskreditkan ACT melalui pers; Tempo. Aab membolak-balik logika hingga pendengar merasa bahwa ACT harus dibela. Ironi yang kebetuan?
Selain Aab yang dari ACT, komentar pembelaan ACT juga datang dari Novel Bamukmin, Wakil Sekretaris Jenderal Persaudaraan Alumni (PA) 212. Ia memang setuju ACT diusut tuntas, tetapi ia menganggap kasus tersebut sangat kecil sehingga tidak perlu dibesar-besarkan. Selain itu, komentar pro-ACT juga lahir dari masyarakat umum yang memasifkan tagar #KamiPercayaACT di Twitter. Mengerikan. Kepentingan ideologis sangat jelas, itu semua demi menyelamatkan lumbung khilafahers.
Belum lagi PKS yang setelah beredar kabar ihwal keterhubungan ideologisnya dengan ACT justru cuci tangan. Pertanyaannya, mengapa pihak-pihak yang selama sering menyuarakan khilafah sangat kompak membela ACT? Ini jawabannya: ACT banyak membantu agenda-agenda politik ideologis tanpa sepengetahuan publik. Mereka sering kali jadi fasilitator untuk agenda di luar khitah, yang tujuannya adalah memuluskan cita-cita awal dari ideologi organisasi itu sendiri. Agenda khilafah.
Harus diakui bahwa lembaga filantropi lainnya pasti ada yang melakukan hal yang sama dengan ACT, hanya saja tidak terpublikasikan. Namun mempersoalkan kenapa hanya ACT yang disorot dan dicabut izinnya adalah berusaha membiarkan agenda-agenda rahasia ACT terus berlangsung. Di bawah tanah, ACT tidak setulus di permukaan. Jika para aktivis khilafah kompak membela demi keberlangsungan finansial mereka, maka ACT undercover harus diusut sangat tuntas ke bagian paling dalam.
ACT dan Lembaga Sejenis
Lembaga filantropi di negara ini sangat banyak. Setiap ormas punya lembaga zakat, dan penghimpun dana-dana kemanusiaan menumpuk dari berbagai latar belakang politik dan latar belakang ideologis. Ada yang fokus di bidang bantuan bencana, juga ada yang fokus memfasilitasi kemiskinan di daerah-daerah terpencil. Jadi lembaga sejenis ACT memang berserakan dan para donatur jarang sekali menyelisik aliran dana dan kepentingan para filantropis tersebut.
Dalam konteks kepentingan idelogis itulah lembaga filantropi bernaung secara sembunyi-sembunyi di bawah ormas dan partai tertentu. ACT undercover sudah menjadi rahasia umum, dalam arti tidak sedikit masyarakat yang tahu bahwa lembaga filantropi tidak jarang jadi lumbung dana khilafahisasi. Namun opini yang dimainkan oleh para simpatisannya menutupi fakta-fakta penting dari rahasia agenda tersebut, sehingga khilafahisasi berlanjut dan pendanaan mereka tetap berkelanjutan.
Analoginya sederhana, bagaimana cara mengetahui bahwa sebuah lumbung padi telah jadi sarang tikus yang dengannya mereka bertahan hidup? Mudah: bakar lumbungnya. Sebagian tikus akan mati, namun sebagian lainnya akan morat-marit mencari perlindungan dan pembelaan. Yang jelas semua tikus ingin lumbungnya selamat demi keberlangsungan hidup, maka mereka akan teriak-teriak bahkan mungkin menggigit si pembakar lumbung. Seperti itulah para aktivis khilafah setelah borok ACT terbongkar.
Agenda khilafahisasi akan semakin tersendat di masa-masa yang akan datang. Dan para aktivis khilafah tidak akan tinggal diam. Mereka akan kompak untuk menggigit siapa pun, karena tanpa lembaga filantropi manipulatif tersebut mereka akan krisis pendanaan. Maka, umat Islam di Indonesia harus cerdas; tidak mudah luluh oleh donasi palsu, yang memanfaatkan kedermawanan masyarakat justru untuk menghancurkan negara. Satu kata untuk agenda khilafahisasi: lawan!
Ahmad Khoiri, Mahasiswa SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.