Khilafah.id – Tulisan Denny JA berjudul “Mengapa Top 10 Negara Paling Bahagia, Mayoritas Warga Tak Lagi Menganggap Agama Penting?” memang sudah lama terbit dan saya sudah membacanya diawal tulisan itu terbit. Namun sepertinya tulisan ini cukup menarik sehingga terus bersirkulasi hingga saya kembali mendapat postingan tulisan ini di tahun 2022.
Melalui tulisan ini saya coba mengkritisi tulisan Denny JA (untuk menghormati penulisnya, selanjutnya saya gunakan kata “Beliau”), walaupun agak terlambat, karena apa yang Beliau sampaikan berpotensi membuat pembaca menarik kesimpulan yang salah tentang hubungan agama dan kebahagiaan. Di akhir tulisan, saya mencoba menunjukkan penelitian yang bertentangan dengan asumsi yang Beliau sampaikan.
Sebagai awal, sepertinya Beliau tidak menjelaskan alasan menggunakan survey terkait nilai penting agama yang diasosiasikan dengan kebahagiaan. Hal ini justru yang menjadi awal penarikan kesimpulan yang salah. Misalnya, mengapa tidak menggunakan data lain, seperti partisipasi politik?
Saya coba ilustrasikan sebagai berikut: tingkat partisipasi politik di 196 negara, dikutip dari Internasional IDEA, adalah:
Untuk kategori negara paling bahagia, tingkat partisipasi dalam pemilu:
1. Finlandia (66,85%)
2. Denmark (85,89%)
3. Switzerland (48,40%)
4. Iceland (tak ada data)
5. Norway (78,23%)
6. Netherlands (74,56%)
7. Sweden (85,81%)
8. New Zealand (76,95%)
9. Austria (74,91%)
10. Luxembeg (91,15%)
Sedangkan untuk negara yang mengganggap agama itu penting, partisipasi dalam pemilunya:
1. India (66,40%)
2. Philipines (77,31%)
3. Arab Saudi (tak ada data)
4. Thailand (46,79%)
5. Indonesia (75,11%)
Seperti kita tahu, Arab Saudi dan Thailand adalah negara kerajaan, sehingga sulit dibandingkan dengan negara non-kerajaan. Jadi mari kita lihat data dari Filipina dan Indonesia dimana partisipasi politik rakyat Filipina lebih besar dibandingkan lima negara paling bahagia. Adapun Indonesia, partisipasi politiknya lebih baik dari empat negara paling bahagia.
Tentu saja ini bukan alasan untuk mengatakan bahwa “Lima dari 10 negara paling bahagia, partisipasi politiknya lebih rendah dibanding negara yang religius” Jelas ini pernyataan yang salah arah, over generalisasi, dan tidak perlu diikuti. Inilah alasan utama kritik terhadap tulisan beliau.
Selain itu, Beliau juga menunjukkan bahwa kebahagiaan Arab Saudi berada pada peringkat ke 27 dari 153 negara, serta Filipina dan Thailand, peringkat 52 dan 54, termasuk kategori menengah atas. Hanya India yang berada pada posisi rendah, yaitu peringkat 144. Lalu mengapa, Beliau seolah mengatakan kalau agama tidak bermanfaat terhadap kebahagiaan? Bukankah data tidak menununjukkan hal itu? Akibatnya, tulisan Beliau dapat mendorong pada kesimpulan yang salah arah.
Terlepas dari survey tersebut, mari kita analisa dengan lebih kritis hubungan dan agama dan kebahagiaan.
Pertama, Robinson (2009) menunjukkan bahwa data masyarakat tidak bisa digunakan untuk menggambarkan individu. Artinya, melihat hubungan agama dan kebahagiaan tidak bisa didasarkan hanya pada indeks kebahagiaan di level negara dan penilaian masyarakat terhadap agama secara makro. Hal ini dikarenakan yang terjadi pada level makro belum tentu sama dengan yang dirasakan pada level individu.
Kedua, Mochon, Norton, dan Ariely (2011) menemukan bahwa kebahagiaan orang yang sangat religius lebih tinggi daripada individu Atheis, Agnostic, atau orang yang tidak beragama. Namun, menariknya, orang yang rendah religiusitasnya, kebahagiaannya justru dibawah orang Atheis. Adapun orang yang religiusitasnya pada tingkat sedang-sedang saja, kebahagiaannya jauh lebih rendah, yaitu dibawah kelompok Atheis, Agnostik, dan orang tidak beragama.
Hasil penelitian yang tersebut menunjukkan bahwa agama bisa berdampak positif dan disaat yang sama juga negatif. Dengan kata lain, religiusitas dan kebahagiaan tidak berkorelasi linier, namun lebih seperti parabola dimana kedua ujungnya lebih tinggi kebahagiaannya daripada berada pada tingkat tengah.
Adapun alasan ketiga, terkait dengan negara yang religius. Stavrova, Fetchenhauer, dan Schlösser (2013) menemukan bahwa kebahagiaan orang beragama lebih tinggi jika mereka tinggal di negara yang mayoritas religius dibanding yang tinggal di negara kurang religius.
Artinya, jika orang beragama tinggal di negara yang religius, maka kebahagiaannya akan lebih baik daripada orang beragama yang tinggal di negara yang kurang religius. Dengan demikian, penelitian ini membantah asumsi bahwa agama, khususnya religiusitas kelompok, tidak meningkatkan kebahagiaan individu.
Berdasar pada tiga kajian yang dijelaskan diatas, saya rasa tulisan Beliau yang mencoba mengkaitkan antara kebahagiaan dengan agama pada level makro, harus dimaknai secara hati-hati agar tidak terjerumus pada kesimpulan yang salah.
Tentu saja kita juga tidak bisa mengatakan bahwa semua orang beragama pasti baik, karena kita juga temukan fakta sebaliknya. Hal ini perlu ditekankan dalam rangka mengkaji agama secara netral. Penjelasan lebih lengkap mengenai netralitas tersebut dapat dilihat pada tulisan di Jurnal Ulayat mengenai netralitas saat membahas pengaruh agama pada Individu (silahkan merujuk pada sumber bacaan).
Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan bahwa hubungan agama dan kebahagiaan sangat kompleks. Dengan demikian, menyederhanakan hubungan keduanya hanya menggunakan data survey terhadap negara, berpotensi mendorong penarikan kesimpulan yang salah. Oleh karena itu, diperlukan pembahasan yang lebih detail dan kajian yang lebih mendalam untuk menjelaskan hubungan keduanya.
Subhan El Hafiz, Dosen Fakultas Psikologi UHAMKA. Saat ini sedang melanjutkan studi di Universiti Malaya, Malaysia dengan tema kajian religiusitas dan well-being.