Khilafah.id – Belakangan viral di media sosial aksi seorang laki-laki mengobrak-abrik sesajen di Gunung Semeru. Ia beralasan, sesajen inilah yang membuat gempa, erupsi, dan bencana alam yang menimpa Jawa Timur.
Aksi sweeping bukan hal baru yang dilakukan kelompok ini. Jualan amar ma’rūf nahi munkar, motivasi terbesar untuk melakukan pelbagai kekerasan. Sialnya, aksi kekerasan yang menelan korban.
Lantas bagaimana Islam mengadopsi budaya dan tradisi yang ada di Nusantara? Apakah Islam anti budaya, atau Islam anti tradisi?
Tak bisa dipungkiri, sesajen merupakan budaya dan tradisi yang secara turun-temurun di Indonesia. Para ulama menyatakan fenomena sesajen sejatinya memiliki dua dimensi hukum, yang tergantung pada pelakunya.
Sesajen bisa dihukumi sebagai tindakan haram, apabila niat pelakunya untuk berlindung pada jin dan makhluk halus. Pasalnya itu perbuatan syirik. Yang dihukumi sebagai dosa besar. Dalam Islam, tindakan syirik perbuatan terkutuk, sebab hanya Allah tempat meminta pertolongan.
Pada sisi lain, sesajen jadi dihukumi mubah. Akan tetapi ada catatan penting, hewan yang disembelih, makanan yang disajikan, dan sajian yang diberikan semata-mata untuk mendekatkan diri pada Allah, dan memohon pertolongan Allah agar terhindar dari gangguan dan teror makhluk halus.
Penjelasan ini diterangkan oleh Syekh Sayyid Syatha Dimyathi dalam kitab I‘anatut Thalibin, bahwa hewan yang disembelih dan makanan yang disajikan sebagai petuntuk taqarrub pada Allah dari gangguan makhluk jahat hukumnya boleh. Pada konteks ini, Allah akan mampu menyelematkan dari gangguan makhluk jahat; iblis dan jin.
Namun, jika menyembelih dan menyajikan makanan tersebut tujuan berlindung dari jin, tidak mendekatkan diri pada Allah, maka daging sembelihannya itu haram, jadilah daging itu bangkai. Lebih jauh lagi, jika tujuan sesajen itu mengabdi pada jin, maka itu adalah kufur.
ﺑﻞ ﺇﻥ ﻗﺼﺪ اﻟﺘﻘﺮﺏ ﻭاﻟﻌﺒﺎﺩﺓ ﻟﻠﺠﻦ ﻛﻔﺮ
Bahkan jika menyembelih hewan dengan tujuan mendekatkan diri dan ibadah kepada jin maka ia telah kafir
Sementara itu, Ibnu Hajar Al Haytami dalam kitab Tuhfatul Muhtaj, menyatakan penyembelihan hewan untuk tujuan taqarrub pada Allah, maka hukumnya boleh. Simak penjelasan Ibnu Hajar berkata:
ﻭﻣﻦ ﺫﺑﺢ ﺗﻘﺮﺑﺎ ﻟﻠﻪ ﺗﻌﺎﻟﻰ ﻟﺪﻓﻊ ﺷﺮ اﻟﺠﻦ ﻋﻨﻪ ﻟﻢ ﻳﺤﺮﻡ، ﺃﻭ ﺑﻘﺼﺪﻫﻢ ﺣﺮﻡ
“Barang siapa menyembelih hewan untuk mendekatkan diri kepada Allah agar terhindar dari gangguan jin, maka tidak haram (boleh). Atau menyembelih dengan tujuan kepada jin maka haram”
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis bahwa jin dan makhluk halus lainnya memakan tulang dan daging. Suatu saat Rasulullah dimintai bekal makanan oleh sekelompok jin, Rasulullah lalu bersabda sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim;
لَكُمْ كُلُّ عَظْمٍ ذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ يَقَعُ فِي أَيْدِيكُمْ أَوْفَرَ مَا يَكُونُ لَحْمًا وَكُلُّ بَعْرَةٍ عَلَفٌ لِدَوَابِّكُمْ. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَلَا تَسْتَنْجُوا بِهِمَا فَإِنَّهُمَا طَعَامُ إِخْوَانِكُمْ»
Untuk kalian (golongan jin) segala tulang hewan yang disebut nama Allah (pada saat penyembelihan), yang kalian dapatkan masih banyak dagingnya, dan setiap kotoran binatang adalah makanan untuk binatang kalian (golongan jin).
Oleh karenanya janganlah (golongan manusia) beristinjak (cebok) dengan keduanya, sebab keduanya adalah makanan saudara-saudara kalian”.
Inilah hadis yang menjelaskan terkait bahwa jin dan makhluk halus lainya ternyata menyukai tulang dan daging. Untuk itu, pelbagai sedekah yang telah diberikan pada jin dan makhluk halus, tidak termasuk Tindakan mubazir.
Sementara itu, Ibnu Taymiyyah dalam kitab Daqāiq at Tafsīr al Jāmi’ Li Tafsīr Ibn Taimiyah, menyebutkan bahwa pelaksanaan nahi munkar tidak diperbolehkan dengan kekerasan. Tidak diperbolehkan juga dengan ujaran kebencian dan caci maki.
Lebih lanjut, yang berhak melakukan nahi munkar adalah pemerintah. Untuk itu, tidak boleh dengan menggunakan cara-cara yang melampaui batas seperti perusakan dan anarkis. Pendekatannya harus dengan penuh pengetahuan, pendekatan sabar, dan lemah lembut.
أن يقوم بالأمر والنهي على الوجه المشروع، من العلم والرفق، والصبر، وحسن القصد، وسلوك السبيل القصد
“Mengubah kemunkaran harus dilakukan dengan cara yang dapat dibenarkan. Meliputi pemahaman tentang baik buruk, memiliki kasih sayang, kesabaran, niat yang lurus, berperilaku moderat dan tindak ekstrim (suluk as-sabil al-qasd).
Demikian penjelasan hukum sesajen dalam Islam. Semoga bermanfaat.
Zainuddin Lubis, Tim Redaksi media keislaman.