Khilafah.id – Selama menjadi mahasiswa filsafat, saya kerap mendapatkan cerita dari kawan-kawan sejurusan tentang respon negatif orang-orang terdekat mereka saat mengetahui kuliah di jurusan filsafat. Respon tersebut kurang lebih seperti ini: “Hati-hati o kalo terlalu serius mempelajari filsafat!” ; “Tidak masalah kamu belajar filsafat, asalkan aqidah mesti dikuatkan” atau yang paling parah “Hati-hati nanti jadi murtad, lho.
Kawan-kawan saya mempunyai cara yang berbeda-beda dalam menanggapi respon tersebut. Ada yang hanya tersenyum saja, ada yang mengalihkan topik pembicaraan dan ada juga yang mengajaknya berdiskusi atau berdebat. Saya tak terlalu terkejut melihat cerita kawan saya itu. Sudah berkali-kali filsafat mendapatkan stigmatisasi hingga berujung pada normalisasi.
Selain dianggap ilmu yang mengawang-awang atau ilmu yang dapat mengakibatkan orang menjadi gila, filsafat juga kerap divonis sebagai ilmu yang dapat menjerumuskan orang menjadi kafir, murtad atau atheis. Stigma ini berjangkar pada anggapan bahwa filsafat yang mengedepankan rasio dapat mengobrak-abrik keimanan seseorang terhadap Tuhan. Orang yang beragama kelak akan mempertanyakan, meragukan dan kemudian meninggalkan agama yang dianutnya setelah mempelajari filsafat.
Mengingat filsafat dapat merongrong kebenaran agama, maka bukan saja tidak perlu, tetapi juga tidak boleh (haram) untuk mempelajarinya. Kalaupun perlu, ada syarat-syarat tertentu yang tak bisa dilewati oleh kebanyakan orang. Sebenarnya, tak hanya orang awam yang menstigmatisasi filsafat, melainkan bahkan orang yang sudah diakui kredibilitas ilmu keagamaannya.
Seringkali saya menyaksikan bagaimana ustadz-ustadz populer di media sosial mengibliskan filsafat. Argumen yang mereka utarakan bermacam-macam. Ada yang berargumen karena genealogi ilmu filsafat berasal dari kaum penyembah Dewa-Dewa, ada yang menganggap kegiatan filosofis itu sia-sia saja karena kebenaran sudah ditetapkan oleh Tuhan dan bahkan ada yang meremehkan bahwa ilmu filsafat itu tidak ada gunanya.
Persoalan tersebut seolah-olah menegaskan bahwa filsafat dan agama itu bertentangan. Kedua bidang itu laiknya air dan api yang tak akan pernah bisa dipertemukan. Agama cukup menengok wahyu dan karenanya tak membutuhkan filsafat untuk menggapai ujung cakrawala kebenaran. Justru ketika agama menggunakan filsafat, maka ia dapat meluluhlantakkan kebenaran wahyu. Namun, benarkah demikian? Tentu saja tidak. Dalam konteks ini, kita perlu untuk mengangkat pemikiran Al-Kindi mengenai harmonisasi antara agama dan filsafat.
Al-Kindi adalah filosof pertama dalam dunia Islam. Ia lahir di Kufah (sekarang Iraq) pada tahun 801 M pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid. Ia hidup di masa filsafat belum dikenal baik dalam tradisi pemikiran Islam. Tepatnya, saat Islam masih mengalami transisi dari teologi tradisional ke filsafat.
Dalam kondisi tersebut, ia menghadapi serangan dan tantangan dari kelompok tertentu yang menganggap filsafat dan filosof adalah produk bid’ah dan kekufuran. Inilah awal dari pertentangan antara agama dan filsafat dan celakanya, bertahan sampai sekarang.
Untuk menuntaskan persoalan tersebut, Al-Kindi berupaya untuk mengharmonisasikan agama dan filsafat dengan beberapa tahapan. Pertama, menampilkan kisah-kisah atau riwayat-riwayat mengenai persaudaraan antara bangsa Yunani dan bangsa Arab. Dalam konteks ini, Yunan (manifestasi dari bangsa Yunani) adalah saudara dari Qatan (nenek moyang bangsa Arab).
Melalui kisah tersebut diharapakan umat muslim dapat insyaf bahwa bangsa Yunani dan bangsa Arab adalah saudara yang karenanya alih-alih bermusuhan, alangkah baiknya mencari kebenaran bersama, meskipun dengan jalan yang berbeda-beda.
Kedua, menegaskan bahwa kebenaran bisa datang dari siapa saja dan umat Islam tak perlu sungkan atau takut untuk mengambil dan mempelajarinya. Al-Kindi menulis dalam kitabnya yang berjudul Al-Falsafa ‘Ula:
“Kita hendaknya tidak merasa malu untuk mengakui sebuah kebenaran dan mengambilnya darimanapun ia berasal, meski berasal dari bangsa terdahulu ataupun bangsa asing. Bagi para pencari kebenaran, tidak ada yang lebih berharga kevcuali kebenaran itu sendiri. Mengambil kebenaran dari orang lain tersebut tidak akan menurunkan atau merendahkan derajat sang sang pencari kebenaran, tapi justru menjadikannya terhormat dan mulia.
Ketiga, menyatakan bahwa mempelajari filsafat merupakan kebutuhan dan bukan kemewahan atau keanehan. Ia sering menyerukan argumen ini kepada orang yang fanatik beragama atau anti-filsafat. Dengan menggunakan metode dialektika, ia bertanya kepada mereka: “apakah filsafat itu perlu atau tidak perlu”. Jika filsafat itu perlu, maka ia harus menjelaskan alasannya. Begitupun sebaliknya, jika filsafat tidak perlu, mereka juga harus menjelaskan alasannya. Melalui dialektika ini, orang yang mengangap filsafat tidak perlu tergiring untuk berpikir, sehingga merasakan bahwa salah satu aktivitas filosofis tersebut sangatlah krusial.
Argumen ketiga ini juga digunakan oleh Al-Kindi untuk membela bahwa filsafat dan filosof tidak merongrong agama dan wahyu, melainkan justru mengukuhkan dan menegakkan tiang agama.
Keempat, menyatakan bahwa meskipun filsafat dan agama memiliki metode yang berbeda, namun sebenarnya melangkah pada tujuan yang sama, baik dari segi teoritis maupun ptraktis. Secara teotritis, keduanya sama-sama berusaha untuk menggapai kebenaran yang tertinggi dan terakhir. Secara praktis, keduanya sama-sama mengarahkan manusia untuk mencapai kehidupan moral yang lebih tinggi.
Bila demikian, pertanyaannya, apakah agama dan filsafat memiliki taraf yang sama? Dengan kata lain, apakah ilmu yang bersumber kepada wahyu memiliki taraf yang sama dengan ilmu yang bersumber dari akal pikiran semata?
Menurut Atiyeh, Al-Kindi tidak konsisten dalam menjawab pertanyaan ini. Pada satu tulisannya, ia mempertahankan argumen bahwa agama dan filsafat itu merupakan ilmu pengetahuan yang sederajat. Namun, dalam tulisan lainnya, ia memasukkan pengetahuan kenabian ke dalam pengetahuan filsafat; dan di tulisan lainnya lagi, ia justru menempatkan filsafat di bawah pengetahuan agama (George N. Atiyeh: 1983, 23).
Meski demikian, menurut Khudori Sholeh, ketidakonsistenan tersebut merupakan sikap kehati-hatian Al-Kindi dalam menghadapi persoalan yang sensitif ini. Persoalan hubungan antara agama dan filsafat merupakan persoalan yang sensitif saat itu dan bahkan sampai sekarang.
Dengan berpikir demikian, sebenarnya, ada dua keuntungan simultan yang bisa diperoleh: ia tetap dapat mempertahankan filsafat dari pihak-pihak yang tidak menyukainya seklaigus dapat meredam kemarahan kaum agamawan.
Kelima, memfilsafatkan ajaran dan pemahaman agama sehingga selaras dengan pemikiran filosofis. Upaya ini dilakukan oleh Al-Kindi dengan memberikan makna alegoris (takwil) terhadap teks-teks atau nash-nash yang tidak senafas dengan akal pikiran.
Misalnya, ketika dia diminta Ahmad, putra khalifah Al-Mu’tashim, untuk menjelaskan surat Ar-Rahman ayat 6 yang artinya: “Bintang-bintang dan pepohonan sujud kepada-Nya”. Dalam hal ini, Al-Kindi memaknai sujudnya bintang-bintang dan pepohonan sebagai wujud menaati perintahnya Allah.
Akbar Darojat, Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Surabaya Angkatan 21.