Khilafah.id – Urusan kamuflase HTI adalah ahlinya ahli. Masalah gerakan bawah tanah, mereka setali tiga uang dengan Salafi-Wahabi. Saya yakin semua masih ingat ketika beberapa waktu yang lalu, Salafi-Wahabi mendekati polisi sampai Polisi Sunnah mencuat ke permukaan. Hari ini, HTI mencoba mendekati TNI. Pendekatannya menggunakan pewakafan Al-Qur’an oleh Badan Wakaf Al-Qur’an (BWA) yang diketuai pentolan HTI. Sangat mengkhawatirkan.
Sejujurnya, modus semacam ini bukan fenomena baru. Bantuan kemanusiaan, sebagai contoh, merupakan taktik paling efektif menggaet anggota atau simpatisan. Sedekah Al-Qur’an ke pesantren tertentu lalu berakhir dengan kerja sama juga menjadi taktik lain yang sering kali terjadi. Kamuflase HTI maupun Salafi-Wahabi tidak pernah tebang-pilih. Apa pun akan dipelintir dan dieksploitasi demi agenda mereka: mencari jemaah sebanyak-banyaknya.
Terminologi “korporasi terselubung” pernah terlibat atas keberlangsungan terorisme di Indonesia. Pendanaan mereka menggunakan segala cara. Mencari uang dan mencari anggota dilakukan dengan modus serupa, yaitu merasuki semua hal dan menggerogoti semua pihak. Salafi-Wahabi tidak asing lagi dan berjamuran di area perkotaan; kondisi masyarakat dengan keislaman yang minim. Kamuflase merupakan momok yang amat menakutkan.
Al-Qur’an dan hadis menjadi alat kamuflase HTI dan Salafi-Wahabi. Konsolidasi dengan aparat negara sebagai kekuatan organisasi, kali ini, mereka ekspektasikan. Jika dibuat klasifikasi, upaya mendekati militer adalah perluasan sayap politik-gerakan, sementara upaya mendekati masyarakat umum adalah perluasan sayap ideologi-wacana. Induk atau referensi dari semua propaganda tersebut, mirisnya, menggunakan Al-Qur’an dan hadis.
Al-Qur’an dan Hadis Dijadikan Siasat
Mengapa Al-Qur’an dan hadis selalu dijadikan siasat, baik oleh HTI maupun Salafi-Wahabi, untuk menebarkan doktrin mereka dan menambah kekuatan? Jawabannya bisa ditelisik dari posisi keduanya dalam agama Islam. Siapa pun kalau sudah sama Al-Qur’an maka selesai urusannya. Otoritas Al-Qur’an dan hadis yang sangat tinggi menjadikan keduanya rentan dieksploitasi untuk kepentingan ideologi tertentu. Sangat buruk.
Dalam sejarah, eksploitasi Al-Qur’an sudah berhasil menipu Sayyidina Ali dan umat Islam dalam peristiwa arbitrase (tahkim). Juga telah menipu umat Islam hingga terpecah ke dalam beberapa aliran teologi. Penyalahgunaan Al-Qur’an untuk kepentingan kelompok bahkan menyisakan sejarah mengerikan: pengafiran-pembunuhan. Begitu juga hadis, yang sering kali menjadi landasan neo-Khawarij untuk membid’ahkan sesama umat Islam.
Mungkin, karena itu, keterpengaruhan dengan kamuflase HTI dan Salafi-Wahabi menjadi maklum. Artinya tidak mengherankan seseorang rentan terperosok jebakan mereka. Siapa yang mau menyangkal kalau sudah dibilang, “ini menurut Al-Qur’an dan hadis…” atau “Al-Qur’an menyuruh kita begini…”. Bahkan dalam doktrin yang tidak masuk akal sekalipun, seseorang tetap rentang tertipu. Dan ini disadari oleh HTI dan Salafi-Wahabi, maka mereka mengeksploitasinya.
Politisasi Al-Qur’an dan hadis jelas bukan fenomena baru, dan barangkali merupakan arus yang tidak mampu dibendung oleh siapa pun. Yang bisa kita lakukan adalah mengantisipasi pemanfaatan kekuatan (power) yang merupakan hasil siasat tersebut. Dalam konteks HTI dan Salafi-Wahabi, yang menakutkan adalah keberkawanan mereka dengan aparat, baik polisi maupun TNI. Makar atau bughat tidak akan terelakkan jika itu terjadi.
Jadi yang dimaksud Al-Qur’an dan hadis sebagai siasat tidak lain adalah siasat merebut negara, atau menggulingkan pemerintahan yang dianggap thaghut ke dalam sistem mereka. Sementara Salafi-Wahabi berkedok pemurnian Islam, HTI berkedok kejayaan Islam. Islam yang murni dan berjaya adalah impian akhir dari eksploitasi Al-Qur’an dan hadis. Yang namanya siasat, apa pun akan dilakukan. Hati-hati pun merupakan keharusan kita.
Keharusan Hati-hati Kita
HTI sudah masuk ke pendidikan dengan mendirikan yayasan di bawah kelola para ideolognya. Mereka sudah juga mendirikan yayasan yang bergerak atas nama kemanusiaan, termasuk Yayasan Cinta Qur’an di bawah asuhan Fatih Karim, tokoh HTI yang merupakan mentor Ustaz Felix Siauw. Melalui sayap pendidikan dan kegiatan kemanusiaan, HTI berhasil merekrut simpatisan dari berbagai lini, mulai mahasiswa hingga militer.
Di lain pihak, Salafi-Wahabi juga demikian. Mereka menguasai majelis-majelis, pengajian, dan mengarusutamakan puritanisme Islam. Kementerian Agama punya agenda moderasi beragama, tapi iklim birokratis membuat generasi milenial memilih yang lebih murni untuk Islam, yaitu para dai Salafi-Wahabi. Adalah sesuatu yang tidak dapat disangkal bahwa mereka telah memenangkan satu kompetisi: mendominasi wacana keislaman populer.
Dengan fakta tersebut, tidak ada alasan lagi bagi kita untuk tidak berhati-hati. Langkah mengantisipasi gerakan HTI dan Salafi-Wahabi juga harus jadi sorotan otoritas terkait, utamanya Kementerian Agama. Baiknya, Kemenag tidak hanya fokus dalam upaya-upaya yang terlalu teknis-birokratis, melainkan berbasis milenial. Percuma moderasi beragama diwacanakan, tapi wacana populernya tetap dimenangkan HTI dan Salafi-Wahabi.
Al-Qur’an dan hadis adalah pedoman yang sangat memikat, melebihi “kebudayaan” yang menjadi basis narasi Kemenag. Misalnya begini: bagi orang yang baru mengenal Islam jika ditanya mau pilih Al-Qur’an atau budaya lokal, mereka akan memilih Al-Qur’an. Meskipun perbandingan keduanya tidak tepat, namun doktrin kamuflase aktivis HTI dan Salafi-Wahabi sangat kuat, sementara para jemaahnya tidak punya basis keislaman yang kokoh. Sukses sudah.
Dikepung menggunakan eksploitasi Al-Qur’an dan hadis oleh kalangan HTI dan Salafi-Wahabi adalah melapetaka keislaman dan fitnah agama yang menjijikkan. Tanpa dasar keilmuan yang kokoh, siapa pun akan mudah terbawa arus indoktrinasi mereka. Polisi, tentara, mahasiwa, dan para jemaah sudah banyak digerus menggunakan kamuflase HTI. Seluruh elemen masyarakat berhasil diraih. Lalu di manakah posisi wacana moderasi beragama? Tidak ada. Kalah sudah. Hati-hati!