Khilafah.ID – Di dalam negara yang majemuk ini, Indonesia dihadapkan dengan banyak problematika kehidupan, tidak hanya problem sosial, budaya, maupun pendidikan saja, melainkan ideologi bangsa pun termasuk, yang bahkan hingga detik ini masih terus dipermasalahakan oleh segelintir orang.
Segelintir orang itu, ingin menggantikan ideologi bangsa Indonesia dengan ideologi Islam. Dengan berbagai dalih, mereka begitu nafsu. Apalagi di waktu belakangan ini, berbarengan dengan dikuasainya Afghanistan oleh Taliban, seolaha-olah memberikan semangat kepada segelintir orang di Indonesia itu untuk terus memperjuangkan terwujudnya perubahan ideologi di Indonesia agar benar-benar tercipta.
Tidak hanya di dunia maya, secara langsung ia terus terang mendengung-dengungkan perjuangan itu, dengan berbagai cara. Hal ini tak terkecuali teman saya sendiri, terbukti saat ia berdialog dengan saya beberapa hari yang lalu, mengenai Taliban dan Afghanistan, secara tiba-tiba ia melontarkan kalimat bahwa “Indonesia akan menyusul negara Afghanistan”.
Saya langsung terdiam tanpa kata-kata. Tak habis pikir. Dalam hati saya hanya bisa bergumam, “ia sangat bodoh, sempit atas pengetahuannya”.
Salah Memaknai Kedaulatan Tuhan
Menolak konsep demokrasi. Ya, itulah yang terus mereka lakukan. Tentu dengan berbagai alasan, misalnya menurut mereka bahwa demokrasi sebagai kedaulatan rakyat adalah bertentangan dengan konsep kedaulatan Tuhan.
Ini saya kira, sikap mereka mengindikasikan bahwa cara berpikirnya dengan cara berpikir secara teosentrik, pemikiran itu biasanya lahir akibat dari kecenderungannya pada pandangan pemikir abad pertengahan, sehingga mereka menilai bahwa pengakuan akan kedaulatan manusia merupakan pelanggaran akidah.
Ini artinya, bahwa ketika manusia memiliki kedaulatan sendiri, maka menurut dia dianggap berhadapan atau bertentangan dengan dengan kedaulatan Tuhan, yang menurut mereka adalah sebagai satu-satunya kedaulatan yang diakui dalam teologi Islam.
Penolakan atas nilai demokrasi, mereka anggap sebagai produk peradaban sekularis yang membahayakan bagi Islam. Hal itu kerap dibarengi dengan jargon-jargon penolakan atas demokrasi secara keras bahwa paham sekularis adalah sebgai musuh utamanya. Ditambah juga dengan keadaan dunia Islam memang sedang berhadap-hadapan dengan konsep atau perilaku yang berbau barat, yang itu merupakan sebuah sumber konsep demokrasi modern.
Yang lebih parah lagi, misalnya dalam hal otoritas kebenaran, mereka yang menolak demokrasi itu memberikan sebuah alasan bahwa sebuah kebenaran tidak berdasar pada otoritas manusia, tetapi kebenaran itu berdasar pada otoritas wahyu. Misalnya menurut mereka sebuah kebenaran tidak ditentukan oleh nilai kuantitas pada manusia, tetapi lebih ditentukan pada otoritas normatif firman Allah.
Sampai di sini, kita sedikit dapat menyimpulkan atas pemikiran mereka, bahwa berdasar alsan-alasan yang mereka berikan, mereka benar-benar menunjukkan sikap anti demokrasi, pun juga anti kepada dunia Barat.
Ini kan artinya, mereka sekaligus menunjukkan degan jelas atas cerminan sikap mereka, bahwa mereka mempunyai sikap yang eksklusif berdasarkan paradigma fanatisme buta, sehingga mereka menolak upaya-upaya dialogis untuk membangun kebersamaan demi sebuah peradaban baru.
Kedaulatan Manusia adalah Sebuah Anugerah dari Tuhan
Sebagai umat Islam yang baik, sebaiknya kita tidak terlalu overdosis pada sikap apriori atau lebih keterlaluan menilai negatif hal-hal yang datang dari dari luar, apalagi dalam hal demokrasi ini.
Kalau saya boleh bilang, demokrasi atau boleh disebut sebagai kedaulatan manusia ini jangan sesekli dihadapkan dengan kedaulatan Tuhan. Kalau ini terjadi, apakah tidak sadar bahwa manusia hanya ciptaan Tuhan, jadi sangat-sangat tidak seimbang.
Maksud saya begini, kita harus menyadari bahwa kedaulatan manusia itu adalah sebuah bagian kedaulatan atau kewenangan Tuhan yang dilimpahkan kepada manusia. Artinya, bahwa kedaulatan manusia, boleh kita katakan sebagai anugerah Tuhan untuk manusia agar kehidupan manusia itu layak.
Dalam keyakinan ini, bukti lain adalah bahwa manusia juga telah benar-benar diberikan sebuah kecerdasan akal yang telah dipadu dengan hidayah-Nya, juga segala potensi yang ada pada manusia telah diberikannya. Hal ini sekaligus menandaskan bahwa manusia adalah khalifah Tuhan di muka bumi.
Musyawarah dan Pelaksanaan Wahyu Tuhan
Sebagai khalifah di bumi, manusia dituntut untuk memaanfaatkan kecerdasan akalnya untuk mengarungi kehidupanya dengan segala problemnya. Ketika problem itu tidak dapat diselesaikan oleh potensi pribadi, maka hal ini harus diselesaikan secara musyawarah. Tidak lain agar problem itu dapat terselesaikan, sehingga kemudian melahirkan sebuah kemaslahatan.
Hal ini saya kira sama sekali tidak menyalahi kedaulatan Tuhan. Sebab, ya memang benar kita tahu bahwa kedaulatan transenden adalah milik Tuhan. Tetapi dalam konteks kehidupan di dunia maka harus diterjemahkan dalam sebuah bentuk demokrasi atau kedaulatan manusia. Dalam hal ini boleh kita sebut sebagai pemerintahan.
Kita bisa bersandar pada sejarah Islam. Ketika Nabi Muhammad Saw. wafat, apakah Tuhan menurunkan wahyu lagi untuk menggantikan atau menunjuk secara spesifik siapa pengganti dalam memimpin umat? Tentu kita tahu, Allah tidak menurunkan wahyu lagi.
Mengapa demikian? Hal ini menunjukkan bahwa, manusia diharuskan untuk mengatasi persoalan ini, dengan menggunakan segala potensi yang telah diberikan Allah pada manusia itu sendiri. Sehingga musyawarah (demokrasi) menjadi sebuah keniscayaan dalam memilih Abu Bakar sebagai khalifah, sebagai penerus kepemimpinan umat sepeninggal Nabi Muhammad Saw. wafat.
Sebagai pungkasan, dalam menjalankan kebenaran wahyu di tengah masyarakat, maka dibutuhkan kesamaan aspirasi yaitu dengan cara bermusyawarah (demokrasi). Ini artinya bahwa kesamaan atau keseragaman aspirasi itu adalah sebuah representasi dari kewenangan Tuhan. Sehinga, kebenaran-kebenaran wahyu Tuhan itu akan terbumikan di tengah masyarakat.