Khilafah.id – Di era digital, sebuah yang terjadi di suatu negara bisa diketahui secara cepat oleh seluruh penduduk di dunia. Perkembangan teknologi digital memungkinkan informasi, pesan dan pengetahuan disebarluaskan secara global. Ideologi pun dimungkinkan untuk menyebar melampaui sekat perbedaan geografis dan sosiologis. Inilah yang disebut sebagai ideologi transnasional. Transnasionalisasi adalah sebuah proses globalisasi ideologi yang potensial meruntuhkan nilai-nilai nasionalisme dan kearifan lokal sebuah negara.
Era digital seperti pedang bermata dua. Di satu sisi, ia mendukung penyebaran informasi dan pengetahuan secara mudah. Di sisi lain, ia kerap menyisakan residu persoalan. Penyebaran ideologi secara global misalnya, kerap menimbulkan apa yang disebut oleh Sammuel Huntington sebagai the clash of civilization alias benturan budaya. Perkembangan teknologi digital juga melatari munculnya fenomena euforia publik atas peristiwa politik yang terjadi di belahan dunia yang lain.
Misalnya, ketika deklarasi Negara Islam Irak-Suriah (NIIS) pada tahun 2014 lalu, sebagian umat Islam, termasuk di Indonesia lantas memberikan simpati dan dukungannya. Para tokoh agama banyak yang lantas berbaiat pada ISIS dan mendorong simpatisan atau pengikutnya melakukan hal yang sama.
Tidak hanya itu, banyak umat Islam yang tergoda propaganda ISIS dan lantas melakukan “hijrah” ke Suriah. Mereka meninggalkan keluarga, pekerjaan dan harta bendanya demi bergabung dengan ISIS. Belakangan mereka sadar, propaganda ISIS itu tidak lebih dari utopia belaka.
Transnasionalisasi Ideologi
Hal serupa tampaknya terulang kembali pada momen kemenangan Taliban merebut kekuasaan pemerintah Afganistan yang menjadi pemberitaan internasional sepekan terakhir ini. kemenangan Taliban disambut sukacita sebagian Muslim di Indonesia. Tidak sedikit yang secara terbuka mendukung Taliban meski kita tahu organisasi ini memiliki rekam sejarah kelam tentang kekerasan dan pelanggaran HAM. Tidak diragukan, momen kemenangan Taliban ini bisa menjadi pintu masuk bagi infiltrasi ideologi transnasional.
Penyebaran ideologi transnasional di Indonesia sebenarnya bukan fenomena baru. Hal ini sudah terjadi sejak medio tahun 1980-an. Kala itu, ideologi islam transnasional seperti wahabisme dan salafisme disebarluaskan oleh aktivis dakwah dan tarbiyah di kampus-kampus. Ideologi transnasional ini dapat dicirikan ke dalam setidaknya dua hal. Pertama, karakternya yang anti-nasionalisme.
Ideologi islam transnasional cenderung menolak nasionalisme dan menuding nasionalisme bertentangan dengan Islam. Hal ini wajar mengingat agenda ideologi transnasional ialah mendirikan imperium Islam yang didahului dengan menghancurkan konsep negara-bangsa yang dilandasi spirit nasionalisme. Dari sini kita bisa memahami mengapa banyak tokoh gerakan islam transnasional yang anti-nasionalisme dan menganggapnya bertentangan dengan Islam.
Kedua, ideologi transnasional antipati pada kearifan lokal. Kearifan atau budaya lokal umumnya berisi ajaran yang memperteguh identitas sebuah masyarakat. Identitas itulah yang menjadi jatidiri dan karakter masyarakat. Bagi ideologi transnasional kearifan lokal sebagaimana nasionalisme harus dihancurkan. Hal itu dilakukan agar agenda mendirikan kekuasaan global yang dinaungi satu ideologi itu dapat terwujud.
Menangkal Ideologi Transnasional
Menangkal ideologi transnasional harus mensinergikan setidaknya tiga ranah, yakni politik,ekonomi dan sosial-keagamaan. Di ranah politik, kita perlu memastikan suasana tetap stabil dan kondusif. Tersebab, ideologi tranasnasional begitu mudah menyebar di negara dengan kondisi politik yang tidak stabil.
Dari sisi ekonomi, kita wajib memastikan terciptanya pemerataan kesejahteraan ke seluruh lapisan masyarakat. Ini penting lantaran di tengah kondisi kemiskinan dan kesenjangan ekonomi, masyarakat akan mudah terpikat oleh janji manis dan mimpi utopis yang ditawarkan oleh ideologi transnasional.
Dari sisi sosial-keagamaan, kita perlu menguatkan relasi dan struktur kebangsaan dan keberagamaan yang inklusif, moderat dan pluralis. Keragaman agama, budaya, suku, adat-istiadat dan sejenisnya harus dikelola dalam bingkai nasionalisme. Identitas keindonesiaan harus ditempatkan sejajar dengan identitas keagamaan dan identitas kelokalan. Penyejajaran ini penting agar tidak terjadi benturan identitas yang membuka celah bagi masuknya ideologi transnasional.
Terakhir, namun tidak kalah pentingnya ialah memastikan publik selalu berpikir dan bertindak secara rasional dan kritis. Utamanya dalam merespons peristiwa yang terjadi di belahan dunia lain. Era digital yang diwarnai dengan fenomena banjir informasi ini menuntut masyarakat untuk selektif memilih informasi dan berita. Lebih spesifik dalam konteks peristiwa kemenangan Taliban di Afghanistan misalnya.
Masyarakat harus selektif memilih sumber berita, mencermatinya secara rasional dan kritis sebagai bahan pertimbangan mengambil sikap. Kritisisme dan rasionalisme akan menghindarkan kita dari sentiman partisan dan sektarian dalam memberikan simpati atau dukungan terhadap sebuah pemikiran, ideologi atau pun gerakan.
Nurrochman, Alumnus Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.