Anshitu wasma’u wa athi’u rahimakumullah
Anshitu wasma’u wa athi’u rahimakumullah
Anshitu wasma’u wa athi’u rahimakumullah la’allakum turhamun…
Khilafah.id – Itulah pesan bilal ketika khatib hendak menaiki mimbar, saat salat Jum’at tadi. Pria berjenggot dengan gamis putih mengkilap kemudian memanggil salam, sambil pegang tongkat. “Assalamualaikum wa rahmatullah wa barakatuh,” katanya, sembari memperbaiki sorbannya. Jemaah bergemuruh menjawab salam. Khatib duduk kembali. Azan dikumandangkan. Sesaat lagi, kita segera mendengar petuah mingguan: khotbah Jum’at.
Mulanya tak ada yang aneh. Semua jemaah khusyuk mendengarkan. Ada yang khusyuk dengan zikirnya sendiri. Tak sedikit pula yang mulai menunduk, mengantuk. Khatib sedang mukadimah, lanjut rukun-rukun khotbah yang lain. Komplit. Tak ada yang aneh. Saya yang juga mulai mengantuk—ini adalah cobaan semua orang ketika salat Jum’at—berusaha fokus mendengarkan. Hingga sang khatib mengatakan tema yang akan dibahasnya, Jum’at kali ini.
“Hadirin sidang Jum’at yang dirahmati Allah subhanahu wa ta’ala. Hari ini kita akan mengulas tentang akhir zaman,” tegasnya. Saya pun semakin semangat. Kantuk hilang seketika, entah nyasar ke mana.
“Salah satu tanda zaman akhir adalah banyak terjadi kerusakan di mana-mana. Alam dieksploitasi oleh tingkah laku manusia sendiri. Oleh karena semua keburukan tersebut, Allah subhanahu wa ta’ala kemudian mengirim azab kepada kita semua,” ungkapnya tegas, dengan gaya khas khatib. Sampai di sini pun saya belum merasa ada keanehan. Kabar akhir zaman memang merupakan topik menarik hari-hari ini. Konflik perseteruan politik global pun, oleh sebagian orang, di anggap salah satu gejalanya.
Sampai kemudian, khatib dengan lebih tegas mengemukakan,
“Perang Iran melawan Amerika saat ini merupakan tanda akhir zaman. Bagaimana tidak? Iran adalah kekuatan Islam. Amerika tak mau Iran menjadi kuat. Lalu kenapa Timu-Tengah meskipun banyak yang Islam tak bias menolong? Tak lain jawabannya adalah, karena umat Islam tak bersatu. Dan persatuan itu tak lain, hanya diperoleh jika kita menegakkan khilafah,” terangnya, sambil mengutip, di antaranya surah al-Isra’ [17]:58 dan al-Rum [30]: 41.
Khatib dan Otoritas Keagamaan
Sebagai catatan, Jum’at kali ini bukan yang pertama saya lakukan, selama hampir setengah tahun di Ibukota. Bukan kali pertama juga saya terlanjur menjadi jemaah Jum’at dari khatib yang paham keagamaannya eksklusif, salafi. Sependek pengalaman, selama di Ibukota ini, terdapat perbedaan signifikan antara khotbah di kampung dengan perkotaan. Perbedaan ini—meminjam istilah Gus Baha’—penting saya utarakan.
Pertama, khatib Jum’at di kampung diambil dari tokoh keagamaan setempat, baik kiai maupun ustaz. Tidak ada posisi khatib untuk masyarakat umum. Ini disebabkan kultur keagamaan di sana mengutamakan pemegang otoritas keagamaan. Tentu saja otoritas keagamaan di sini berkaitan erat dengan nasab, bukan keilmuan belaka. Selain itu, khotbah di kampung mayoritas menggunakan bahasa Arab murni.
Kedua, khatib di perkotaan, di mana masjid didirikan di tengah kultur masyarakat urban, menggunakan keilmuan sebagai tolok ukur prioritas. Artinya, sekalipun tidak punya nasab kiai, jika secara keilmuan dirasa mumpuni, maka ia diberikan kesempatan untuk menjadi khatib. Biasanya penentuan jadwal khotbah ini berdasarkan yayasan tertentu. Berbeda dengan di kampong, khotbah di sini menggunakan mukadimah bahasa Arab, tetapi kontennya pure bahasa Indonesia.
Lalu apa dampaknya? Jelas berbeda. Karena menggunakan bahasa Arab, basis khotbah di kampung adalah fikih-oriented, yang penting secara fikih sah. Paham atau tidaknya jemaah kepada isi khotbah, tidak jadi sesuatu yang berarti. Dalam konteks ini, radikalisme sama sekali tak menemukan momentum. Namun di perkotaan, basis khotbah adalah pahamnya jemaah dengan materi khotbah, sehingga memakai bahasa Indonesia. Di sinilah khatib menemukan momentumnya.
Penentuan khatib berdasarkan keilmuan, membuat kemungkinan masuknya paham radikal tak terbendung. Hal ini disebabkan minimnya filtrasi khatib. Petugas masjid tidak mungkin tahu apa latar belakang khatib. Apakah ia memiliki paham keagamaan terbuka, atau justru eksklusif. Apakah ia berasal dari Nahdhatul Ulama, misalnya, atau apakah ia salafi.
Tentu saja latar belakang ini berpengaruh terhadap isi khotbah. Jika sang khatibnya adalah pejuang khilafah, maka di tangannya, radikalisme menjadi panjang umur.
Apakah Kebijakan yang Bisa Mengatasi?
Beberapa hari yang lalu, kita semua mendengar kabar mengejutkan, atau barangkali lucu. Pemerintah menerapkan aturan untuk mengutus polisi pada setiap masjid, yang disebut ‘polisi masjid’. Kabarnya, mereka memiliki shaf khusus, dan bertugas memantau setiap konten dakwah, atau paham keagamaan yang ada di dalam masjid tersebut. Jika dirasa ada yang dapat mengganggu NKRI, kebijakan pun akan segera diambil.
Terlepas dari pro-kontra seputar kebijakan tersebut, patutnya kita memahami, bahwa upaya pemberantasan radikalisme sudah berada di tahap serius. Langkah tersebut diambil juga lantaran kesadaran pemerintah bahwa masjid juga seringkali menjadi lahan radikalisasi. Disengaja atau tidak, dakwah provokatif berdampak buruk, bahkan lebih buruk dari radikalisasi di media sosial. Kita semua memahami, yang hadir ke masjid berasal dari kalangan dan latar belakang beragam.
Atau sekalipun harus berbaik sangka (husn al-zhann), bersikeras menganggap kejadian di Jum’at tadi bukan wujud radikalisasi, kita tetap harus waspada. Tidak ada yang mengetahui pasti, sang khatib memiliki agenda tertentu, atau hanya memaparkan sesuai pehamannya. Yang jelas, membicarakan konflik Iran-AS di atas mimbar, apalagi mengaitkannya dengan khilafah, adalah kurang tepat. Tema tersebut tendensius ke arah pembahasan politik, tapi dibalut nuansa keagamaan.
Lagi pula kita harus menyadari betul, radikalisme memiliki arus penyebaran yang masif, kendati Islam radikal itu sendiri masih menuai pro-kontra. Setelah di Yogyakarta kemarin diramaikan dengan tepuk pramuka ‘Islam Yes Kafir No’, pengkhotbah Jum’at juga ambil bagian. Belum lagi di kurikulum. Harusnya, di manapun, mau di atas mimbar atau pun di instansi pendidikan, yang harus diutamakan adalah pengajaran moderasi beragama.
Jika tidak, lalu setiap masjid, atau setiap salat Jum’at, sang khatib berkhotbah yang cenderung provokatif, maka khatib memiliki peran tinggi dalam lestarinya paham radikal. Saya pun, jika khatib membahas topik seperti itu, memilih menunduk, tidur seperti para jemaah lainnya.
Ahmad Khoiri, Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.