Khilafah.id – Imam Malik bin Anas (93-179 H) merupakan salah satu ulama salaf dan pendiri madzhab yang dikenal dengan ketinggian adabnya, terutama adab pada hadis Rasulullah Saw. Suatu ketika, Imam Malik yang masih muda itu menghadiri pengajian gurunya Syekh Abu Zinad. Imam Malik mendapati majelis pengajian penuh dan berdesakan sehingga tidak menemukan tempat untuk duduk dan memilih tetap berdiri tanpa mendengarkan pengajian hadis sang guru.
Setelah itu, Abu Zinad bertemu Imam Malik dan bertanya sambil mencela; “Apa yang menghalangimu bergabung di majelisku ?”, Imam Malik menjawab; “waktu itu tempatnya sempit dan saya tidak suka menulis hadis Rasulullah Saw sedangkan saya dalam keadaan berdiri”.
Ini cerminan adab Imam Malik. Ketika mengajar, Imam Malik membagi pengajiannya menjadi dua sesi, pertama mengajar riwayat hadis, kedua menjawab pertanyaan fikih aktual. Imam Malik dikenal tidak berbicara fikih kecuali ketika ada pertanyaan atau persoalan yang terjadi. Jika sakit, Imam Malik yang biasa mengisi pengajian di masjid, mengalihkannya ke rumah.
Jika ada tamu meminta ngaji, khadim (pelayan) Imam Malik bertanya: “Kalian ingin ngaji hadis apa masa’il (fikih) ?”, jika ingin ngaji fikih, Imam Malik keluar rumah dan menyampaikan fatwanya atas masalah yang disampaikan. Jika ingin ngaji hadis, mereka diminta duduk terlebih dahulu dan imam Malik langsung mandi, mengenakan baju yang bagus, bersurban dan menggunakan minyak wangi, kemudian duduk diatas kursi yang tinggi. Imam Malik tidak duduk diatas kursi kecuali saat mengajar hadis.
Pemaparan dan fatwanya dikenal moderat, tidak “galak” (kaku) dan juga tidak “gampil” (bebas). Imam Malik tidak pernah berhenti mengajar kecuali saat kondisi kriminalitas meningkat akibat terjadinya fitnah atau pemberontakan rakyat terhadap penguasa.
Ketika Imam Malik ditanya tentang sebagian fitnah yang terjadi, Imam Malik menjawab; “Jika mereka memberontak kepada pemimpin seperti sosok Khalifah Umar bin Abdel Aziz maka pasti Khalifah Umar memerangi mereka. Jika tidak seperti dia, maka biarkanlah Allah yang mengalahkan orang dzalim dengan perantara orang dzalim, kemudian Allah mengalahkan kedua-duanya”.
Imam Abu Zahrah mengutip sebuah riwayat bahwa Imam Malik berdasarkan pertimbangan agama tidak menyatakan sikapnya antara mendukung penguasa atau pemberontak. Ketika itu, pemberontak menuduh Khalifah Ja’far Al-Manshur melakukan pemaksaan atas pembaiatan dirinya sebagai Khalifah sehingga baiatnya tidak sah berdasarkan sabda Rasulullah Saw : “لَيْسَ لِمُسْتَكْرَهٍ يَمِيْنٌ”, artinya: “orang yang dipaksa tidak bisa diambil sumpahnya”.
Abu Zahro menyebut hadis ini statusnya mauquf atau hanya sampai kepada Sahabat (Ibnu Abbas), bukan marfu’ yaitu disampaikan oleh Rasulullah Saw secara langsung. Dalam hal ini, Gubernur Madinah meminta Imam Malik yang merupakan tokoh berpengaruh agar tidak menyampaikan hadis ini. Namun demikian, Imam Malik berani menolak permintaan Gubernur Madinah dengan dasar bahwa sikap melarang dirinya untuk menyebarkan hadis Rasulullah berarti secara tidak langsung adalah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya. Imam Malik akhirnya dihukum cambuk karena ketidaktaatannya kepada Gubernur.
Selain itu, Syekh Dr. Ali Jum’ah dalam kitabnya Sinaa’atul Iftaa’ (2008:76) mengutip sebuah riwayat tentang sikap Imam Malik kepada penguasa. Ketika itu, Imam Malik diminta oleh Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur untuk mengarang sebuah kitab yang sebisa mungkin muatannya jauh dari sifat kelonggaran Ibnu Abbas di satu sisi, dan di sisi lain juga jauh dari sifat pengetatan Ibnu Umar. Melihat permintaan ini tidak bertentangan dengan koridor agama, Imam Malik pun menaatinya dan menulis kitabnya yang berjudul Al-Muwatha’.
Kemudian Khalifah Al-Manshur menyampaikan niatnya kepada Imam Malik agar kitab Al-Muwatha menjadi rujukan amaliah seluruh umat muslim tanpa terkecuali. Dalam hal ini, Imam Malik menolaknya dan berkata: “Jangan Engkau lakukan itu wahai Amiirul Mukminiin. Masyarakat di setiap kawasan telah menerima ajaran dan mendengar riwayat hadis dari para pendahulu mereka, serta setiap kaum mempedomani apa yang mereka terima dari pendahulu. Biarkan saja umat Islam menjalankan pilihan masing-masing”. Akhirnya Khalifah Al-Manshur mengurungkan niatnya tersebut.
Ini merupakan salah satu bentuk sikap moderat Imam Malik yang tidak ingin memiliki “followers” terbanyak atas dukungan kekuasaan, namun dengan sikap lapang membiarkan masyarakat muslim bebas memilih riwayat yang datang dari pendahulu meraka dan bebas mengambll hukum yang membuat mereka merasa tenang selama tujuannya sama yaitu menegakkan keadilan dan kebenaran berdasarkan kitab Allah dan Sunnah Rasulullah Saw.
Imam Malik sebagai faqih yang ahli mengistimbat hukum sekaligus mufti yang banyak diikuti di kawasan Afrika Utara hingga saat ini jeli melihat realitas masyarakat di zamannya dan berani menolak tawaran Khalifah meskipun menguntungkan dirinya, serta menuruti apa yang dinilai masih dalam batas wajar dan mengandung maslahah bagi umat sebagaimana menulis kitab semoderat mungkin yang jauh dari spirit kelonggaran Ibnu Abbas dan pengetatan Ibnu Umar.
Sikap moderat Imam Malik tersebut juga dimiliki oleh Imam-imam yang lain sehingga dalam perjalanan waktu warisan keilmuan yang didasarkan pada prinsip moderat tersebut memunculkan madzhab dalam Islam seperti madzhab Maliki atau madzhab muridnya Imam Syafi’i atau gurunya Imam Ja’fari. Kemunculan ini dipengaruhi oleh perkembangan dunia fatwa dari masa ke masa; dari kawasan ke kawasan yang berpegang pada prinsip moderat, baik dari kalangan Mufti pengikut Sayidina Ali dan Ibnu Mas’ud di Kufah maupun kalangan Mufti di Basrah, Madinah, Mekkah, Syam, Mesir, Qoiruwan, Andalusia, Yaman dan Baghdad hingga memunculkan delapan madzhab fikih terkanal di kalangan umat Islam yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali, Ja’fari, Zaidi, Ibadhi dan Dzahiri. Masing-masing mewarisi riwayat hadis dan pendapat dari para pendahulu sebagaimana fenomena perbedaan ilmiah dan politik yang telah disikapi dengan penuh tanggung jawab oleh Imam Malik r.a.
Ribut Nurhuda, Penasehat PCI NU Sudan.