Khilafah.id – Abdurrahman Ibnu Khaldun (732 – 808 H) merupakan sosok filsuf dan pencetus Sosiologi Islam. Nasabnya bersambung kepada Wa’il bin Hajar yang dido’akan khusus oleh Nabi Muhammad Saw setelah dipakaikan selendang dan diminta duduk; “Ya Allah, berkahilah Wail bin Hajar beserta anak keturunannya sampai hari kiamat”. Selain itu, Wail bin Hajar merupakan sahabat dekat Mu’awiyah bin Abu Sufyan dan keduanya diutus oleh Nabi Muhammad Saw ke Yaman (Hadramaut) untuk mengajarkan al-Qur’an. Ibnu Khaldun sebagai keturunan Wail, telah hafal al-Qur’an di usia dini. Dirinya lahir di Tunis dari orang tua terpandang dan seorang ayah yang merupakan orang dekat keluarga Sultan Hafs di Tunis.
Setelah menghafal al-Qur’an, kitab al-Muwatha’,nahwu at-Tashil, fiqih Mukhtashar Ibnu al-Khatib, qiro’at tujuh dan mengkhatamkan kitab Shahih Muslim, Ibnu Khaldun mendalami madzhab Maliki yang banyak diikuti oleh masyarakat Afrika Utara, terutama kawasan Andalusia (Spanyol). Keilmuan bahasa Arab dipelajari langsung dari ayahnya, para pakar Tunis dan juga akademisi Universitas Qarawiyin, Fes Maroko. Ibnu Khaldun mendapatkan banyak ijazah ammah (izin menyebarkan) dalam bidang Arab-Islam, termasuk logika dan penalaran.
Hingga pada tahun 749 H, Ibnu Khaldun mempelajari ilmu filsafat dan menjadi Staf Ahli di Istana Kesultanan Hafsiyun, Tunis yang merupakan penerus kerajaan Muwahhidun di Sicilia setelah runtuh dan dibantai oleh gerakan Nasrani. Pada awalnya, Alu Hafs merupakan Gubernur Afrika (baca: Tunis) yang mengikuti kebiasaan Dinasti Muwahhidun yang menyebarkan madzhab Sunni dalam mempolarisasi para ulama dan filsuf untuk dijadikan kekuatan (hegemoni) menyaingi Dinasti Fatimiyah yang menyebarkan madzhab Syiah di Kairo.
Situasi politik yang keras dan latar belakang keluarga Ibnu Khaldun yang memiliki dualisme cinta antara ilmu dan kepemimpinan mempengaruhi karakternya yang unik; terkadang dominan pada cinta kekuasaan dan “posisi inti” seperti keaktifan rapat politik dan terjun langsung ke medan perang, terkadang dominan pada cinta ilmu dan kemuliaan Ulama seperti keaktifan mengajar dan menulis kitab.
Sampai pada akhirnya, Ibnu Khaldun mengalami saat-saat berat karena kecewa akibat gagal mendapat kursi kesultanan dan memilih i’tikaf (menyendiri) di gurun sahara al-Jazair, menenangkan hati di sebuah kampung yang dihuni oleh seorang wali Allah. Kampung ini dirasa cocok karena membantunya berfikir dan merenung. Dalam penyendiriannya, Ibnu Khaldun mendapatkan ilham serta curahan ilmu, dan menulis kitabnya “Muqoddimah” yang disebut oleh Arnold Toynbee (1899-1975 M) sebagai kitab terbesar yang dihasilkan oleh akal manusia di segala zaman dan tempat.
Melalui kitabnya ini, Ibnu Khaldun mengajarkan agar setiap orang mengerti tentang kebenaran objektif, dan menjauhi sikap fanatik buta yang dipengaruhi hawa nafsu dan kebodohan, terutama bagi para peneliti (pencari) kebenaran. Ibnu Khaldun menyampaikan; “metodologi yang benar dalam meneliti: tidak dilandaskan pada kemauan (nafsu) peneliti, pengamatan menggunakan sudut pandang yang utuh terhadap teks, melakukan perbandingan, membuat kesimpulan setelah perenungan mendalam tentang apa yang perlu dibuat pernyataan, menemukan relevansi dengan karakter lingkungan dan menemukan hubungannya dengan (kondisi) zaman”.
Sikap fanatik membuat orang cenderung terburu-buru sehingga tidak layak menjaga amanah sebuah ilmu dan informasi. Metodologi Ibnu Khaldun yang mengandung beberapa tahapan dimulai dari membuang kemauan (nafsu) hingga pertimbangan pada kondisi zaman merupakan “pisau bedah” yang dapat menguliti sikap-sikap fanatik dalam diri sendiri. Adapun melucuti sikap fanatik orang lain, dibutuhkan kesantunan dan keteladanan yang bisa membuka hati orang fanatik tersebut.
Mengambil faedah ilmiah atau informasi telah menjadi tradisi Ulama sejak berabad-abad yang lalu, terlebih masa Dinasti Abbasiyah, Dinasti Andalusia dan Dinasti Fatimiah yang melahirkan Universitas al-Azhar, Kairo dan dikenal dinasti penggerak kemajuan berfikir, tanpa kenal dualisme pendidikan antara agama dan non-agama. Ketika itu, tidak ditemukan seorang pun buta huruf meski tidak ada sekolah formal. pendidikan masyarakat sangat kokoh dengan basis rumah, majelis, masjid dan toko kitab.
Umat Islam menjadi hamba pembaca sesuai perintah “Iqra’!”, artinya jadilah pembaca !. Tidak hanya jadi pembaca, tetapi ada kata berikutnya; “bismi rabbik” artinya dengan menyebut nama Tuhanmu. Ini karakter pembaca muslim sesungguhnya yang berbeda dengan pembaca Barat (baca: Yunani) yang hanya “Iqra’!” saja, atau pembaca nasrani yang hanya “bismi rabbik” saja.
Kemajuan umat Islam menggambarkan fakta semakin tinggi keterdidikan masyarakat semakin tinggi pula toleransinya, bukan semangat menyalahkannya. Adab dalam berbeda pendapat, bahkan berbeda keyakinan tidak menghalangi sikap terbuka atau open-minded dengan tetap menjaga akhlak santun. Memahami batas salah dan benar dan letak perbedaan suatu pandangan membutuhkan kemampuan lebih atau bimbingan ulama sebagaimana perjalanan Ibnu Khaldun.
Dalam tradisi ilmu bahasa dan kesusastraan Arab, ulama Al-Azhar Syekh Dr. Muhammad Muhammad Abu Musa menyebut Syekh Abdul Qahir Al Jurjani (w.471) sebagai pengikut aqidah Asy’ariyah justru mencapai kematangan ilmunya karena membaca kitab karya Al Jahidz sebagai pengikut aqidah Mu’tazilah, bahkan menjadi pensyarah (komentator) Al Jahidz (w.255) yang tak tertandingi.
Sosok Al-Zamakhsyari (w.538) pengikut fanatik mu’tazliah yang ahli membaca karya Abdul Qahir pengikut Asya’ariyah menjadi komentator ulung Abdul Qahir yang tak tertandingi. Walhasil, Perbedaan prinsip antara mu’tazilah dam asy’ariyah sama sekali tidak mencerminkan adanya sikap fanatik dalam ilmu, bahkan justru menunjukkan ketinggian peradaban masyarakat pada saat itu lantaran masing-masing yang berkelebihan dan berkeistimewaan mau saling belajar dan saling menguatkan sebagaimana karakter asli seorang mukmin, bukan saling menggurui dan menjatuhkan.
Ribut Nurhuda, Penasehat PCI NU Sudan.