Khilafah.id – Fiqih adalah suatu ilmu agama yang didalamnya mencakup tentang bagaimana cara berhubungan dengan tuhan (hablumminallah) dan cara berhubungan dengan manusia (hablumminannas) hal ini dapat kita lihat dalam banyak kitab fiqih yang didalamnya selalu menuliskan tentang ubudiyah dan muamalah. Dalam Islam sendiri fiqih adalah ilmu yang selalu berkembang hal ini disebabkan karena fiqih selalu bersinggungan dengan keseharian masyarakat.
Fiqih merupakan bentuk nyata dari implementasi objektif dan doktrinal Islam meskipun bersumber dari kebenaran yang mutlak dan kokoh, didalamnya juga memiliki ruang gerak yang dinamis dan bagi perkembangan, pembaruan, dan kehidupan yang sesuai dengan ruang dan waktu. Menariknya adalah hukum yang dihasilkan fiqih selalu beragam, hal ini disebabkan berbedanya masing-masing ulama melihat suatu masalah dan dasar hukum yang dipakai.
Bagi orang yang mengikuti ikhtilaf (perbedaan) tentunya sudah tidak asing akan berbagai ketegangan-ketegangan yang muncul dalam sejarah munculnya madzhab-madzhab fiqih. Tapi yang perlu digarisbawahi di sini adalah masing-masing ulama selalu menghargai dan menghormati setiap hukum yang berbeda dengan ulama itu sendiri.
Dalam hal ini terdapat suatu kisah ketika Imam Syafi’i melakukan jama’ah shalat subuh di masjid Hanafiyyah (golongan atau orang yang mengikuti pendapatnya Imam Abu Hanifah) Imam Syafi’i tidak melakukan qunut karena disebabkan mengikuti Imam yang bermazhab Hanafi, Pada saat ditanya mengapa beliau yang seorang Mujtahid mustaqil yang dalam madzhabnya men-sunnah-kan qunut malah tidak melakukan qunut. Beliau pun menjawab aku menghormati Imam Abu Hanifah.
Perbedaan dalam dunia Fiqih juga diamini dengan adanya hadis Dari Rasulullah SAW. yang berbunyi “Perbedaan pendapat pada umatku adalah rahmat”. Hal ini tentunya dapat kita pahami karena suatu hukum fiqih memanglah suatu yang harus berkembang melihat ruang dan waktu hukum itu dihasilkan. Perbedaan pendapat ini juga terjadi dalam pendapatnya Imam Syafi’i sendiri hal ini terbukti dengan adanya qaul qadim dan qaul jadid.
Dua pendapat tersebut secara historis lahir ditempat yang berbeda, qaul qadim lahir pada saat Imam Syafi’i berada di Irak, dan qaul jadid lahir ketika Imam Syafi’i berada di Mesir. Perbedaan pendapat ini dapat berjalan dengan ‘adem’ juga didasari oleh perkataan Imam Syafi’i dalam konteks ijtihad yang berbunyi: “Pendapat saya ini benar namun ada kemungkinan salah begitu juga pendapatmu itu salah namun ada kemungkinan benar.”
Dalam hal ini, pesantren merupakan percontohan nyata dalam menjalankan toleransi, karena pesantren yang dari dulu telah menerapkan kurikulum fiqih di dalamnya tidak hanya berhasil mentransfer keilmuan, namun juga telah berhasil mentransfer adab dan perilaku yang baik bagi santrinya, seperti yang telah dituturkan di atas bahwa sumber inti dari perbedaan antara ulama adalah Alquran dan Sunnah. Alquran adalah hidangan Allah, tentu saja hidangan dari Tuhan yang Maha Kaya itu beraneka ragam. Tuhan yang Maha Pemurah itu mempersilahkan kita untuk mengambil apa yang telah kita kehendaki ketika sudah memenuhi syarat mujtahid.
Namun, tentunya kita harus mengetahui batas-batas toleransi dengan jelas misalnya para ulama mazhab fiqih diatas memang berbeda-beda pendapat dalam masalah furu’ namun dari ulama mazhab tidak ada yang berbeda pendapat di dalam masalah asl. Seperti misalnya hukum sholat lima waktu itu wajib bagi semua umat Muslim. Dalam pendapat asl ini, semua Imam satu suara dan menyatakan dengan jelas tidak ada perbedaan dalam masalah asl tersebut. Contoh yang kedua adalah soal keimanan yang telah dicontohkan dalam Alquran surat al-Kafirun yang berbunyi:
لَكُمۡ دِینُكُمۡ وَلِیَ دِینِ
Artinya : “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku. [Surat al-Kafirun: 6]”
Ayat diatas dengan tegas menjelaskan tidak adanya toleransi dalam hal beragama. Asbabun nuzul ayat ini sendiri juga disebabkan Walid bin Mughirah, Ash bin Wail, dan Aswad bin Abdul Muthalib yang menawarkan persekutuan di dalam hal agama, dengan cara orang kafir akan menyembah apa yang disembah oleh Rasulullah SAW. Tetapi Rasulullah juga harus menyembah apa yang orang kafir sembah secara bergantian.
Bangkit Budi Satriya, Pemerhati sosial keislaman.