Khilafah.id – Menurut Anda, siapa yang paling mengais untung dalam polemik RUU Cipta Kerja antara demonstran kemarin dengan pemerintah? Kalau mau jujur, protes memperjuangkan hak buruh tersebut dimanfaatkan oleh invisible hand. Kita bisa berspekulasi, misalnya, bahwa aksi anarki pembakaran fasilitas umum dilakukan provokator, baik dari kalangan demonstran maupun kalangan Polisi sendiri, sebagaimana beredar di video amatir. Tetapi, bagaimana jika ternyata pelakunya bukan mereka? Bagaimana jika itu, faktanya, dilakukan oleh oknum pembenci pemerintah, HTI misalnya?
Jika Anda mengira saya menuduh HTI, boleh jadi itu karena menganggpa HTI sekarang sudah reda. Anggapan tersebut keliru sekali, fatal. HTI, hingga tulisan ini dibuat, belum berhenti melakukan indoktrinasi. Yang namanya Hizbut Tahrir, Partai Pembebasan, itu tidak akan berhenti sampai kapan pun. Saya sudah mengatakan ini berulang kali. Mereka tidak akan berhenti melakukan indoktrinasi sampai khilafah palsunya tegak, atau paling tidak negeri ini pecah—hancur.
Kita bisa, misalnya, melihat bagaimana masifnya mereka berdakwah di kanal YouTube miliknya: Khilafah Channel. Meski orang-orangnya itu-itu saja, tidak jauh dari Rokhmat S. Labib, Hafidz Abdurrahman, dkk, tetapi jika dilakukan terus-menerus, dan ditonton ribuan kali, bukankah artinya mereka sukses? Bayangkan saja, dua hari yang lalu, mereka gelar kajian tentang “Dalil-dalil Wajibnya Khilafah,” dan yang terkini, merespons polemik Omnibus Law, dengan kajian daring “Menyikapi Undang-Undang Zalim…”
HTI itu sebenarnya tidak jelas. Ia terus menggaungkan khilafah, ingin negeri ini kacau, ingin pemerintahannya bertengkar dengan masyarakat. Tetapi pada saat yang sama, arah mereka tidak jelas, dalilnya tidak kuat. Mereka juga menawarkan khilafah yang sebenarnya manipulatif. Adalah sepadan, kemudian, jika mereka tidak lebih sebagai belatung di negeri ini. Sudah sumbangsihnya tidak jelas, bisanya hanya memprovokasi. HTI, dengan demikian, tak ubahnya belatung: hanya berbakat merusak.
Kepala Batu Aktivis HTI
HTI punya kepala batu. Semua aktivisnya, mulai dari sesepuh, ketua, juru bicara sampai yang pengikut barunya, punya satu kesamaan, yaitu keras kepala dan anti-nasihat. Seberapa pun nasihat dilayangkan bahwa mereka salah memaknai khilafah, bahwa mereka sudah memanipulasi referensi, itu tidak akan mereka gubris. Bagi mereka, khilafah ala HTI itu adalah syariat, dan Islam yang tepat itu adalah Islam yang mereka ajarkan. Mereka buta, bahwa nama HTI itu sendiri, berarti partai (hizb).
Kepala batu tersebut erat kaitannya dengan posisi HTI sebagai belatung lintas negara. Ia pernah menggerogoti tubuh Palestina, tetapi mendapati penolakan di banyak negara. Kita bisa melihat dengan jelas bagaimana nasib negara yang pernah digerogotinya, juga bisa berspekulasi bagaimana nasib dunia tanpa penolakan terhadapnya. Boleh jadi indoktrinasi HTI sangat kuat, sampai pada taraf merasa paling benar sedunia. Akhirnya, kepalanya sekeras batu, bahkan lebih keras darinya.
Sekadar flashback, bahwa mereka memang kepala batu. Berapa banyak tokoh, ulama dan profesor, yang menggelar kajian khilafah, untuk membuktikan bahwa hari ini tidak bisa lagi ditegakkan dan bahwa bukti historis HTI itu sangat eksploitatif? Tidak sedikit, tetapi mereka bergeming, dan ngotot mendirikan khilafah. Jualannya adalah kejayaan Turki Utsmani. Sejarawan Peter Carey bahkan mengajukan bukti manuskrip, tetapi bagi HTI yang dianggap tidak kredibel adalah justru semua penentangnya.
Jika pemerintah abai dengan fakta tersebut, maka belatung bernama HTI itu akan tetap menggerogoti Indonesia sampai titik di mana masyarakat mainstream menganggap demokrasi sebagai sistem yang tidak lagi relevan. Selama ini, langkah konkret pemerintah tidak juga kita temui. Tidak ada tindakan sama sekali untuk para anggota HTI. Sembari menunggu ketidakpastian itu, kita semua menyaksikan, para remaja menjadi target mereka. Muda-mudi yang spirit keagamaannya memuncak, tetapi tidak masuk pesantren, belajar Islam autodidak, adalah santapan para belatung negeri itu.
Remaja Haus Agama Adalah Target
Merebaknya fenomena hijrah di kalangan milenial menyiratkan satu fakta, bahwa para remaja, hari ini, haus akan pemahaman akan agama. Spirit keagamaan mereka menggebu-gebu. Hal itu kemudian disadari betul oleh, salah satunya, aktivis HTI. Kita bisa melihat jelas, umpamanya, bagaimana Felix Siauw rutin menggerogoti pikiran Al-El-Dul, anak Ahmad Dhani, dengan kajian-kajian yang berani ia publikasikan di YouTube. Publik figur seperti Al pasti menarik perhatian remaja lainnya, untuk belajar kepada ustaz yang sama.
Para remaja haus agama adalah santapan renyah para belatung itu. Para dedengkot HTI dengan keuletannya, dengan kepintarannya memanipulasi fakta, memperindah konten kajian, pasti menang banyak. Sementara kita sendiri sibuk sana-sini bicara Islam moderat, bertengkar saling klaim moderat, padahal imej moderat sendiri berhasil para aktivis HTI tunjukkan kepada para targetnya. Maka tidak heran, sejauh kita menasihati pemuda-pemuda itu, kitalah yang dilawannya.
Siapa yang mau disalahkan, ketika belatung bernama HTI itu sudah memenuhi kepala para pemuda? Bagaimana misalnya mereka tetap antipati dengan demokrasi di masa yang akan datang? Bagaimana nasib negeri di masa depan ketika sebagian masyarakatnya tidak memiliki wawasan kebangsaan yang baik? Belatung-belatung itu, ia akan menggerogoti terus, menjadi mindset, dan orang hanya akan tahu tentang kegagahan Al-Fatih, kejayaan Utsmani, sambil berutopia bahwa Indonesia harus meniru mereka bulat-bulat, segera, dengan cara menerapkan khilafah.
Karenanya, sebab kengerian para belatung negeri itu, menjaga diri (self-deradicalization) adalah keharusan mutlak. Ini bukan saja tugas negara sendirian, bukan tugas Kemenag sendirian. Ini tugas semua eleman. Yang paling wajib ditekankan adalah, seharusnya langkah pemerintah tidak berbelit di birokrasi. Kita harus meniru bagaimana para aktivis HTI pintar-pintar mencari kesempatan, juga bagaimana mereka mampu memutar-balikkan keadaan, sehingga korbannya pasti terperangkap.
Laiknya belatung yang harus diobati, dimusnahkan dari menggerogoti tubuh bangsa, HTI harus dibungkam melalui kebijakan yang benar-benar tegas. Boleh jadi, mereka akan berteriak, “pemerintah zalim ini bertindak represif.” Tetapi apakah dengan itu kemudian langkah tegas sungkan diterapkan? Saya pikir, atau bahkan kita semua pasti sepakat dalam satu fakta: tidak ada satu pun dari kita yang ingin digerogoti belatung pengrusak negeri. HTI tidak seindah yang Anda duga.
Repost dari Harakatuna.com