Khilafah.id – Mabuk. Boleh jadi itu kata yang pas ketika melihat keagamaan generasi milenial, meski hanya sebagian dan tidak seluruhnya, yang semakin hari, semakin memprihatinkan. Di TikTok, huru-hara Palestina santer jadi konten, pro maupun kontra. Seorang pemuda dari Gerung, Lombok Barat, menghina Palestina dan sekarang sudah diringkus. Tetapi bagaimana dengan hoaks bahwa TNI sudah berangkat bela Palestina bersama Turki dan Rusia?
Rusia dan Turki, Putin dan Erdogan kerap kali dianggap pahlawan ketika berbicara tentang Islam hari-hari ini. Erdogan bahkan mendapat julukan ‘Presiden Umat Islam’ dan benteng Islam satu-satunya. Bagaimana dengan Jokowi? Ia justru mendapat julukan buruk sebagai antek Cina, rezim komunis, rezim anti-Islam dan lainnya. Sikap pemerintah Indonesia dalam menyikapi konflik Israel-Palestina, bagi kalangan milenial, belum seheroik Erdogan.
Siapa yang melakukan framing dan apa tujuannya? Bagaimana dengan Erdogan yang sebenanya? Itu perlu ditelaah ulang. Demikian karena huru-hara Palestina merupakan isu yang seksi di mata internasional. Ada yang menganggap itu konflik agama; Yahudi-Islam, lainnya menganggap konflik kemanusiaan. Untuk anggapan yang pertama ini, lahirlah kemudian tawaran ideologis, yaitu penegakan khilafah. Oleh siapa? Hizbut Tahrir, tentunya.
Beberapa waktu lalu, Hizbut Tahrir menggelar konferensi internasional yang menghadirkan para jubirnya di berbagai negara. Ismail Yusanto, Jubir HTI, turut hadir, sebagaimana diulas pada tulisan sebelumnya. Mereka menuntut umat Islam untuk bergerak; bahwa inilah saat yang tepat khilafah dunia beraksi. Hizbut Tahrir tidak kalah oportunis dengan Erdogan: menyuarakan huru-hara Palestina sesuai kebutuhan politisnya.
Dari situ perlu ditarik pemahaman, bahwa huru-hara Palestina dan Israel terbingkai ke dalam dua kepentingan besar, yakni populisme dan khilafahisme. Erdoğan sebagai politikus AKP, partai populis di Turki, menarik simpati umat Islam dengan statemen menggebu-gebu menentang Israel, padahal Turki dan Israel sudah menjalin hubungan diplomatik yang erat. Antara Erdoğan dan Hizbut Tahrir tidak ada bedanya: sama-sama suka membual.
Fakta Huru-hara Palestina
Organisasi Kerjasama Islam (OKI) menggelar KTT darurat secara virtual pada hari Minggu (16/5) kemarin di Arab Saudi. Mereka menghujat serangan Israel di Jalur Gaza, Palestina, yang mereka sebut biadab, di samping mengecam negara-negara Arab yang telah menormalisasi hubungan dengan Israel beberapa bulan lalu. Meski begitu, dari 57 negara anggota, OKI terpecah mengenai Israel. Bahrain dan UEA malah jadi bagian yang lakukan normalisasi dengan zionis.
Sementara itu, Indonesia yang bukan negara Islam, menyangkut huru-hara Palestina, tetap konsisten sesuai konstitusi: “Penjajahan di dunia harus dihapuskan”. Melalui Menteri Luar Negeri RI Retno Lestari Priansari Marsudi, Indonesia bahkan mengajukan tiga usulan. Pertama, memastikan adanya persatuan. Kedua, OKI harus mengupayakan terciptanya gencatan senjata segera. Ketiga, agar OKI tetap fokus membantu kemerdekaan bangsa Palestina.
Bagaimana dengan Turki yang juga merupakan anggota OKI? Melalui sang presiden, Recep Tayyip Erdoğan, kritik untuk Israel telah dilayangkan. Sayangnya, Erdoğan justru memilih menyerukan umat Islam di berbagai dunia untuk bersatu membela Al-Quds ketimbang melakukan langkah strategis terhadap Israel itu sendiri. Erdoğan terkesan berkepribadian ganda; tidak konsisten, penakut, tetapi ingin dipuji dunia sebagai pahlawan.
Faktanya, hubungan diplomatik Turki dengan Israel, di bawah Erdoğan, sangat mesra. Turki bahkan mengakui kedaulatan Israel dan saling menempatkan kedutaan sebagai bukti hubungan diplomatik yang erat, jauh sebelum negara-negara Arab lakukan normalisasi. Berdasarkan data Trading Economics, dari Turkish Statistical Institute (TSI), sepanjang Maret 2021, nilai ekspor Turki ke Israel mencapai sebesar 495,58 juta dollar AS, meningkat dari bulan sebelumnya.
Kemesraan hubungan dagang Turki dan Israel sangat cukup untuk menjadi bukti bahwa narasi konfrontatif Erdoğan terhadap Israel hanyalah gimmick, permainan politik mengelabui umat Islam melalui narasi populisme—konsekuensi partai populisnya: AKP. Pada saat yang sama, menjadi anggota Uni Eropa (UE) masih menjadi salah satu tujuan strategis Turki. Maka tidak heran, dalam huru-hara Palestina, Turki melalui Erdoğan jadi negara berwajah ganda.
Lalu Bagaimana Sikap Kita?
Ini pertanyaan paling penting. Fakta huru-hara Palestina selaiknya tidak membuat kita bersikap naif; membela Erdoğan mati-matian seolah ia yang paling kuat merepresentasikan Islam. Framing demikian tercipta karena ketidakpahaman atas kompleksitas huru-hara Palestina. Di Indonesia, media yang paling santer melakukan pembingkaian adalah Cordova Media, yang sayangnya, media tersebut juga buta fakta.
Erdoğan adalah politisi populis yang tengah jadi petahana di Turki. Maka, populisme harus selalu ia mainkan: suara umat Islam harus ia raih sekuat mungkin, baik di level masyarakat (society) maupun negara (state). Di Indonesia, anggota FPI maupun afiliasinya memahami separuh: terjerembab narasi populisme Erdoğan. HTI juga demikian. Aktivisnya pada mengidolakan Erdoğan jadi pemimpin umat Islam sedunia.
Sementara itu, khilafahisme Hizbut Tahrir hanya ikut meramaikan. Asongan khilafahnya sudah tidak diminati, kalah pamor dengan populisme Erdoğan—keduanya sama-sama berebut suara umat Islam. Huru-hara Palestina di Indonesia hanya dilihat dari dua kutub tadi; populisme dan khilafahisme, sampai suara paling substansial dan konsisten terlupakan, yaitu suara pemerintah Indonesia. Bahkan, seseorang memuji Erdoğan sambil memaki Jokowi. Sangat naif.
Pemerintah Indonesia lebih konsisten bersikap ihwal huru-hara Palestina. Sebab,Indonesia tidak memainkan agama; baik populisme maupun khilafahisme, melainkan bertolak dari kostitusi tentang cita-cita penghapusan penjajahan di seluruh dunia. Karenanya, sikap terbaik kita adalah sebaris dengan pemerintah: memperjuangkan kemerdekaan dan kemanusiaan, menghapus penjajahan. Tidak ada embel-embel populisme maupun khilafahisme yang sangat politis.
Adalah ironis ketika kita memuji Erdoğan di satu sisi, tetapi memaki Jokowi di sisi lainnya. Tidak adil. Erdoğan menyuarakan pembelaan atas Palestina karena partainya butuh suara umat Islam, tetapi sejujurnya ia sebaris dengan Israel; mesra dan mengakui kedaulatannya. Khilafahisme Hizbut Tahrir apalagi, ia sangat oportunistis—hanya memanfaatkan keadaan. Bahwa apa pun masalahnya, khilafah tawarannya. Palestina hanya jadi kendaraan, tidak lebih.
Masihkah kita, dalam hal huru-hara Palestina, akan terus mengidolakan Erdoğan sebagai pemimpin Muslim dunia dan harapan Islam satu-satunya sambil apatis dengan konsistensi pemerintah Indonesia? Pikirkan kembali.
Ahmad Khoiri, Mahasiswa Magister Pengkajian Islam, Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.