Khilafah.id – Membahas sejarah, pada dasarnya, adalah membahas kenangan yang tentunya hanya yang manis-manis yang lazim dimunculkan. Dan dalam kenangan itu, ketika disampaikan, wajar seandainya terjadi proses penggelembungan atau justru pengurangan informasi yang jauh dari memadai.
Namun, siapakah sebenarnya yang berhak menyatakan sebuah informasi dari masa lalu itu memadai atau tidak ketika dinyatakan dari perspektif masa kini?
Setelah ideal “khilafah” memudar, dan upaya pengislaman beberapa tokoh-tokoh sejarah ternama, kembali bangsa Indonesia dihadapkan pada klaim tentang saham orang-orang keturunan Yaman atas kemerdekaan Indonesia yang selama ini nyaris tak diketengahkan dalam arus sejarah utama.
Apakah terdapat keterkaitan antara ideal “khilafah” yang sempat menjadi gerakan counter culture, pengislaman tokoh-tokoh sejarah ternama seperti Gajah Mada, dan klaim orang-orang keturunan Yaman atas kemerdekaan Indonesia?
Yang jelas, ketika dikaitkan dengan politik praktis, ketiga upaya itu memang tak gampang untuk tak dikaitkan, apalagi ketika istilah “Islam” seolah sudah menjadi keharusan yang tak tertulis untuk menyatakan sebuah kebenaran. Bukankah pernah di Indonesia, bahkan pun orang non-muslim, sampai perlu untuk membela aspirasi politik sejenis “khilafah” untuk sekedar mendapatkan panggung?
Pada dasarnya tak terlalu penting apakah benar keturunan bangsa Yaman, atau orang-orang masa lalu yang diklaim sebagai “Islam,” memiliki saham atas kemerdekaan Indonesia. Namun, terdapat banyak kisah sejarah tentang keterlibatan orang-orang pribumi, khususnya kalangan penghayat kepercayaan yang memang terbentuk di era perang kemerdekaan, yang di hari ini tak semenjijikkan kalangan yang secara politis-kultural bias itu.
Siapa yang pernah menyangka bahwa pendiri Paguyuban Harda Pusara, Ki Sumocitra, adalah seorang demang pembangkang buruan Belanda? Siapa yang menyangka bahwa R.Ng. Soekinohartana, pendiri Paguyuban Sumarah, pernah mengabarkan kemerdekaan Indonesia dan menyerahkan apa yang kini dikenal sebagai “sesanggeman” warga Sumarah pada Bung Karno, yang kemudian mendapatkan titah untuk membentuk sebuah organisasi kebatinan?
Siapa yang menyangka bahwa pendiri paguyuban Purwane Dumadi Kautaman Kasampurnan (PDKK), Eyang Jimat Suryangalam, dan pendiri Pirukunan Purwa Ayu Mardi Utama (PAMU), Ki Ageng Djojopoernomo, adalah para anggota Pangeran Dipanegara pada Perang Jawa yang lari sampai ke Malang dan Banyuwangi, yang kemudian menanamkan patriotisme “gula klapa” Nyi Ageng Serang pada para pengikutnya?
Orang-orang pribumi itu memang tak pernah tercatat dalam sejarah arus utama kemerdekaan Indonesia, namun mereka, dan para penerusnya, tak kemudian berlaku semenjijikkan golongan yang suka melakukan klaim itu. Bahkan pun, setelah kemerdekaan Indonesia tercapai, bertahun-tahun mereka justru mengalami diskriminasi di negeri sendiri, negeri yang ironisnya pernah mereka perjuangkan mati-matian kemerdekaannya.
Heru Harjo Hutomo, Alumni CRCS UGM Yogyakarta.