Khilafah.id – Perang dingin merupakan sebuah istilah di mana konflik, ketegangan, dan kompetisi antara Amerika Serikat (Blok Barat) dan Uni Soviet (Blok Timur) terjadi antara tahun 1947-1991. Istilah “Perang Dingin” diperkenalkan pada tahun 1947 oleh Bernard Baruch dan Walter Lippman dari Amerika Serikat untuk menggambarkan relasi yang terjadi di antara dua negara adikuasa. Pertarungan ideologi demokrasi-kapitalis dan komunis-sosialis menjadi dominan, menjadi kreditur terbesar di dunia yang sama-sama berkeinginan menjadi penguasa dunia. Dinamika global tersebut terus bergerak ke belahan banyak negara dan berkontribusi langsung terhadap negara-negara yang telah menjadi sekutunya. Dari waktu ke waktu, politik global semakin bersifat multipolar dan multisivilisasional.
Akhir 1980-an, dunia memasuki politik tahap baru pasca meredanya perang dingin. Kehadiran “the end of history” karya francis fukuyama, menyatakan demokrasi liberal barat sebagai bentuk akhir dari evolusi sosial, kultural dan pemerintahan di dunia dan terjerembabnya nation state dalam tarikan tribalisme dan globalisme. Terlebih pecahnya Uni Soviet membuat Amerika Serikat membutuhkan panduan baru untuk membaca situasi global ke depan. Salah satu pemikiran yang mendapatkan perhatian bagi pengambil kebijakan di amerika serikat adalah artikel samuel p. Huntington’s pada tahun 1993 dengan judul “the clash of civilizations”.
Huntington menawarkan paradigma baru dalam membaca dunia. Ia melihat ada 7 peradaban yang akan mewarnai persaingan global; Western, Latin American, Confucian, Japanese, Islamic, Hindu, dan Slavic-Orthodox. Kemudian, memprediksikan akan terjadi konflik pada level makro antar negara-negara dari peradaban yang berbeda dalam mengontrol institusi internasional, ekonomi global dan kekuatan militer. Thesis Huntington tersebut sering dijustifikasi kebenarannya via peristiwa 11 September 2001. Setelah perang dingin, banyak bendera dan identitas-identitas kultural (tradisional/lokal) bermunculan. Orang-orang (masyarakat) bisa saling terpisahkan oleh ideologi, tetapi dapat tersatukan melalui kebudayaan.
Sebagaimana halnya kasus yang terjadi dengan dua Jerman (barat dan timur), dua Korea (Utara dan Selatan) serta beberapa negara Tionghoa (Taiwan, Hongkong). Pun, masyarakat yang tersatukan karena alasan ideologi ataupun ikatan-ikatan historis, dapat saja terpisahkan oleh peradaban. Sebagaimana yang telah terjadi dengan Uni Soviet, Yugoslavia, Bosnia, Ukraina, India, Srilangka, Sudan, dll. Yang menjadi persoalan terpenting bukanlah ihwal ideologi, politik, atau ekonomi tetapi persoalan budaya. Kebudayaan dapat menjadi kekuatan pemecah-belah sekaligus kekuatan pemersatu.
Total Diplomacy Islam Indonesia
Di tengah kompleksitas permasalahan global seperti ketidakadilan, pelanggaran HAM, radikalisme, terorisme, dan berbagai masalah global peradaban dunia, kebutuhan untuk menemukan model keberagamaan semakin mendesak terutama untuk membangun peradaban dunia yang berkeadilan, damai, dan harmoni. Banyak wacana dan model coba dikembangkan dan ditawarkan sebagai solusi. Di tengah kebuntuan wacana, konsep Islam Indonesia menjadi alternatif. Sebuah konsepsi dan sublimasi dari role model keberagaman, tipologi keislaman umat Islam Indonesia. Berpijak pada konteks historis penyebaran Islam, metode dakwah, kerangka berpikir, praktek ritual dan kultural, karakter dan nilai umat beragama di Nusantara, Islam Nusantara menampilkan satu model keberagamaan yang oleh Azra disebut Islam yang distingtif.
Islam Nusantara adalah istilah lain dari Islam sebagai rahmatan lil al’alamin. Merupakan ijtihad pemikiran Islam di tengah tantangan dunia Islam yang semakin besar. Bias pemikiran agama yang selama ini radikal-fundamentalis telah mengacaukan Islam dari dalam. Contoh nyata, terorisme yang dimotori oleh para aktivis Al-Qaeda merupakan bentuk ideologi fundamentalis mendasarkan pandangan agama terhadap teks-teks radikal tanpa memahami secara komprehensif seluruh dogma Islam. Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) pun menjadi sensasi dunia karena tindakan brutal mereka tidak hanya untuk non-Muslim, tetapi juga untuk umat Islam. Al-Qaeda dan ISIS telah menjadi ancaman bagi peradaban dunia.
Sebagai gagasan Islam di Indonesia, Islam Nusantara dapat mewujudkan Islam sebagai rahmat bagi semesta, karena konsepnya mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik. Tanpa menegasikan aspek lainnya, model keberagamaan Islam Nusantara terletak pada penguatan nalar sufistik. Nalar yang mampu mendialogkan Islam dengan karakter Nusantara, maka ikhtiar ini menjadi opsi dalam menciptakan transformasi global menuju peradaban tanpa perang, tanpa diskriminasi, tanpa pelanggaran HAM, tanpa radikalisme, dan tanpa terorisme dalam membangun perdamaian dunia. Sebuah semangat yang mengupayakan penguatan relasi kemanusiaan sebagai bagian dari masyarakat dunia.
Legitimasi sejarah dalam mensyiarkan Islam di bumi Indonesia tanpa cara-cara kekerasan melainkan dengan cara-cara edukatif dan persuasif menjadi sebuah kekuatan tersendiri. Melahirkan sikap adaptif, akomadatif dan inklusif telah membuka ruang peradaban yang lebih bermartabat. Bahkan, Bruenessen mengakui bahwa Islam Indonesia adalah Islam dengan wajah penuh senyum, Islam yang ramah dan moderat. Namun, yang perlu dipertegas dalam membangun perdamaian dunia adalah bagaimana Islam Indonesia mampu menjembatani konstruksi nalar fikir warga muslim dunia sebagai basis nilai, sikap dan penyelesaian masalah global secara kontributif. Dinamika dan perkembangan global tidak dapat dihindarkan, bahwa telah terjadi interdependensi dan interpenetrasi berbagai kekuatan yang terus bergerak menembus batas-batas nasional sebuah negara, hal ini memberikan makna bahwa pada era kini tidak akan pernah ada negara yang hidup sendiri.
Pencitraan positif suatu negara dimata dunia akan sangat mempengaruhi dalam skema komunikasi, konsistensi sebuah negara dalam melakukan komunikasi dengan negara lain akan dapat menumbuhkan kepercayaan antar negara. Dulu, skema hubungan internasional Indonesia dengan dunia selalu mengandalkan para diplomatnya, sekarang tidak lagi hubungan antar negara melainkan juga dengan masyarakat dunia. Oleh karena itu, diplomasi tradisional yang hanya melibatkan peran pemerintah dalam menjalankan misi diplomasi tidak lagi efektif dalam menyampaikan pesan kepada suatu negara. Misi diplomasi tidak akan pernah berjalan dengan efektif tanpa keterlibatan publik.
Oleh karena itu, setiap negara kini berlomba-lomba menjalankan diplomasi total (multi-track diplomacy) dengan meningkatkan peran publik dalam aktivitas diplomasinya dalam rangka melengkapi first track diplomacy. Selain itu, misi kebudayaan dapat membangun dan menjaga semangat freedom of imagination, expression dan opportunity kepada semua elemen masyarakat, keberagaman seni dan budaya menjadi aset terbesar bangsa ini. Keragaman budaya “cultural diversity” adalah sebuah kekuatan bangsa Indonesia dalam turut andil berjejaring sehingga dalam skema komunikasi global menjadi nilai tambah dalam konteks turut serta menjaga perdamaian dunia.
Disini benang merahnya, bagaimana paradigma Islam Indonesia sebagai representasi pemikiran Islam menemukan relasi dan relevansi yang kuat dalam konteks gerakan radikal-fundamentalisme dan terorisme. Ditengah krisis multidimensi yang melanda dunia islam, Indonesia diharapkan mampu menjadi prototipe peradaban islam pada era kontemporer karena masyarakatnya yang multikultural, multireligius, multietnis, moderat serta toleran, dan hal ini telah menjadi daya tarik masyarakat dunia. Islam indonesia mampu “berdamai” dengan negara (demokrasi) dalam menjalankan fungsinya masing-masing guna mewujudkan masyarakat yang berdaulat, adil dan makmur.
Menurut Menlu, keterlibatan publik dapat membuka jalan diplomasi yang dilakukan wakil-wakil pemerintah sekaligus dapat memberikan masukkan dan cara pandang yang berbeda dalam memandang suatu masalah. Konsep yang melibatkan semua komponen bangsa dalam suatu sinergi dan memandang substansi permasalahan secara global dan integratif (Wirayuda, 2009). Oleh karena itu, Karakteristik diplomasi total ala Indonesia dalam bingkai nilai-nilai Islam Indonesia yang telah mempertemukan budaya, tradisi, intelektualisme dan agama serta indentitas akan mampu mengubah pandangan masyarakat dunia tentang intellectual property dan perlindungan hak-hak sipil (sosial-budaya, politik dan ekonomi). Berangkat dari sini, sepertinya bukan menjadi sebuah hal ilusi atau utopis untuk mempromosikan Islam Indonesia sebagai solusi alternatif dalam turut andil menjaga perdamaian dan ketertiban dunia.
Asep Najmutsakib, Penulis lepas tentang keislaman.