Khilafah.id – Organisasi masyarakat (ormas) Negara Islam Indonesia (NII) telah dinyatakan terlarang oleh pemerintah Indonesia. Tidak sekali-dua aktivitas organisasi ini menimbulkan kerusakan dan berpotensi mengancam kedaulatan bangsa. Beberapa waktu belakangan, Densus 88 mensinyalir keterlibatan organisasi ini dengan gerakan terorisme di Indonesia.
Kami beruntung dapat mewawancarai Matahari Timoer (MT) di sela kesibukannya. MT adalah mantan aktivis NII. Ia aktif terlibat dan menggerakkan organisasi tersebut lebih kurang satu dasawarsa, sejak 1988. Setelah keluar dari organisasi tersebut, MT menulis novel panjang yang merefleksikan pengalaman masa lalunya di NII. Novel tersebut telah diterbitkan judul Jihad Terlarang: Cerita dari Bawah Tanah (cet.I: 2007)
Wawancara ini dilakukan dengan semangat mengambil pelajaran dari apa yang dialami narasumber. Hingga dapat menjadi bahan refleksi untuk pembaca di tengah ragam ormas keislaman yang demikian banyak dan terus tumbuh di Indonesia. Berikut petikan wawancaranya;
Novel ini seperti autobiografi. Saya membaca tokoh utama punya pengalaman masa lalu yang sulit, kalau boleh disebut traumatik. Sehingga menggunakan Islam sebagai cara merubah keadaan agar orang lain tidak merasakan rasa sulit yang dialaminya. Apakah benar seperti itu?
Iya dapat dibilang seperti itu. Seseorang yang terjebak dalam emansipasi, from zero to hero.
Saya kira hampir setiap anak muda yang gelisah, punya semangat seperti itu. Lalu bagaimana ceritanya Anda bisa memilih NII waktu itu?
Saya dulu backgroundnya liar. Saya tidak tinggal sama orang tua. Sedang lulus SD, saya bisa dibilang anak jalanan. Di mana saja bisa tidur, di terminal, pos ronda. Tapi waktu itu belum ke mesjid. Kehidupan kriminal dan segala macam dilakukan, mabuk-mabukan, dan lain-lain. Hingga waktu SMA saya mulai jenuh dengan dunia preman seperti itu.
Ya aku ingin berubah. Saat itu yang aku pikir (cara untuk berubah) ya jadi remaja mesjid. Singkat cerita, aku menemukan sebuah masjid, jadi semacam marbot lah. Sekalian aku juga butuh tempat tinggal, karena aku sudah bukan di daerah yang sama dengan SMP dulu.
Ternyata masjid itu sudah “dikuasai” NII. Aku langsung dikader. Dalam satu bulan aku dikader menjadi ketua remaja masjid. Aku diajari cara mengaji, baca al-Qur’an yang benar, Nahwu dan Sharaf. Pembina masjid melihat aku punya talenta merekrut orang.
Ini termasuk kemampuan mereka yang perlu aku acungi jempol juga sih. Mereka dapat membaca potensi dan meletakkan orang di posisi strategis. Maka dibekalilah aku ilmu dan mindset-nya. Yang mulanya hanya ingin menjadi anak baik-baik, bertekad ngak mau minum minuman keras lagi, kemudian ingin jadi seorang yang bermanfaat dan berarti bagi orang lain.
Ya, aku harus berjihad, menjadi tentara Allah.
Berarti Anda memang merekrut anggota?
Iya, itu sebagai sebuah kewajiban.
Bagaimana caranya?
Bagaimana pun pengalaman hidup dan masa lalu (yang pedih dan traumatik) seseorang sangat mempengaruhi ya. Waktu itu aku berpikir, jangan sampai anak-anak muda Islam merasakan apa yang ku alami; bodoh soal agama; ngak peduli kalau ustad-ustad ditangkepin pada zaman Soeharto.
Intinya, kita kasih pemahaman yang simplenya kayak gini; lu tu hidup susah, lu tu miskin, karena secara struktural lu itu dimiskinkan. Umat (Islam) ini ditindas. (Pemahaman) ditindas itulah cara yang efektif membuat orang berubah. Maka kita harus merdeka dari penindasan ini.
Dua hal yang sangat berpengaruh saat itu, dan mungkin juga sampai saat ini, adalah; Pertama, menanamkan bahwa kita tertindas. Kedua, bahwa kita harus berjuang agar lepas dari penindasan ini, sehingga menjadi orang yang merdeka dengan keyakinan kita. Dua hal itu memicu orang mau bergerak.
Dengan cara pandang seperti itu, lalu bagaimana ceritanya Anda berkisar, atau katakanlah bertaubat, dari NII?
Sebenarnya, setelah tiga tahun berjalan dengan mereka, aku mulai kritis. Aku pada dasarnya gila baca. Buku apa pun aku baca, dari mulai yang kritis sampai yang najis. Bahkan aku sampai dicurigai pimpinan-pimpinan waktu itu kekiri-kirian, karena aku baca novelnya Pram (Pramoedya Ananta Toer), dan setiap hari Kamis aku nongkrong di CSIS (Centre for Strategic and International Studies)
Kenapa aku nongkrong di situ, karena perpustakaannya lengkap. Aku dulu juga rajin puasa Senin-Kamis, sehingga aku menghabiskan puasa dengan membaca buku saja, dari pagi sampai magrib. Buku Babat Tanah Jawi juga aku baca karena aku penasaran dengan sistem berpikir orang Indonesia. Membaca buku membuat aku jadi kritis.
Awal-awalnya buku yang aku baca (adalah) buku yang direkomendasikan saja. Kayak Ismail Raghi Al-Faruqi, tentang Tauhid. Buku itu harus khatam, karena di situ kita memahami tauhid secara lebih luas. Kemudian buku yang aku baca tidak hanya soal tauhid atau spiritual saja, tapi juga ada politik, ekonomi dan semacamnya, seperti buku-buku ,Ali syariati dan Murthada Muthahari.
Wah, buku-buku dari banyak mazhab?
Iya, banyak buku yang aku baca. Dari buku-buku itu, aku jadi punya pemikiran sendiri. “Kayaknya ngak seperti ini (pemikiran NII) deh,” begitu. “Kok ngak seperti yang gue baca.” Akhirnya sikap kritis bacaan itu aku ungkapkan. Sehingga menjadi kritik ku terhadap pimpinan gerakan dan organisasi.
Pada tahun 1991, aku mulai mengkritik dengan cara membuat puisi-puisi. Aku print dan ku tempel di basecamp. Dari situ kritik ku pada organisasi.
Berarti ini hasil elaborasi Anda sendiri, bukan berpaling karena ajakan orang lain atau bagaimana?
Iya hasil bacaan dan pemikiran ku sendiri. Aku dulu juga pernah diajak organisasi lain. Pernah akan direkrut Ikhwanul Muslimin, pernah juga ikut pengajian-pengajian Syiah. Cuma itu ngak mempan membuat aku pindah (dari NII). Karena aku lebih percaya sesuatu yang kredibel, yaitu buku.
Jika melihat kondisi sekarang, apalagi setelah rezim Orde Baru jatuh, semakin banyak Ormas Islam bermunculan. Tanpa menilai satu-persatu kehadiran mereka, berdasarkan pengalaman Anda, apa saran Anda agar anak muda tidak “terjebak” dalam ormas terlarang seperti pengalaman dahulu?
Ya untuk anak muda, aku ngak bisa jawab; “Lu jangan gampang terpengaruh dong,” atau, “Lu harus pinter dong.” Ngak juga, karena gue dulu juga goblok.
Berdasarkan apa yang aku alami, aku percaya bahwa setiap orang itu punya pergulatan, pemikiran, dan proses hidupnya. Ketika orang tersebut punya critical thinking begitu, ia akan memikirkan ajaran-ajaran dari organisasinya. Saya dari dulu begitu.
Ketika dulu Aku minta semua anggota (NII) harus berinfak, bagaimana pun caranya, mau nyolong atau apa, terserah. Aku berpikir, kalau aku nyuruh anak buah untuk melakukan kejahatan, apa bedanya gue dengan seorang kriminal.
Maka berpikir kritis itulah yang jadi modal utamanya. Jadi kita jangan taklid buta-lah.
Bagaimana menumbuhkan sikap selalu kritis di tengah indoktrinasi yang terus berjalan?
Ya dulu aku ngak percaya kita harus sami’na wa atha’na. Gimana aku mau sami’na wa atha’na, pimpinanku aja bahan bacaannya beda dengan ku. Dalam konteks aku dulu sumber bacaannya hanya buku. Saat ini kan sudah banyak sumber di internet.
Bukankah di internet juga banyak tersebar paham-paham yang keliru dan menjerumuskan?
Ya lagi-lagi kita harus kritis. Dalam banyak kesempatan, ini aku sampaikan di forum-forum. Aku juga sering bertanya, “Bacanya di internet soal Islam dari mana saja?” Ya memang banyak juga yang menjawab, bacaan yang sifatnya ke wahabi-wahabian.
Makanya kita harus banyak memberikan informasi alternatif. Kalau berdasarkan pengalaman ku, aku juga anjurkan bacaan-bacaan yang beragam, termasuk kazanah budaya juga, seperti tadi Babat Tanah Jawi, Babad Cirebon. Jadi kita punya alat untuk mengolah dan menyimpulkannya.
Kalau boleh meminta, apa trik khusus yang dapat Anda tawarkan pada kita dalam melihat dan membedakan kelompok-kelompok yang terlarang seperti NII ini?
Aku punya warning yang sering aku sampaikan ke anak muda. Kalau kita diajak ke sebuah kajian, pengajian, atau apalah namanya, dan dalam pengajian tersebut ditanamkan bahwa Islam tertindas, maka kita harus kritis kenapa mereka. Itu yang pertama. Kedua, kita diajak untuk hijrah. Ketiga, pengajian yang punya pesan-pesan sentimen terhadap aliran dan ajaran-ajaran lain dan suka menjelek-jelekan.
Pada pengajian seperti itu kita mesti kritis.
Bagaimana kita bisa kritis kalau memang di sekitar kita mungkin memang benar banyak muslim yang tertindas dan miskin begitu?
Kita mesti mempertanyakan seluas apa diri kita melihat umat Islam, begitu. Dalam pengajian-pengajian seperti itu (terlarang) biasanya ditanamkan bahwa umat Islam dijajah dan dimiskinkan. Jadi membuat pikiran kita sempit, seolah-olah hanya kita yang tertindas di dunia ini.
Aku biasa mengatakan dalam pembicaraan, “Kamu jangan merasa paling sengsara di dunia ini. Jangan-jangan Lu miskin bukan karena orang lain. Tapi Lu miskin karena diri Lu sendiri.”
Jadi tidak langsung serta-merta menghubungkan kesengsaraan diri dengan Islam, begitu ya?
Iya benar. Apalagi kita di Indonesia ini sangat beragam sekali, ratusan suku, ribuan bahasa, belum lagi menghitung jumlah agama leluhur. Jadi tidak bisa kita langsung mengkaitkan semuanya dengan Islam.
Aku sepuluh tahun di NII, ngak merubah apa-apa untuk negeri ini. Ngak memajukan apa-apa untuk Islam.
Maka aku sering menyampaikan, kita jangan beriman dengan kekhawatiran. Kita jangan pula takut dengan keberagaman di negeri ini.
Robby Kurniawan, Penulis keislaman.