Khilafah.id – Seandainya Indonesia tidak memiliki sejarah bahwa kita dijajah, maka pendidikan yang kita jalankan saat ini seperti pendidikan yang diterapkan di pesantren. Sebab kelahiran pesantren, jauh sebelum Indonesia merdeka.
Salah satu fakta yang bisa kita lihat bahwa, dilansir melalui tebuireng.online, Pesantren Tebuireng Jombang didirikan oleh Kiai Hasyim Asy’ari pada tahun 1899, jauh sebelum Indonesia merdeka. Meskipun demikian, sebelum tahun tersebut ide tentang pondok pesantren sudah dilakukan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim, atau yang dikenal dengan sebutan Sunan Ampel tersebut ketika mendirikan padepokan untuk para santrinya.
Dalam sejarah panjang perjalanan pesantren sebagai lembaga pendidikan asli Indonesia, lambat laun mengalami transformasi yang cukup pesat. Pendidikan pesantren tidak hanya mengkaji keilmuan agama yang berasal dari pelbagai kitab klasik yang biasa disebut kitab kuning, serta kitab-kitab lainnya.
Pesantren juga mengombinasikan keilmuan umum dengan adanya pendidikan formal yang didirikan di bawah naungan pesantren. Dengan transformasi tersebut, pesantren menjadi lembaga pendidikan yang banyak dicari oleh masyarakat sebagai paket komplit untuk menyekolahkan anak, di samping belajar agama sesuai dengan fungsi pesantren sejak awal.
Jika kita lihat eksistensinya, pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan cukup memiliki kredibilitas yang mumpuni dengan lahir-lahirnya tokoh publik yang berasal dari pesantren. Sejauh ini, kita melihat bagaimana tokoh-tokoh besar di Indonesia seperti Gus Mus, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nur Cholish Madjid, dll. berasal dari pesantren.
Mereka menjadikan pesantren sebagai lembaga representatif dalam pengembangan karakter, keilmuan serta nilai-nilai hidup yang ditampilkan. Sebenarnya jauh sebelum itu, perjuangan para santri atas kontribusinya terhadap cita-cita kemerdekaan Indonesia tidak bisa dinafikan begitu saja. Para pahlawan yang dinobatkan dari kalangan pesantren, seperti halnya Kiai Ahmad Dahlan, Kiai Hasyim Asy’ari dll. menjadikan kaum santri sebagai kelompok yang tidak akan mengkhianati Indonesia dalam bentuk apapun, termasuk menghancurkan NKRI.
Pesantren bibit terorisme?
Dengan fakta sejarah yang cukup panjang, belakangan ini nama pesantren diciderai oleh fenomena yang cukup tidak etis dengan adanya kasus kekerasan seksual di pesantren, ditambah dengan penyampaian bahwa ada banyak pesantren yang diduga terafiliasi oleh jaringan terorisme.
Fakta ini cukup mengejutkan publik ketika BNPT menyampaikan ada 198 pesantren yang terafiliasi jaringan teroris. Tentu, respon publik begitu heboh dengan penyampaian itu serta menciptakan asumsi liar bahwa pemerintah anti-Islam dan narasi yang semakin panjang dengan pelbagai alasan yang bias.
Padahal, perlu diketahui bahwa diantara banyaknya pesantren di Indonesia. Seharusnya kuta cukup jeli dengan eksistensi pesantren yang berada di bawah asuhan para napi teroris seperti Pondok Al Mukmin, Ngruki, Sukorharjo, asuhan Abu Bakar Baasyir, sang Imam besar teroris di Indonesia. Bagaimana fakta ini bisa luput dari kacamata kita?
Artinya, keberadaan pesantren yang dicap terafiliasi teroris faktanya benar-benar ada. Di bawah asuhan mantan napi teroris, sang Imam besar teroris Indonesia, pesantren tersebut jelas-jelas ingin menjadikan Islam sebagai asas Indonesia seperti halnya yang dicita-citakan oleh ISIS. Penolakan terhadap pancasila sebagai asas tunggal tidaklah bisa dinafikkan oleh keberadaan pesantren yang dibawah asuhan para napi teroris.
Apakah semua pesantren terafiliasi teroris? Tentu tidak. Dengan fakta yang cukup mencengangkan tersebut, maka sikap yang bisa dilakukan adalah bagaimana mencari pondok pesantren yang tidak terafiliasi oleh jaringan terorisme.
Kementerian Agama (Kemenag) menjelaskan beberapa hal yang perlu dilihat dari sebuah pesantren untuk dijadikan wadah keilmuan, diantaranya: kiai sebagai pengajar, dilihat sanad keilmuannya, bagaimana sepak terjangnya dalam kehidupan sosial, dan sosok teladannya bagi masyarakat. Selain kiai, fasilitas juga dilihat dari sebuah pesantren yang mencakup kajian keilmuan agama, seperti kitab kuning.
Tidak hanya itu, pesantren yang dipilih harus pesantren inklusif yang bisa dikunjungi oleh orang tua, masyarakat bisa mengetahui aktifitas keilmuan yang ada di dalamnya. Dengan upaya tersebut, kita bisa menilai bahwa pesantren yang dipilih menjadi tempat keilmuan tidak terafiliasi pada jaringan terorisme.
Karakter pesantren yang perlu kita ketahui
Ahmad Baso dalam bukunya yang berjudul “Pesantren Studies” memaparkan apa yang disampaikan oleh Soetomo bahwa dalam sistem pesantren, ada beberapa karakter yang terdapat di pesantren diantaranya: pengetahuan pada murid-muridnya, memberi alat untuk berjuang di dunia, pendidikan yang bersemangat dan kebangsaan cinta kasih pada nusa dan bangsa khususnya pada dunia dan sesama umat-umatnya, murid-murid akan menyediakan diri untuk menunjang keperluan umum, dan kekuatan batin di didik; kecerdasan roh diperhatikan dengan sesungguh-sungguhnya.
Kelimat karakter itulah yang membuat sistem pesantren menjadi basis pendidikan keagamaan dan nasionalis yang bisa menjadikan santri dalam membangun peradaban bangsa dan negara.
Muallifah, Mahasiswi Magister Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.