Khilafah.id – Kejadian terorisme di setiap negara memiliki motif yang beragam, aktor dengan pemimpin yang berbeda, kepentingan politik yang berbeda dan tentunya aksi terorisme telah banyak menghilangkan nyawa tidak bersalah. Amerika menjadikan tragedi 9/11 sebagai America’s Worst Terror. Tragedi terorisme 11 September 2001 tersebut mengakibatkan 2.977 meninggal dari 93 negara di dunia termasuk 400 petugas tanggap darurat dan menjadi bencana bangunan terburuk dalam sejarah Amerika Serikat (AS).
Jaringan Ekstremis Islam Militan Al-Qaedalah dalang dari tragedi mengerikan sepanjang sejarah ini. Tujuan mereka saat itu adalah untuk menabrakkan pesawat ke gedung-gedung terkemuka Amerika, menimbulkan korban massal dan kerusakan struktural besar.
Peristiwa 11 September 2001, menggerakkan perubahan besar pada praktik intelijen dan kontraterorisme AS. AS kemudian meningkatkan kemampuannya untuk mengidentifikasi, menembus dan membongkar plot teroris sebagai hasil dari serangkaian reformasi struktural; pengembangan alat intelijen dan penegakan hukum baru; dan pola pikir baru yang menghargai berbagi informasi dan pencegahan.
AS juga meningkatkan pola Kerjasama dengan mitra dalam lingkup komunitas intelijen, militer dan penegak hukum, serta dengan komunitas di seluruh Amerika dan rekan-rekan di seluruh dunia. Komitmen AS hingga saat ini adalah will not rested — and will never rest — in its efforts to safeguard America.
Tragedi ini ditengarai sebagai puncak dari hampir satu dekade upaya Osama bin Laden yang dimotivasi oleh ideologi Islam radikalnya untuk membunuh tentara dan warga sipil Amerika. Dikutip dari www.cfr.org “Kejadian ini merupakan kegagalan badan-badan intelijen dan penegak hukum domestik dalam berbagi informasi penting terkait ancaman bin Laden”.
Sebagai upaya menembus border line antara satu kekuatan dengan kekuatan lain di AS dan menutup celah kegagalan kembali antar badan di AS, Bush kemudian memberikan otoritas dan grants kepada CIA (Central Intelligence Agency) Badan Intelijen Pusat Amerika secara terbuka untuk menangkap dan menahan “siapapun yang dianggap sebagai continuing, serious threat” terhadap Amerika.
Tidak berhenti di situ, Bush sebagai Presiden Amerika Tahun 2001 hingga 2009 juga menandatangani “Joint Resolution” bersama kongres untuk memberikan wewenang kepada Presiden untuk menggunakan “Semua kekuatan yag diperlukan dan tepat” dalam memerangi siapapun yang terlibat dalam 9/11 termasuk penggunaan kekuatan militer AUMF (Authorization for Use of Military Force). War on Terror juga di umumkan oleh AS sebagai undangan besar-besaran kepada seluruh dunia untuk memerangi dan memberangus terorisme hingga ujung bumi. Berbagai kebijakan terus dilakukan dalam upaya perkuatan kontraterorisme di AS termasuk perkuatan respon kontraterorisme Pemerintah Federal melalui Partiot Act
Dari tragedi ini pula, AS terus menargetkan pemimpin dan pendukung kelompok Al-Qaedatermasuk Osama Bin Laden yang berakhir tewas pada Minggu, 1 Mei 2011 ditangan Pasukan militer Amerika Serikat melalui serangkaian penembakan selama 40 menit di Abbottabad, Pakistan, dan Pasukan Militer AS berhasil mengambil tubuhnya.
Kita bisa melihat bagaimana kengerian yang terjadi pada 9/11 melalui film yang diadopsi dari kisah nyata 9/11 berjudul Fahrenheit 9/11, United 93 (2006), World Trade Center (2006), Reign Over Me (2007), The Second Day (2011), Extremely Loud and Incredibly Close (2011), dan Zero Dark Thirty (2012). Percaya tidak percaya, Film adalah gambaran dari kisah nyata.
Hal ini serupa dengan apa yang pernah dikemukakan oleh Robert Joseph Flaherty (seorang sutradara atau pembuat film, pelopor film dokumenter Amerika Serikat asal Inggris) bahwa film adalah “karya ciptaan mengenai kenyataan”, creative treatment of actuality. Sehingga banyak film merepresentasikan kondisi real yang diceritakan oleh film meski beberapa didramatisasi agar menarik untuk ditonton seperti beberapa film mengenai 9/11 tersebut.
Jika AS pernah menelan pahitnya kehilangan atas tragedi 9/11, India juga memiliki kepedihan serupa. India pernah mengalami kejadian satu dari yang paling mengerikan sepanjang sejarahnya yang dikenal sebagai tragedi 26/11. Peristiwa mencekam yang berlangsung selama tiga hari pada 26-29 November 2008 telah menewaskan 195 orang termasuk di antaranya 20 pasukan keamanan dan 26 warga asing dan 327 luka-luka. Sementara itu, sembilan dari sepuluh orang pelaku teror ditembak mati di lokasi dan satu orang diamankan polisi.
Dikutip dari Britannica, pada 26 November 2008, 10 pria bersenjata dan membawa granat menyebar ke beberapa tempat umum di bagian selatan Mumbai. Para militan ini datang ke Mumbai menggunakan kapal speedboat melalui jalur laut dan mendarat di Bandar ikan kecil di Colaba bernama Dok Saffon.
Kesepuluh orang ini, yang menurut hasil investigasi dari komunikasi sadapan mendapat instruksi dari luar negeri via telepon satelit selama kontak senjata lebih dari 59 jam melawan aparat keamanan India, dikatakan akan menargetkan 5000 warga sipil di berbagai tempat umum seperti hotel ternama Taj Mahal, hotel mewah Oberai Trident, stasiun kereta api tersibuk CST, bandara lokal Santa Cruz, rumah sakit Cama dan GT, metro Adlabs, Mazgaon Dockyard, serta tempat pemukiman Yahudi.
Pasukan elit India yang juga masuk dalam jajaran pasukan khusus terbaik dunia diterjunkan dalam satu operasi penting bernama “Operation Black Tornado” untuk melumpuhkan para kelompok teroris yang menyerang Mumbai kala itu. Selain itu, Satuan Elite Black Cat diturunkan dalam misi menembak mati 4 militan di Hotel Taj Mahal.
Dalang dari tragedi mengerikan ini adalah Lashkar-e-Taiba (LeT), kelompok militan Islam terbesar asal Pakistan yang juga bagian dari sayap bersenjata Khotbah dan instruksi pusat Markaz Dawat-ul Irshad (MDI), the Center for Proselytization and Preaching berkedok Charitable Society. Kelompok ini didirikan saat Pakistan dalam pergolakan Islam ketika adanya program dari Jenderal Zia Ul-Haq tahun 1977-1988 untuk mengislamisasi Pakistan. LeT adalah bentukan Hafiz Saeed, Abdullah Azzam dan Zafar Iqbal dengan dana dari Osama bin Laden yang didirikan pada 1987.
Yang menonjol dalam tragedi ini adalah sosok dibelakang LeT yang cukup berpengaruh terhadap giroh para pemuda simpatisan kelompok teroris ini yaitu Hafiz Saeed yang sempat dihargai kepalanya oleh AS seharga 135 Milyar. Kehadiran Hafiz dalam mendirikan LeT juga tidak lepas dari sosok bernama Abdullah Azzam (1941–1989) atau yang dikenal sebagai Dr. Abdullah Yusuf Azzam alias Syekh Azzam.
Azzam juga dikenal oleh kelompok radikal kanan sebagai “peletak fondasi jihad”, “penggedor kesadaran jihad” dan pelopor propaganda mati syahid. Ia adalah eks aktivis IM (Ikhwanul Muslimin) Palestina. Beberapa buku yang pernah Ia tulis berjudul Tarbiyah Jihadiyah, Join the Caravan (2001), The Lofty Mountain (2003), Defence of the Muslim Lands: The First Obligation After Iman (2002), Jihad: adab dan hukumnya (1991) dan berbagai buku karangan lainnya yang tentunya dianggap oleh simpatisannya mampu menggelorakan semangat “jihad/mati syahid” versi mereka yang sebenarnya adalah “bunuh diri”.
Dalam nalar saya, buku-buku Azzam inilah yang menjadi semangat dari para simpatisan kelompok teror terus menggelorakan semangat “jihad” hingga melakukan “suicide bombing”. Banyak anggapan dari kelompok teroris ini mengagungkan Azzam hingga menjadikan banyak pemuda berhaluan radikal kanan garis keras dari seluruh dunia terpengaruh atas fatwa-fatwa Azzam dan bergabung bersama para pemberontak di Afghanistan.
India belajar banyak dari tragedi ini, India berkomitmen akan terus meningkatkan berbagai tindakan untuk memberantas organisasi teroris salah satunya melalui kerjasama erat bidang antiteroris dan pengetatan UU anti teror serta perbaikan sektor pengamanan di pantai. Dan berbagai film juga turut merepresentasikan bagaimana tragedi ini terjadi di India seperti The Attacks of 26/11, Hotel Mumbai, dan Major (2022).
Jika India memiliki sosok Azzam, Indonesia juga memiliki sosok yang digadang-gadang memiliki pengaruh besar dalam pergerakan simpatisan kelompok teror berbahaya di Indonesia yaitu pimpinan Jamaah Ansharut Daulah/JAD Aman Abdurrahman. Oman Rochman alias Aman Abdurrahman yang kini mendekam di hotel prodeo dan dijatuhi hukuman mati atas kasus bom Thamrin dan kasus pelatihan militer di Jalin Jantho, Aceh Besar pada 2010 disebut sebagai orang yang dihormati di kalangannya karena keteguhannya memegang ideologi hingga dijuluki “Singa Tauhid”.
Selain itu, ia juga disebut memiliki kapasitas akademik yang baik. Ia merupakan lulusan dari LIPIA Jakarta dengan kategori mumtaz atau cum laude dan hafiz, Ia juga mengenal sejumlah kitab fiqih dan terjemahannya. Dari deretan kemampuannya lah, Aman memiliki posisi sebagai ideolog yang menjadi rujukan anggota kelompok teror. Berbagai aksi teror dilakukan oleh pengikut Aman sebagai bagian dari protes mereka untuk menuntut kebebasan Aman.
Aksi terorisme keji pengikut Aman yang terafiliasi dengan JAD yang telah dilakukan diantaranya bom bunuh diri 2017 yang menarget polisi di Kampung Melayu dan bom bunuh diri 2018 yang menarget gereja dan polisi di Surabaya. Aman telah banyak menginspirasi banyak pengikutnya untuk bertauhid dan menerjemahkan jihad sesuai tuntunan ISIS yaitu melakukan “amaliyah Istisyhadi” atau bom bunuh diri.
Jauh sebelum kekacauan yang terjadi di Indonesia dilakukan oleh pengikut JAD, Indonesia memiliki kenangan terburuknya sama seperti 9/11 AS dan 26/11 India yaitu tragedi Bom Bali pada 12 Oktober 2022 yang menewaskan 202 jiwa melayang serta 209 orang luka-luka. Pengikut Jamaah Islamiyah (JI) yang terafiliasi dengan Al-Qaedadi Indonesia lah yang bertanggung jawab atas tragedi kejam ini.
Selain Tim Khos yang terdiri dari; Ali Imron, Amrozi, dan Imam Samudera, ada Hambali yang berperan sentral sebagai “big boss” dan juga “Otak” dibalik serangkaian ledakan bom terkordinasi yang terjadi di Indonesia mulai dari Bom Bali 1 (12 Oktober 2022), Bom Marriot (5 Agustus 2003), bom Kedutaan Besar Australia (9 September 2004), Bom Bali 2 (1 Oktober 2005) dan Bom Marriot-Ritz Carlton (17 Juli 2009).
As’ad Said Ali mantan Wakil Kepala BIN dalam bukunya yang berjudul: Al Qaeda, Tinjauan Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya (2014) mengatakan “Rangkaian Ledakan Bom tersebut merupakan proyek Al-Qaedayang dipercayakan pelaksanaannya kepada Hambali”. As’ad juga mengungkapkan bahwasanya Hambali adalah “kader paling cerdas” dan terpilih “sebagai lulusan terbaik angkatan keempat”.
Hambali pernah mendapatkan Pendidikan militer di Afghanistan dan lulus tahun 1989 dan bahkan sempat menduduki jabatan sebagai instruktur disana. Ada beberapa film rekomendasi yang men-depicted kekejaman aksi teroris dalam teror Bom Bali yang terjadi di Indonesia seperti Long Road to Heaven, Prison and Paradise, The Healing of Bali, serta Penjara dan Nirwana.
Indonesia kemudian membentuk BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) pasca bom bali tahun 2002 melalui instruksi presiden Nomor 4 Tahun 2002 dengan tujuan penanggulangan terorisme di Indonesia dan menjadikan BNPT salah satu ruang kerjasama dengan negara lain untuk penguatan peran kontra terorisme dan pencegahan aksi terorisme di Indonesia.
Indonesia juga melibatkan TNI dalam penanggulangan terorisme yang tertuang dalam penjelasan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI menurut ayat (2) bahwa mengatasi aksi terorisme adalah tugas pokok TNI yang dilaksanakan dengan cara melakukan operasi militer selain perang (OMSP). Disini sangat jelas bahwa prinsip TNI untuk mengatasi terorisme adalah dengan melakukan miltary operation bukan law enfocement.
Hingga saat ini, Indonesia terus memperkuat keterlibatan seluruh Kementerian/Lembaga dan masyarakat dalam upaya kontra terorisme termasuk yang tertuang dalam Perpres No 7 Tahun 2021 Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme (RAN PE) Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024.
Dari latar belakang kasus terorisme di 3 (tiga) negara tersebut, ada kesamaan antara kasus yang terjadi di AS 9/11, India 26/11, dan Indonesia Bom Bali 12 Oktober 2002. Kesamaannya terletak dari para pelaku teror ketiga negara ini sama-sama telah lulus dari kamp pelatihan yang diselenggarakan oleh Al-Qaedadi Afghanistan.
Contohnya yaitu Hambali yang telah saya sebutkan sebelumnya, begitupun dengan LeT yang ternyata telah dekat dengan Al-Qaeda sekitar pertengahan tahun 1990-an dan semakin akrab setelah serangan 9/11. LeT yang merupakan bagian dari Osama Bin Laden International Islamic Front yang beroperasi di Pakistan dan menyediakan persediaan logistik untuk kebutuhan Al-Qaedadi Pakistan. Vis a vis dengan “kebaikan” yang diberikan oleh LeT, Al-Qaedakemudian mengizinkan LeT untuk turut serta dalam pelatihan bersama di kamp-kamp pelatihan di Afghanistan.
Inilah momen dimana LeT menjadi pendukung utama Al-Qaeda dan mengizinkan pejuang Al-Qaedadapat melarikan diri dari Afghanistan dan berlindung di Safe House di Pakistan. In short, Multi effect akibat pelatihan yang diselenggarakan oleh Al-Qaedaini menghasilkan banyak teror dan menghilangkan banyak nyawa innocence hingga instabilitas di seluruh dunia.
Meski pola aksi kelompok teroris global yang dilakukan di AS, India dan Indonesia berbeda, namun kesamaan strategi pemanfaatan berbagai hal menunjukkan cerdik dan pintarnya para kelompok radikalis teroris ini memanfaatkan segala hal termasuk ilmu intelijen yang didapat selama Pendidikan di Al-Qaedadigunakan untuk mensuksesi aksi terornya.
Menurut K.J Holsti (1992), kerjasama akan terbentuk antar negara dapat terjadi bilamana adanya masalah bersama. Maka tidak mengherankan jika Indonesia, AS, dan India kemudian memperkuat bingkai Kerjasama khususnya dalam lingkup Kerjasama sharing information antara badan intelijen satu negara dengan negara lain dilakukan baik dalam bingkai Kerjasama bilateral, regional hingga multilateral sebagai upaya kontraterorisme.
Kesamaan atau common interest untuk diperangi bersama yaitu terorisme menjadi urgensi bersama Kerjasama ini perlu dibangun oleh seluruh negara didunia yang menganggap aksi terorisme adalah musuh bersama. Kerjasama ini tentu saja tidak mungkin dilakukan jika bukan atas dasar national interest atau kepentingan nasional dan atas nama perdamaian dunia yang abadi.
Dalam tulisan ini, saya tidak hanya akan membahas teror 9/11, 26/11, dan Bom Bali. Namun saya juga tertarik untuk membahas bagaimana kelompok teror berhasil berkordinasi jarak jauh atau melakukan pemetaan internal melalui tayangan berita terkini saat kejadian teror terjadi.
Kelompok teror sangat menyukai publisitas apalagi gratis. Mereka sangat dengan senang hati jika “aksi heroiknya” dipertontonkan freely keseluruh penjuru dunia agar pimpinan afiliasinya seperti Al-Qaedadan ISIS merasa bangga atas “pengorbanan” yang dilakukan oleh para pendukung, pengikut dan simpatisannya di seluruh dunia.
Contohnya yang terlihat dalam gambaran di film Bolywood berjudul “Major” (2022) besutan surtadara Sashi Kiran Tikka yang menunjukkan banyak media India memamerkan bagaimana Special Force India NSG (National Security Guard) atau Black Cat melakukan berbagai aksi dengan kelengkapan alat canggih untuk menaklukan teroris.
Namun publisitas media ini ternyata menjadi boomerang tersendiri karena telah menunjukkan banyak teknik hingga penggunaan kostum dan senjata api khusus yang “ditelanjangi” oleh publikasi live media India itu sendiri yang mengakibatkan kegagalan operasi hingga menewaskan beberapa prajurit India.
Dalam Film tersebut juga, tergambar bagaimana media mengeksploitasi seluruh aktivitas di dalam Hotel Mumbai melalui tayangan berita “breaking news” yang seolah dianggap sebagai berita terkini yang menggabarkan semua hal dari tempat kejadian dimana aksi yang menakutkan terjadi.
Dalam hal ini, media seolah memberitakan semuanya untuk menceritakan kondisi real dilapangan, namun hal ini ternyata menjadi kekuatan para kelompok terorisme dalam memetakan dan berkordinasi satu sama lain memenangkan peperangan di medan perang dengan aparat keamanan.
Berita bisa saja menjadi alat untuk melihat bagaimana fenomena terjadi, namun banyak juga kegagalan terjadi akibat pemberitaan yang cenderung “vulgar” mengekspos semua hal yang berhubungan dengan kekuatan yang dimiliki untuk melawan para teroris yang sedang mencoba melakukan huru hara. Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan Nacos (2006) dalam Terrorism/Counterterrorism and Media in the Age of Global Communication, bahwa Media dengan mudah dapat digunakan oleh para arsitek terorisme melalui eksploitasi media untuk kepentingan efisiensi operasional mereka, pengumpulan informasi, rekrutmen, penggalangan dana, dan skema propaganda (Nacos 2006).
Di Indonesia sendiri, hal ini pernah terjadi pada saat media mempublikasikan secara streaming, bagaimana Detasemen Khusus (Densus) 88 Mabes Polri mengepung sebuah rumah di kampung Kepuh Sari, RT 03/rw 11, Kelurahan Mojosongo, Jawa Tengah dan terus melakukan baku tembak 17 September 2009.
Rumah ini dikepung karena diduga terdapat kelompok Urwah cs, buron kasus bom JW Marriott Jakarta dan The Ritz-Carlton yang memiliki senjata api berlindung dirumah tersebut. Selain itu, Kasus Afif juga tidak lepas dari publisitas media secara live. Sunakim alias Afif dalam tayangan berita live menunjukkan sudah hendak meledakkan bom besar di dekat pusat pertokoan Sarinah Jakarta Barat ketika dilumpuhkan oleh polisi pada 14 Januari 2016.
Afif ditengarai adalah salah satu murid terpidana seumur hidup kasus terorisme Aman Abdurahman yang pernah mengikuti pelatihan militer di Jalin Jantho Aceh Besar Tahun 2010 yang diduga didanai oleh Abu Bakar Baasyir.
Ini yang kemudian menjadi tanda tanya besar bagi masyarakat “apakah aksi terorisme ini sudah ada simulasinya terlebih dahulu atau ini adalah sebuah scenario? Bagaimana bisa dalam hitungan detik aparat keamanan, tim gegana, densus 88 semua assemble menjadi satu dan siap memangsa afif kala itu.
Itu adalah pandangan orang awam, namun tentu saja, semua pergerakan sudah ada polanya dan aparat keamanan sudah membaca pola tersebut, sehingga tidak mengherankan langkah cepat terukur mereka telah menyelamatkan banyak nyawa di Indonesia saat itu.
Meski begitu, masih banyak hal yang perlu dipelajari lebih dalam, bagaimana berita bisa dijadikan sebagai umpan atau alat pro aparat keamanan dibandingkan harus memberikan keuntungan lebih dalam upaya kordinasi kelompok teroris di medan perang.
Sehingga perlu banyak pemikir dibidang jurnalisme, kontraterorisme, dan Kerjasama keduanya agar bisa menjadi supporter dalam aparat keamanan dan penegak hukum melakukan tugasnya meringkus teroris. Hal ini bertujuan agar terjalinnya mutual beneficial relationship atau hubungan yang saling menguntungkan antara Lembaga kontra terorisme, aparat penegak hukum, aparat keamanan, dan media. Serta tidak lagi menjadi marketing gratis kelompok teroris yang sedang melancarkan aksi kejinya untuk menakut-nakuti dunia.
Siska A., M.Han, Pengamat dan Analis Kajian Gender dan Kontra Radikalisme Terorisme.