Khilafah.id – Sebelumnya sudah saya ulas, benarkah agama adalah musuh besar Pancasila? Spekulasi warganet pun pecah. Bahkan ada yang berkomentar sadis dengan hashtag: #PecatKepalaBPIP.
Pancasila kembali ramai diperbincangkan pasca Kepala BPIP Yudian Wahyudi mengeluarkan statemen bahwa musuh terbesar Pancasila adalah agama. Bagi yang pro Kepala BPIP, argumentasi yang ditawarkan adalah argumen akademis. Sedangkan mereka yang mendesak Kepala BPIP mundur bersikukuh mengatakan bahwa Yudian Wahyudi gagal membedakan antara agama dengan pemikiran keagamaan.
Perdebatan alot itu sebenarnya tidak perlu dibesar-besarkan. Hubungan agama dengan Pancasila sama tuanya dengan dirumuskannya Pancasila itu sendiri. Para founding father Indonesia ketika itu, utamanya sidang BPUPKI sudah memutuskan konsensus final. Lima sila mengandung komitmen universal (kalimatun sawa’) antaragama. Meski demikian, tidak berarti Yudian Wahyudi ahistoris. Misunderstanding adalah alasan terkuat kenapa pernyataan tersebut jadi kontroversial.
Agama, pemikiran agama, pengamalan agama, bahkan perampokan agamalah yang menjadi musuh Pancasila selama ini. Perampokan agama maksudnya ialah upaya mencatut agama demi agenda-agenda politis untuk mencapai posisi strategis tertentu. Tentu saja hal itu riskan terhadap Pancasila. Mereka melakukan tindakan ekstrem dan separatis tidak hanya untuk mengutak-atik sistem pemerintahan, melainkan merongrong eksistensi Pancasila itu sendiri.
Inilah musuh Pancasila, musuh kita bersama, yang sebenarnya. Ini yang mesti kita bersama perangi. Ekstremisme dan separatisme memiliki spirit menghancurkan NKRI, karenanya kita tidak bisa menganggapnya sebagai persoalan remeh. Separatisme memang berjaya di daerah-daerah tertentu, seperti Papua misalnya. Ekstremisme teritorinya relatif lebih jauh. Ia bermain-main dengan doktrin agama, menghasut masyarakat untuk membenci negaranya.
Jika separatisme mendegradasi lima dasar yang tercakup dalam Pancasila, ekstremisme juga bercakup lebih luas. Ia merugikan orang banyak, misalnya dengan melakukan bom bunuh diri. Baik ekstremisme maupun separatisme ibarat musuh selimut. Tak jarang ia bersembunyi di balik undang-undang kebebasan berekspresi. Berlindung di bawah naungan hak asasi manusia. Demokrasi kita lalu dieksploitasi, demi kepentingan mereka menghancurkan demokrasi itu sendiri.
Agama Ideologis Kaum Ekstremis-Separatis
Agama (al-din) memuat norma-norma universal yang tidak akan pernah lekang oleh waktu (zaman) dan tempat (makan). Ia mencakup segala urusan vertikal (habl min Allah) dan hubungan horizontal (habl min al-nas). Iya adalah esensi. Panduannya adalah kitab suci. Dalam Islam, kitabnya adalah Al-Qur’an. Kristen dan Yahudi juga memiliki kitab mereka sendiri; Alkitab. Setiap kitab suci kebenarannya mutlak, tetapi tidak dengan “penafsiran atas kitab suci”. Ia tentatif dan temporal.
Ketika berada dalam tataran penafsiran, maka di situlah agama berubah menjadi “tafsir atas agama”. Ia tak lagi universal, karena melibatkan sosio-religio-kutural kita sebagai penafsir. Apa yang diajarkan kitab suci kita pahami, tetapi pemahaman tersebut berkaitan erat dengan konteks kita sendiri. Karenanya, agama kemudian seringkali tereduksi ideologi tertentu. Parahnya, beberapa orang tetap bersikukuh bahwa agama yang tercemar ideologi tersebut tetap harus dipaksa ajarkan.
Ini yang disebut dengan agama ideologis. Ia merupakan agama yang sudah terdistrosi subjektivitas, misalnya ideologi ekstrem, eksklusif, dan seterusnya. Ideologi wahabi, ideologi salafi ekstrem kemudian membakar agama, dan mendoktrin bahwa ideologinya adalah purifikasi ajaran-ajaran Islam. Agama yang murni, bagi mereka, adalah agama yang tidak bertentangan dengan ideologi tadi. Dari sinilah ekstremisme menemukan panggungnya mengobrak-abrik bagian internal agama.
Di samping itu, separatisme ternyata tidak hanya muncul karena menginginkan kemerdekaan, melainkan karena lelah dengan pendiskreditkan Islam. Setidaknya mereka merasa demikian. Dalam tatanan negara baru yang diinginkan, kelompok separatis sama dengan kelompok ekstremis. Yakni sama-sama melakukan segala aktivitas yang mengundang kekacauan (chaos). Hanya saja separatis lebih umum. Tetapi, musuh terbesar Pancasila tetaplah keduanya.
Tentu, label musuh di atas, adalah pertimbangan beberapa kerja kooperatif ekstremisme dan separatisme dalam memusuhi bangsa ini. Jika kita mencintai Indonesia, mereka adalah musuh kita bersama juga. Kita kita menyadari bahwa mereka musuh, melawan adalah suatu yang membanggakan. Jika tidak, Pancasila berada dalam posisi berbahaya, karena ia ada di bawah rongrongan pengrusak Pancasila itu sendiri.
Berpegang Teguh pada Pancasila
Menjadikan Pancasila azas tunggal bernegara tidak berarti menegasikan posisi agama. Tetapi ekstremisme tak masuk bagian ini. Beragama secara ekstrem, atau beragama dengan hasrat separatis, adalah rupa pejoratif dari keberagamaan itu sendiri. Cukuplah kita mengamalkan norma agama yang include dalam Pancasila, perihal bernegara. Tetapi tatanan hidup sosial kita juga mesti sebagaimana diajarkan Al-Qur’an.
Ketika Al-Qur’an menentang ekstremisme dan separatisme, lalu apa alasan kita membenturkan agama dengan Pancasila? Seharusnya kita menyadari, justru yang bertentangan adalah ekstremisme dan separatisme itu. Ungkapan “agama” juga tidak bisa kita lepas dari konteksnya. Agama adalah agama. Pemikiran agama adalah pemikiran agama. Keduanya adalah hubungan kontinuitas, tapi pengertiannya tidak sama: antara ‘yang universal’ dengan ‘yang temporal’.
Hari ini agenda kita adalah merevitalisasi Pancasila, dan pada saat bersamaan, membungkam ekstremisme serta separatisme. Semua kasus hari-hari ini, misalnya WNI yang hijrah ke Suriah, adalah korban dari penyalahpahaman Pancasila satu sisi, dan pengkontrasan Pancasila dengan agama di sisi lainnya. Adalah ironi, jika sampai masyarakat umum menyalahpahami, bahwa Pancasila adalah satu hal, dan agama adalah hal lainnya. Jelas itu mengundang lahirnya spirit separatis.
Ekstremisme dan separatisme barangkali akan sulit dientaskan, sebagai komsekuensi logis dari sistem demokrasi kita. Tetapi membentengi diri adalah satu keniscayaan, agar ruang provokasi tertutup serapat mungkin. Ekstremisme tak diajarkan agama, bahkan tak termasuk agama itu sendiri. Begitu pula separatisme. Di tengah keberagaman, Pancasilalah tuntunan kita. Di tengah keberagamaan, ekstremismelah musuh kita.
Berpegang teguh pada Pancasila adalah ikhtiar mewujudkan cita-cita ber-ishlah di bumi-Nya. Sebagaimana Allah Swt. sudah tegas melarang pengrusakan (ifsad) di dalamnya. Agama, utamanya Islam, adalah agama pembawa kedamaian dan rahmat bagi semesta alam. Ia satu spirit dengan yang terumuskan dalam Pancasila. Oleh karena ekstremisme dan separatisme justru mengundang kerusakan, ia jelas kontradiktif dengan agama. Juga tak sespirit lima dasar dalam Pancasila kita.
Ahmad Khoiri, Mahasiswa SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.