Khilafah.id – Nusantara dikenal sebagai bangsa yang kuat dalam tradisi lisan atau tuturan. Berbagai warisan pemikiran, budaya, falsafah, bahkan resep masakan ditransmisikan turun temurun hanya melalui lisan.
Demikian pula dalam dokumentasi sejarah. Bangsa Indonesia lebih kuat merekam narasi sejarah melalui kisah yang diturukan secara lisan. Ketimbang narasi sejarah yang direkam melalui tulisan.
Salah satu bentuk sejarah yang direkam melalui tuturan lisan adalah epos atau wiracarita. Yakni kisah-kisah tentang kepahlawanan seseorang yang diceritakan secara lisan dengan turun-temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Dalam konteks Nusantara, kita punya beragam epos yang menceritakan kisah perjuangan para tokoh dalam mengusir penjajah dan merebut kembali kemerdekaan.
Di fase orang kolonial, kita mengenal beragam epos Nusantara. Antara lain Mahabarata, Ramayana, Ilagaligo, Hikayat Hang Tuah, Pocut Muhamad dan sebagainya. Epos itu menceritakan tentang kisah kepahlawanan di era Nusantara berbentuk kerajaan-kerajaan. Epos, di masa itu umumnya menggambarkan tentang sosok raja yang berperang mempertahankan kekuasaan dari kelompok antagonis seperti pemberontak dan sejenisnya.
Ragam Epos Nusantara
Epos tidak berhenti di situ saja. Fase kolonialisme di Nusantara juga melahirkan berbagai kisah kepahlawanan dari berbagai daerah. Misalnya ada Kisah si Pitung dari Betawi, Babad Diponegoro dari Yogyakarta, Kisah Laksamana Malahayati dari Aceh, Hikayat Ayam Jantan Dari Timur yang berkisah tentang Sultan Hasanudin dari Makassar dan beragam epos lainnya. Epos tentu berbeda dengan sejarah kepahlawanan yang disajikan dalam bentuk tulisan.
Epos tentang si Pitung misalnya, selain terselip nilai kepahlawanan juga desilipi humor dan juga nilai kearifan lokal Betawi. Demikian juga epos lain yang tidak sekadar menyajikan kisah kepahlawanan namun juga menampilkan dimensi kebudayaan lokal.
Epos pada dasarnya disusun untuk mendokumentasikan atau mengabadikan cerita perjuangan melawan para penjajah. Pendekatan lisan atau tutur dipilih tentu bukan tanpa alasan. Salah satunya adalah bangsa Nusantara kala itu belum akrab dengan tradisi baca dan tulis.
Tradisi baca dan tulis kala itu hanya berkembang di kalangan elite kerjaan saja. Faktornya adalah mahal dan sulitnya mendapatkan kertas sebagai bahan utama membuat tulisan. Alhasil, sejarah perjuangan para pahlawan itu direkam melalui dongeng, kisah, hikayat, dan sebagainya.
Tradisi tutur lisan ini tentu memiliki kelemahan. Satu yang paling sering digugat tentu terkait akurasi sejarah. Sejarah yang dituturkan secara lisan tentu berpotensi mengalami distorsi, entah itu ditambahi atau dikurangi.
Selain itu, sejarah versi tururan lisan seperti epos ini juga cenderung subyektif dalam menceritakan seorang tokoh atau sosok. Kelemahan itu tentu kita kita tampik. Namun, jangan lupa bahwa epos sebagai produk sejarah lisan juga menyumbang andil dalam mentransmisikan kisah kepahlawanan lintas generasi.
Epos Sebagai Literasi Sejarah
Sayangnya belakangan ini, di era modern apalagi digital, eksistensi epos kian mengkhawatirkan. Kian sedikit masyarakat yang melestarikan epos sebagai bagian dari transmisi sjwerah ke generasi selanjutnya. Epos pun terancam punah.
Punahnya epos tentu berdampak serius pada bagaimana generasi kekinian memaknai kisah kepahlawanan. Tanpa epos, generasi muda hari ini akan kehilangan titik pijak sejarah. Generasi kekinian dikhawatirkan tidak lagi mengenal pahlawan bangsa sendiri dan abai pada nilai kepahlawanan yang diwariskan.
Maka, penting kitanya merawat epos sebagai bagian dari merawat cerita kepahlawanan dengan berbasis kearifan lokal. Epos biasanya dituturkan dengan bahasa lokal atau daerah sehingga cocok sebagai dongeng atau cerita orang tua kepada anak di kala senggang.
Melestarikan epos penting di tengah serbuan tekonologi digital yang menyita separuh waktu sebagian masyarakat terutama anak-anak, remaja, dan kaum muda. Melestarikan epos kiranya juga menjadi upaya penting memperkuat historisitas kebangsaan di kalangan masyarakat. Penguatan literasi sejarah bangsa itu urgen di tengah maraknya distorsi sejarah para pahlawan yang dilakukan kaum radikal.
Sejarah kepahlawanan yang diturunkan turun-temurun dari generasi ke generasi akan menjadi pendidikan karakter yang penting bagi generasi kekinian. Nilai kepahlawanan seperti sikap rela berkorban bagi bangsa dan negara tanpa pamrih itu harus diwarisi generasi kekinian.
Dengan begitu, kita tidak akan mudah dijerumuskan ke dalam nalar pragmatisme yang memaksa kita berpikir instan dan berorientasi pada kepentingan golongan. Peringatan Hari Pahlawan 10 November kiranya menjadi momen tepat untuk membangkitkan kesadaran kembali tentang pentingnya epos Nusantara.
Siti Nurul Hidayah, Alumni UIN Sunan Ampel Surabaya.