Khilafah.id – Siswi SMAN 1 Banguntapan Bantul Yogyakarta dikabarkan mengalami depresi pasca dipaksa mengenakan jilbab oleh gurunya. Ia diberitakan mengurung diri selama berjam-jam di kamar mandi rumahnya. Peristiwa ini menjadi semacam preseden buruk sekaligus kian menambah panjang daftar praktik intoleransi di sekolah negeri.
Jika ditarik ke belakang, fenomena jilbabisasi di sekolah negeri mulai menggejala sejak awal era Reformasi. Berakhirnya pemberlakuan Pancasila sebagai asas tunggal berdampak pada bangkitnya ideologi islamisme. Di ranah politik, gerakan islamisme memperjuangkan tegaknya hukum Islam melalui upaya formalisasi syariah.
Sedangkan di ranah sosial, gerakan islamisme berupaya mengubah gaya hidup masyaraka agar tampak lebih islami (baca: kearab-araban). Dari sinilah awal mula fenomena jilbabisasi, termasuk yang terjadi lembaga pendidikan.
Jilbabisasi di sekolah sebenarnya tidak menimbulkan masalah asalkan itu berlaku di siswi muslim dan tidak ada unsur paksaan. Persoalan mulai muncul manakala agenda jilbabisasi itu diwarnai oleh paksaan, ancaman, bahkan tidak hanya bagi siswi muslim namun juga non-muslim. Jika ditinjau dari keilmuan sosial, pemaksaan jilbab baik bagi siswi muslim, apalagi non-muslim ini dapat dikategorikan sebagai kekerasan struktural.
Menurut Johan Galtung, kekerasan struktural ialah kekerasan yang dari permukaan tidak terlalu tampak, namun menimbulkan dampak luar biasa bagi para korbannya. Kekerasan struktural umumnya terjadi di lingkup organisasi atau lembaga.
Kekerasan struktural terjadi karena pihak yang memilki wewenang dalam menyusun kebijakan menggunakan otoritasnya untuk mengendalikan kelompok yang memiliki posisi tawar lemah. Bentuk kekerasan struktural ini beragam, mulai dari korupsi hingga pembiaran intoleransi.
Dampak buruk kekerasan struktural ialah terhalangnya individu untuk memenuhi kebutuhan dasarnya (basic needs), seperti rasa aman, nyaman, dan sejenisnya. Pada titik tertentu, kekerasan struktural juga dapat menimbulkan ketidakadilan. Akibat kekerasan struktural, kelompok mayoritas mendapat beragam previlese dalam kehidupan sosial-politiknya.
Sebaliknya, kelompok minoritas cenderung dibatasi hak-hak berekspresinya. Puncaknya, kekerasan struktural dapat menimbulkan kecemburuan sosial yang potensial memicu konflik antar-golongan.
Bagaimana Mencegah Kekerasan Struktural di Sekolah?
Kembali ke persoalan pemaksaan jilbab di sekolah negeri, kita tentu tidak bisa mengabaikan persoalan terkait relasi kelompok mayoritas dan minoritas di negeri ini. Ini artinya, kekerasan struktural bisa terjadi dimana saja, dan bisa dilakukan oleh siapa saja, terlepas dari identitas dan latar belakangnya. Kekerasan struktural di lembaga pendidikan kiranya bisa dicegah dengan setidaknya tiga langkah.
Pertama, perlu ada regulasi khusus yang mengatur tata cara berseragam siswa didik di sekolah dan memastikan tidak ada unsur diskriminasi apalagi intoleransi. Harus ada aturan yang secara tegas melarang pihak sekolah memaksa anak didiknya memakai atau tidak memakai atribut agama tertentu. Aturan terkait sebenarnya pernah dibuat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menggandeng Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri.
Yaitu Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang Seragam Sekolah. Salah satu isinya ialah larangan bagi pemerintah daerah atau sekolah untuk memaksa siswa mengenakan seragam dengan kekhususan agama tertentu. Sayangnya, SKB 3 Menteri ini justru dibatalkan oleh Mahkamah Agung.
Kedua, perlu adanya edukasi terus menerus khususnya kepada para penyelanggara pendidikan, mulai dari birokrat, kepala sekolah, hingg guru bahwa sekolah negeri ialah ruang publik yang inklusif. Maknanya, sekolah negeri seharusnya bisa mengakomodasi kepentingan seluruh kelompok yang ada di masyarakat tanpa menganakemaskan satu pihak dan menganaktirikan pihak lain. Sekolah harus menjadi ruang inkusif, dimana perbedaan pandangan disikapi secara moderat.
Lebih dari itu, sekolah harus menjadi semacam laboraturium kebinekaan, tempat anak-anak bisa belajar menghargai pluralitas pandangan. Termasuk dalam hal pandangan keagamaan. Sikap toleran dan pluralis tidak bisa diajarkan semata melalui teori apalagi indoktrinasi. Sikap toleran dan pluralis hanya bisa ditanamkan melalui laku keseharian.
Membiasakan diri bertemu dengan individu atau kelompok yang berbeda dan menerimanya dengan kerendahan hati ialah metode paling efektif untuk menanamkan sikap toleran pada anak didik.
Ketiga, pentingnya mewujudkan paradigma moderasi beragama di sekolah. Selama ini, tindakan intoleransi dan diskriminasi berbasis identitas agama yang marak terjadi di sekolah lebih sering dilatari oleh pemahaman agama yang sempit alias konservatif.
Paham konservatisme keagamaan di lingkungan sekolah kerap membuat guru beranggapan bahwa kesalehan murid dapat dinilai dari ekspresi simbolik dalam beragama. Misalnya, siswi yang mengenakan jilbab dipandang lebih bermoral ketimbang siswi yang tidak berjilbab. Jilbabisasi di sekolah semacam ini sangat tidak bisa dibenarkan.
Paradigma moderasi beragama mengajak setiap individu memiliki cara pandang dan sikap kebergamaan yang tidak ekstrem. Termasuk tidak menghakimi seseorang hanya karena pilihan busananya. Dengan menggalakkan moderasi beragama, diharapkan sekolah bisa menjadi semacam ekosistem sosial yang toleran, inklusif, dan egaliter serta bebas dari unsur diskriminasi apalagi kekerasan struktural.
Nurrochman, Alumnus Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.