Khilafah.id – Kemunculan Front Pembela Islam (FPI) ‘reborn’ telah ramai diperbincangkan di publik. Setidaknya hal ini dapat dilacak melalui jejaring internet yang menyebutkan bahwa sejak FPI secara organisatoris dibekukan, FPI langsung mendirikan ormas lain dengan identitas sama namun menggunakan istilah yang berbeda. Misalnya pada Desember 2020 lahir Front Persatuan Islam (FPI) dan baru-baru ini muncul Front Persaudaraan Islam (FPI).
Deklarasi FPI reborn masih diikuti oleh sejumlah tokoh FPI lama. FPI versi ini tidak didaftarkan ke pemerintah. Menurut Aziz, selaku kuasa hukum FPI, mengatakan bahwa, meski tidak didaftarkan, FPI versi ini sah dan legal menurut putusan MK No. 82/PUU-XI/2013.
Dalam putusan ini dijelaskan tentang bolehnya ormas yang tak berbadan hukum untuk tidak mendaftar. Minusya ormas yang tidak mendaftar adalah tidak akan mendapatkan pelayanan dari pemerintah. Dan bagi FPI baru, hal itu tidak menjadi persoalan.
Meskipun berbeda secara penamaan, namun semangat gerakannya masih tetap terinspirasi oleh FPI lama. Selain tokoh yang terlibat masih sama, baik FPI baru versi ‘Persatuan’ maupun versi ‘Persaudaraan’, keduanya juga masih menggunakan AD/ART FPI lama. Artinya nafas perjuangan ke depannya bersumber dari AD/ART tersebut.
Perjuangan FPI yang selama ini dikenal dengan amar ma’ruf nahi munkar tetap dipertahankan dan menjadi spirit gerakan keormasan hanya saja ada penyesuaian dalam metode gerakannya.
Munculnya FPI versi Persaudaraan dapat menjadi contoh dalam penyesuaian arah gerak FPI reborn ini. FPI versi Persaudaraan telah memiliki 10 DPW di Indonesia. Pola gerakannya juga telah disesuaikan dengan kondisi sosial-politik yang terjadi di Indonesia maupun global. Sebelumnya, FPI dikenal dengan gerakan amar ma’rufnya dalam bentuk aksi sweeping mengubah perjuangannya ke arah kemanusiaan dan HAM.
Penyesuaian gerakan ini terjadi dipengaruhi oleh lanskap politik nasional maupun global. Isu tentang Palestina, Muslim Uyghur di China, dan muslim di Rohingnya menarik massa FPI untuk terjun ke jalanan, mengadakan aksi solidaritas, dan menggalang bantuan untuk mereka. Gerakan ini merupakan bagian dari solidaritas yang diikat melalui jalur keimanan.
Bagi masyarakat yang sering disweeping atas nama moralitas tentu akan senang mendengar perubahan tersebut. Mereka tidak lagi takut dengan ‘polisi’ moral dari FPI yang terkesan merusak aset warga. Membuka warung ketika bulan Ramadhan, misalnya, tidak disweeping lagi karena itu bukan lagi menjadi orientasi gerakannya. Hanya saja ini hanya pernyataan awal ketika FPI reborn ini dideklarasikan, untuk fakta ke depannya nanti bisa dilihat apakah memang ada perubahan atau tidak.
Namun yang menjadi pertanyaan adalah di manakah letak persamaannya jika memang FPI baru ini masih memiliki ruh FPI lama?. Pertanyaan ini dapat dilihat dari pernyataan para pimpinan bahwa FPI reborn masih menggunakan AD/ART yang lama. Dalam AD/ART Pasal 6 dijelaskan bahwa visi dan misi FPI adalah menerapkan syariat Islam secara kaffah di bawah naungan khilafah islamiyah menurut manhaj nubuwwah, melalui pelaksanaan dakwah, penegakan hisbah dan pengamalan jihad.
Dari pasal 6 tersebut persamaan yang paling tampak adalah dalam segi politik. Syariatisasi yang diperjuangkan oleh FPI lama masih tetap dipertahankan. Masalah kepemimpinan, misalnya, FPI akan tetap memilih pemimpin muslim laki-laki dan taat beragama. Dalam konstelasi demokrasi di Indonesia, FPI dapat saja menunjuk dan/atau mendekati calon pemimpin yang dianggap taat beragama.
Mereka juga siap mengawal dengan catatan apa yang menjadi agenda FPI secara lokal maupun nasional dapat diakomodasi. Dalam artian FPI dapat mengintervensi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dengan pemahaman syariat yang mereka yakini. Jika ada pemimpin yang mau seperti itu maka anggota maupun partisan FPI akan dikerahkan untuk memenangkan calon tersebut, dan akan siap mengawal jalannya pemerintahannya.
Sementara dari segi partai politik, FPI baru masih tetap sama dengan yang lama yakni memilih partai Islam. Persoalan ini telah dibahas secara detail oleh Habib Rizieq Syihab yang membagi partai di Indonesia ke dalam dua bentuk yakni partai setan dan partai Islam. Klasifikasi tersebut mengikuti pemikiran Sayyid Qutb yang membagi jenis masyarakat modern ke dalam dua bagian yaitu jahiliyah dan hakimiyyah.
Apa yang dimaksud masyarakat jahiliyah adalah masyarakat yang tidak meletakkan nilai keislaman dalam keseharian yang membudaya. Bagi Sayyid Qutb, diikuti juga oleh Habib Rizieq, masyarakat modern dibentuk tidak berdasarkan asas Islam seperti liberalisme, sekularisme, dan rasionalisme. Di sisi lain apa yang disebut dengan masyarakat hakimiyyah adalah sebuah tatanan masyarakat yang ditata berdasarkan hukum Allah (Islam) baik mulai aspek ilahiah maupun aspek muamalah.
Upaya FPI reborn dalam mempertahankan sikap dan pemikiran politik dari FPI lama adalah untuk menciptakan masyarakat islami yang diinginkan. Ini dipertahankan karena apa yang diinginkan selama ini belum tercapai. Oleh karena itu, keberadaan FPI baru, baik ‘P’ Persaudaraan maupun ‘P’ Persatuan, sama-sama berupaya untuk mewujudkan apa yang selama ini diperjuangkan oleh FPI lama yaitu mensyariahkan NKRI.
M. Mujibuddin SM, Intelektual Muda yang konsen di bidang keislaman dan kebangsaan.