Khilafah.id – Perang Rusia dan Ukraina hingga kini masih menyita perhatian internasional. Menariknya, Indonesia juga kebagian desakan dari kedua pihak: Rusia dan Ukraina. Pemerintah kemudian mengambil langkah melalui Kemenlu. Namun demikian, netizen Indonesia banyak yang pro-Rusia dengan alasan yang absurd: simpati keagamaan. Lalu apa dimaksud dengan geliat terorisme?
Sebelum masuk ke situ, baiknya kita tahu bahwa beberapa waktu lalu kelompok teror ISIS mengimbau umat Islam agar tidak memihak salah satu: Rusia maupun Ukraina. Menurut ISIS, perang tersebut merupakan Perang Salib sehingga umat Islam tidak perlu ikut campur. Memori kolektif tentang terorisme pun kembali menyeruak, bergeliat di tengah perang Rusia-Ukraina.
Redaksi Harakatuna tidak akan membahas konflik kedua negara, dan memilih fokus terhadap bagaimana harusnya umat Islam memandang dan menyikapi perang tersebut. Dalam perang Rusia-Ukraina, ternyata umat Islam diingatkan pada konflik di Suriah. Standar ganda Eropa, yang hipokrit ketika menyikapi invasi Israel ke Palestina, juga semakin menambah momok: sentimen anti-Barat di negara ini semakin naik. Dalam hal ini, ada kejanggalan-kejanggalan yang tak bisa dibiarkan.
Lalu di mana posisi umat Islam seharusnya? Jelas, dalam posisi netral yang mengacu pada dua hal penting: aspek sejarah dan aspek kepentingan nasional.
Dalam sejarah, Uni Soviet dan Amerika Serikat sama-sama punya sejarah kelam pada umat Islam. Afghanistan saksinya. Tahun 80-an, aktivisme Islam fokus untuk melawan Soviet, namun tahun 90-an yang berlanjut hingga abad ke-21, AS adalah musuh utama. Maka tidak heran, AS jadi sasaran teroris yang dimulai dengan teror 9/11 yang terkenal.
Maka ketika dihubungkan dengan konteks Indonesia, posisi umat Islam harus tegas untuk menolak terorisme. Umat harus memahami bahwa tentara Chechnya bukanlah pasukan hitam yang dinubuatkan Nabi. Umat juga harus paham bahwa Islam tidak diuntungkan dari perang Rusia-Ukraina, kecuali jika bertolak pada kemaslahatan, karena perang tersebut memang murni politik: bukan perang agama.
Geliat terorisme di tengah perang Rusia-Ukraina adalah tantangan bagi pemerintah Indonesia. Jangan sampai rakyat ada yang ikut beperang ke Rusia maupun Ukraina. Jangan sampai juga dunia internasional memandang Indonesia sebagai negara pro-perang, apalagi bumbu-bumbu keagamaan terdengar nyaring di antara netizen dan masyarakat. Geliat terorisme di tengah perang politik ini menjadi tantangan utama saat ini yang mesti segara pemerintah tangani.
Dalam konteks perang Rusia-Ukraina, posisi Indonesia jelas tidak merepresentasikan politik Islam, apalagi mengaitkan perang tersebut dengan konflik agama di dunia Islam. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Badan Intelijen Negara (BIN), dan Kementerian Pertahanan (Kemenhan), hendaknya menjalankan politik bebas aktif untuk menciptakan perdamaian dunia sesuai amanat konstitusi.
Di era Soekarno, dikeluarkan Maklumat Politik Pemerintah tanggal 1 November 1945. Maklumat tersebut mengatur poin-poin hubungan Indonesia dengan luar negeri, yaitu:
- Politik damai dan hidup berdampingan secara damai
- Tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain
- Politik bertetangga baik degan kerja sama dengan semua negara, baik bidang ekonomi, politik, dan sebagainya
- Melakukan hubungan dengan negara lain dengan mengacu pada piagam PBB
Tujuan politik bebas aktif tersebut, sebagaimana diuraikan Hatta, Wakil Presiden, ialah:
- Mempertahankan kemerdekaan dan menjaga keselamatan bangsa juga negara Indonesia
- Memperoleh barang-barang dari luar negeri yang tidak atau belum dapat diproduksi sendiri sebagai upaya memperbesar kemakmuran rakyat Indonesia
- Meningkatkan persaudaraan antarbangsa
- Meningkatkan perdamaian dunia
Di era Soeharto, sebagaimana diatur Ketetapan MPRS no. XII/ MPRS/1966, politik luar negeri Indonesia berorientasi pada dua hal, yaitu:
- Politik luar negeri Indonesia bebas aktif anti-imperialisme dan anti-kolonialisme dalam bentuk apa pun. Indonesia turut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial
- Politik luar negeri Indonesia mengabdi kepada kepentingan nasional serta amanat penderitaan rakyat.
Kemudian pasca-Reformasi, landasan operasional politik luar negeri Indonesia diatur dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1999, yang lebih banyak menekankan pada faktor-faktor yang menyebabkan krisis ekonomi nasional yang terjadi kala itu.
Pemerintah hari ini, di periode kedua kepemimpinan Jokowi, juga perlu untuk menjalankan politik bebas aktif dengan orientasi yang jelas. Jika di periode pertama pemerintahan Jokowi, Indonesia sudah berfokus pada penguatan postur kekuatan nasional dengan prinsip foreign policy begins at home, kini saatnya pemerintah menjalankan kebijakan luar negeri dengan prinsip foreign policy from home to the world.
Indonesia tidak boleh sampai dicap sebagai negara hipokrit, dalam konteks perang Rusia-Ukraina. Beberapa waktu lalu, perwakilan AS dan Rusia telah datang Indonesia. Namun, duta Rusia dan Ukraina, keduanya menyayangkan sikap Indonesia yang seperti bermain dua kaki. Pada saat yang sama, masyarakat Indonesia banyak mendukung Rusia, dengan motif, terutama, agama. Dalam kompleksitas inilah, PR pemerintah di tengah perang Rusia-Ukraina sangat besar.
*Artikel ini merupakan muat ulang dari Editorial Harakatuna.com.