Pada tulisan sebelumnya, Meluruskan Saudara dari Kalangan HTI: PDI-P Bukan Demokrasi dan Khilafah Bukan Sistem Pemerintahan, saya lupa mengatakan bahwa kritik para aktivis khilafah terhadap demokrasi berbeda dengan kritik warga AS terhadap imperialisme. Kendati sama-sama memprotes sistem, orientasi keduanya tidak selaras; warga AS menuntut keadilan sementara warga HTI menuntut kekacauan. Mengapa demikian?
Khilafah tahririyah—konsep kekhilafahan ala HTI—tidak memiliki basis argumentasi yang kokoh. Ia berdiri di atas keputusasaan ‘segelintir umat’ terhadap keadilan politik kontemporer di satu sisi dan ketamakan ‘segelintir’ orang tadi terhadap politik pemerintahan. Untuk menguatkan tesis ini, saya tidak perlu mengacu pada status ketransnasionalannya, cukup pada sepak terjang para aktivis lokalnya saja atau, pada gerakannya cenderung memaksa.
Untuk agenda politiknya, para aktivis khilafah pernah mencatut nama tokoh besar. Mereka juga selalu memanipulasi sejarah. Mari perhatikan kenaifan berikut: mereka bilang mau tegakkan khilafah ‘ala manhaj an-nubuwwah padahal sistem pemerintahan Nabi teokrasi; bilang ingin meniru Umayyah hingga Turki Utsmani padahal sistem pemerintahannya monarki absolut; dan terakhir ingin tegakkan sistem khilafah padahal khilafah bukan sistem.
Hari ini saya melihat trik baru mereka dalam melindas demokrasi, yaitu dengan mendestrusi deokrasi itu sendiri—memprovokasi bahwa sebagai sistem, demokrasi bukan hanya tidak sesuai dengan ajaran Islam, melainkan juga gagal menciptakan good governance. Menariknya, para aktivis khilafah bertolak dari realitas politik petahana, dengan cara mengglorifikasi PDIP sebagai personifikasi kegagalan demokrasi. Sangat faktual.
Artinya, dalam upaya menebar propaganda, mereka tidak pakai cara “menyeret masyarakat” ke lembah khilafah, tapi memanfaatkan problematika demokrasi sehingga otomatis “masyarakat terseret” keputusasaan yang ujungnya ya tetap khilafah. Ini bukan intrik sembarang. Pemerintah mesti berbenah, demokrasi tidak boleh tertindas. PDIP juga mesti mawas diri, agar sepak terjang politiknya tidak dimanfaatkan untuk memperlancar agenda para aktivis khilafah.
Agenda Para Aktivis Khilafah
Beberapa waktu yang lalu, ramai diperbincangkan mengenai ceramah KH Bahaudin Nursalim atau yang akrab disapa Gus Baha tentang Megawati dan politik Islam. Gus Baha menuturkan, politik Islam tidak akan pernah mati karena secara historis, ia bahkan lebih tua dari kemerdekaan RI. Megawati, dalam sorotan Gus Baha, dianggap berlebihan ketika terlalu membanggakan dirinya—sebagai anak sang proklamator. Pro-kontra pun pecah hingga trending di Twitter.
Kekurangberkenanan Gus Baha adalah sesuatu yang faktual dan bukan politis. Namun, statemennya terlanjur dipotong-potong dan dijadikan argumentasi bahwa demokrasi tidak cocok, menurut kalangan HTI, dan bahwa PDIP sedang memanipulasi sejarah, menurut kalangan FPI. Ceramah Gus Baha jadi out of context, dan para aktivis khilafah menemukan pijakan baru dalam narasi mereka: bobroknya demokrasi (PDIP) dan solutifnya Islam (HTI).
Namun, di sini mungkin akan ada yang bertanya: apakah semua ini blunder dari glorifikasi Megawati terhadap partainya sendiri? Jika jawabannya positif, maka saya berani mengatakan bahwa yang dilakukan para aktivis khilafah adalah ‘tangkap ikan’ belaka, sementara PDIP menjadi ‘kail’nya. Demokrasi, sementara itu, menjadi umpan yang dipertaruhkan kedua pihak; PDIP untuk kepentingan politik elektoral, dan HTI untuk politik ideologis.
Jika demikian faktanya, maka glorifikasi PDIP adalah kamuflase para aktivis khilafah untuk mendiskreditkan demokrasi. Propaganda semacam ini lahir dari realitas politik petahana di satu sisi, dan kesadaran akan kokohnya demokrasi di sisi lainnya. Artinya, demokrasi tidak bisa diserang begitu saja karena masyarakat Indonesia seluruhnya mendukung. Cara mendestruksinya adalah dengan cara menempatkan demokrasi sebagai sistem yang problematis.
Di sini menjadi jelas bahwa para aktivis khilafah punya satu agenda, yakni menawarkan khilafah mereka sebagai solusi satu-satunya. Ujungnya pasti begini. Tidak ada yang lain. Kemurnian politik Islam, betapapun fakta sejarah menunjukkan kenihilannya, tetap dikemas semenarik mungkin melalui stimulus yang sangat sensasional: politik PDIP sebagai petahana. Harus diakui bahwa PDIP berada di kubangan tersebut tanpa sadar bahwa mereka telah dimanfaatkan.
PDIP dan Politik Petahana
Dari keluasan dan relevansi demokrasi sebagai sistem pemerintahan modern, PDIP mungkin sudah bertindak melampaui, persis seperti dikatakan Gus Baha bahwa Megawati sudah melakukannya. Saya ingin mengatakan, upaya Megawati untuk menjadikan partainya “paling nasionalis” dan lebih jauh menjadikannya “personifikasi RI” adalah penyempitan demokrasi di satu sisi dan pelebaran ruang propaganda khilafah di sisi lainnya.
Melalui satu perspektif, dimaklumi bahwa sebagai partai terkuat, PDIP hampir mengambil keseluruhan otoritas kenegaraan—dan secara mengejutkan telah menyeret demokrasi sebagai sistem pemerintahan ke sebagai ideologi partai. Penyempitan semacam ini rentan bagi demokrasi karena ia jadi dipahami sebagai PDIP, padahal tidak demikian. Maka ketika ada masalah, bukan PDIP yang dikritik para aktivis khilafah, melainkan demokrasi secara umum.
Di sini glorifikasi ibarat dua mata pedang yang sama berbahaya. Bagi PDIP dan politik petahana, glofikasi menjadi alat untuk mempertahankan elektabilitas partai. Namun, bagi para aktivis khilafah, glorifikasi tersebut menjadi senjata untuk melindas demokrasi dan menawarkan khilafah ala HTI. Saya bahkan tidak punya pandangan bahwa demokrasi berjalan ke arah yang lebih baik selain tarik-menarik di antara keduanya.
Namun, saya tetap ingin mengatakan bahwa glorifikasi PDIP semacam ini harus segera mendapat pemecahannya. Ada satu kekhawatiran paradoksal: suatu hari seseorang akan menerima khilafah yang terus-menerus dinarasikan oleh para aktivisnya bukan karena ia sudah diterima sebagai sistem, melainkan karena keputusasaan masyarakat terhadap demokrasi ideal yang sudah dieksploitasi partai. Seseorang barangkali akan berujar: “daripada sama PDIP!”
Siapa, lalu, yang pantas disalahkan? PDIP sedang berbuat untuk kebesaran partainya, sementara para aktivis khilafah berbuat untuk agenda khilafahnya. Demokrasi semakian sempit dan rentan dikritik, sementara masyarakat bagaimana bisa memahami duduk perkara yang sebenarnya?
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…