Khilafah.id – Densus 88 Polri bekerja sama dengan Satuan Perawatan Tahanan dan Barang Bukti (Sat Tahti) memfasilitasi pernikahan anak napiter Husein Hasny di Rutan Polda Metro Jaya, Sabtu (14/5) lalu. Densus 88 menyiapkan segala keperluan pernikahan putri Habib Husein, Afiyah Husein, dengan Muhammad Annagib bin Zainal Arifin. Ijab kabul menggunakan bahasa Arab, dan Habib Husein juga diberikan kesempatan memimpin doa hingga tak kuasa menahan air matanya.
“Lega sekali, senang. Karena ini kan namanya anak ya kan, buah hati, hal yang dinanti-nanti. Suatu kebahagiaan yang tak terhingga. Ini anak pertama saya. Pertama kali saya mengadakan pernikahan. Ini sesuatu yang saya tunggu-tunggu sebetulnya. Ini kita ada di Polda Metro Jaya karena kenakalan saya. Pokoknya terima kasih sebesar-besarnya. Saya tidak dapat balas kebaikan daripada tim ini semua yang ada di sini,” ujar Husein, seperti dilansir Kompas.
Untuk diketahui, Husein Hasny adalah tersangka teroris yang digrebek di kawasan Condet, Kramat Jati, Jakarta Timur, Maret tahun lalu. Setelah diperiksa, Habib Husein juga punya kartu anggota FPI, berstatus sebagai wakil ketua Bidang Jihad. Selain baju dan buku berlogo FPI, atribut bertuliskan Laskar Pembela Islam, aparat juga menemukan sejumlah bahan peledak aktif yang telah dirakit, dimasukkan ke dalam lima bom toples dengan daya ledak tinggi.
Meskipun statusnya di FPI disanggah Munarman, eks-Sekretaris Umum FPI, yang mengatakan bahwa Habib Husein sudah dipecat dari FPI sejak 2017 karena sikapnya yang sok rambo, statusnya sebagai napiter memosisikan ia sama dengan teroris lain, misalnya Aman Abdurahman atau Zulkarnain. Terlepas dari perbedaan mereka dalam dunia teror, bagi aparat, mereka semua sama sebagai penganut terorisme dan, lumrahnya, tidak ada toleransi untuk mereka.
Di Eropa dan AS, teroris mengalami hukuman berat, tanpa ampun dan tanpa kompromi. Tidak ada toleransi bagi napiter, apalagi sampai menikahkan anaknya atas fasilitas aparat. Karenanya, apa yang Habib Husein terima di penjara Indonesia, dan apa yang Densus 88 perlakukan terhadapnya juga pada ratusan eks-napiter lain, seharusnya dapat menyadarkan para teroris tentang indahnya perdamaian. Densus 88 berusaha ke arah itu, memberantas terorisme dengan cara-cara manusiawi.
Densus 88 dan Pendekatan Humanis
Pendekatan humanis disuarakan oleh Kepala Densus 88, Irjen Pol Martinus Hukom, yang mengorientasikan dualitas startegi, yaitu strategi masif berupa pendekatan militer dan strategi persuasif melalui psikogi napiter. Cara kedua ini ditempuh karena menurutnya, terorisme berbeda dengan kejahatan lain; ia berasal dari pemikiran, ideologi, yang tidak akan mati hanya karena mendekam di penjara. Terlebih, UU No 5 Tahun 2018 mengamanatkan deradikalisasi.
Konsep humanisme dalam kontra-teror memprioritaskan ideologi kekerasan sebagai sesuatu yang mesti dihabisi. Premisnya adalah bahwa penegakan hukum dengan hard approach atau dengan tindakan tegas, tidak akan menyelesaikan masalah. Juga bahwa sampai detik ini, riset tentang tentang terorisme menuju moderatisme belum menemukan teori-teori efektif, selain melakukan pendekatan personal: mendekati napiter, bangun kepercayaan, matikan kebencian, dan rajut perdamaian.
Pendekatan humanis ala Densus 88 memproyeksikan terjadinya saling percaya antara napiter dengan aparat, atau antara eks-napiter dengan pemerintah dan NKRI. Pendekatan humanis adalah pendekatan pemikiran, membangun komunitas agar terjadi satu pertemuan rutin untuk menjalin hubungan emosional. Pada akhirnya, meski butuh banyak waktu dan, tentu saja materi, para napiter akanterbuka pikirannya antara yang hak dan batil, terutama tentang konsep thaghut dan bughat.
Dalam konteks Habib Husein, Densus 88 berusaha menciptakan hubungan emosial—bukan hutang budi. Habib Husein, seperti diberitakan, sudah menyadari “kenakalannya” dengan menjadi teroris. Di situ ada secercah harapan bahwa ia mulai insaf dari paham takfiri yang membenci aparat dan menuduhnya ansharut thaghut yang mesti diperangi, dibom, atau dibunuh secara brutal. Melalui pendekatan humanis, peluang perdamaian jadi terbuka selebar-lebarnya.
Namun, cukupkah kasus Habib Husein jadi bukti bahwa pendekatan humanis seluruhnya akan berhasil? Bisakah upaya Densus 88 menjadi kode perdamaian bagi NKRI?
Kode Perdamaian NKRI?
Jawabannya: belum. Habib Husein adalah jarum di tumpukan jerami. Dengan demikian perlu dipahami bahwa dalam pendekatan humanis Densus 88, peran personal si napiter sangat krusial. Aspek sosial-keagamaannya sangat menentukan apakah humanisme akan berhasil mengikis ideologi teror orang tersebut atau tidak. Buktinya, dari ratusan napiter, yang semuanya melewati tahap deradikalisasi, berapa yang benar-benar taubah dan berapa yang sekadar memanfaatkan keadaan?
Polri mempunyai program deradikalisasi melalui Humas. Densus 88, sementara itu, juga dari Polri. BNPT juga punya program deradikalisasi melalui strategi Pentahelix. Jajaran kementerian juga menjemput bola: mengantisipasi kemunculan radikalisme-terorisme dengan memasifkan moderasi beragama. Artinya, secara kebijakan, Indonesia sudah lengkap, namun perdamaian juga belum maksimal. Dalam hari yang tak bisa ditebak, aksi teror masih kerap kali terjadi.
Karena itu, perdamaian berada di antara dua kutub yang saling berkelindan, yakni si napiter dengan aparat pemerintahan. Para napiter mesti terus ditempa untuk berpikiran terbuka, sementara aparat harus selalu menciptakan kepercayaan bagi napiter bahwa mereka bukan ansharut thaghut dan bukan orang kafir yang wajib diperangi. Pada saat yang sama, seluruh kementerian dan lembaga tetap dalam khitah mereka untuk mendisemasi Islam moderat dan kontra-terorisme.
Antara Habib Husein dengan Densus 88 laik menjadi contoh bahwa terorisme bisa dilawan melalui pendekatan humanis, dan bahwa humanisme memiliki kekuatan untuk mengubah segalanya termasuk ideologi teror—mensterilisasi napiter menjadi Muslim moderat. Tantangannya adalah dalam aspek finansial. Pendekatan humanis membutuhkan dukungan finansial yang relatif mahal ketimbang hard approach. Perdamaian-kedamaian memang tidak murah, tinggal bagaimana semua pihak akan berkomitmen dengannya.
Ahmad Khoiri, Mahasiswa SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.