Khilafah.id – Akhir-akhir ini gelar habib sering mencuat dan mengemuka. Pasalnya, seiring dengan berjalannya waktu proses keberagamaan melalui identitas diperlukan untuk mempersatukan umat Islam yang banyak dan memiliki keyakinan yang sama. Dengan begitu umat Islam yang merasa memiliki gen Arab dan identitas Alawiyin perlu mengemuka dan mengambil momentum dalam pentas politik, ekonomi, sosial, kebudayaan yang ada di masyarakat muslim Indonesia.
Musa Kazhim yang memiliki darah Alawiyin, mendedarkan dengan baik dan lugas terkait fenomena “habib” yang sedang mengemuka di Indonesia. Bahkan tidak canggung, sang habib menguliti habis gelar habib yang semakin marak dipakai oleh kelompok gen Arab baik dari wilayah Hadhramaut maupun di luar Hadhramaut. Buku Identitas Arab Itu Ilusi Saya Habib Saya Indonesia menjadi buku rujukan terbaik bagi siapa saja yang ingin menyelami identitas habib yang sesungguhnya.
Penulis dengan lugas mengatakan, gelar habib tidak sembarangan dipakai oleh semua kalangan Alawiyin, gelar “habib” hanya disematkan kepada mereka yang “alim” mendalami ilmu agama, membawa misi kerasulan baik dari segi akhlak maupun masalah politik kenegaraan. Habib berarti “kekasih dan dikasihi”, ini merupakan gelar kehormatan yang semula ditujukan kepada beberapa ulama awal Alawiyin yang berasal dari lembah Hadhramaut, Yaman. Lebih spesifik lagi “keturunan” dari jalur Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Azzahra, putri Nabi Muhamamd Saw.
Pemanggilan gelar “Habib” tidak sembarangan dan serampangan, penulis mengisahkan suatu kecil sama ayahandanya sendiri untuk memanggil tokoh senior Sayid Asad Shahab dengan sebutan ammi bukan “habib”. Padahal bagi penulis Sayid Asad tokoh pers nasional yang memiliki ilmu mendalam dan berwawasan internasional. Bahkan ulama sekaliber Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki, ahlul hadis dari Makkah diajarkan sama ayahanda suruh memanggil ustad bukan “habib” (Kazhim, 2022:147). Dengan begitu gelar ‘Habib” gelar yang sakral, hanya orang-orang tertentu yang bisa menyandangnya.
Ketika ditarik ke belakang pada masa awal mula islamisasi di Nusantara oleh para Alawiyin jalur Ahmad bin Isa, mereka semua menanggalkan gelar “habib”nya dan berbaur, bercampur dengan masyarakat Nusantara yang beragam. Mereka tidak merasa bangga dan memamerkan gelar kehabiban mereka, justru ditutup-tutupi bahkan ditinggalkan. Bahkan panggilan dan sandangan mereka menjadi sunan, wali, sultan, mbah dan lain sebagainya sesuai dengan kebudayaan di daerah masing-masing. Mereka inilah yang pantas disebut sebagai generasi awal sayid Nusantara.
Baru belakang ini gelar habib semakin melonjak dengan sangat tajam, hampir semua yang dikatakan keturunan Arab atau mereka yang berasal dari Hadramaut mengaku dirinya sebagai habib dan memiliki kewenangan penuh atas trah kanjeng Nabi Muhammad Saw yang harus disanjung tinggi dan mengelompok sendiri sesama trah. Mereka tidak lagi mau berbaur dengan masyarakat lokal yang terlebih dahulu tinggal bahkan lahir di tanah Nusantara. Jelas, ini tidak diajarkan oleh Sayid Nusantara generasi sebelumnya, bahkan Nabi Muhammad Saw tidak mengajarkan hal semacam demikian.
Maka, lebih tepatnya gelar Habib lebih menyeruak pada abad ke-19 dan tidak terjadi pada generasi awal penyebar Islam di Nusantara. Berbeda dengan Sayid generasi dahulu , para habib di sini lebih mudah dikenal dari sisi penampilan luarnya baik cara berpakaian, corak kebudayaan, kuliner, bahasa keseharian, komunitas, dan tempat tinggal. Bahkan dalam hal corak pemikiran keagamaan mudah sekali ditebak dan diamati, mereka lebih cenderung kepada salah satunya tipologi beragama, terlebih pada kelompok Sunni. Justru ketika menggunakan corak demikian mereka lebih pada mengikat dan menggenggam suatu hal yang sifatnya kecil dan meninggalkan suatu yang bernilai besar.
Bahkan, yang lebih parah dalam diaspora “habib” ini, penyelewengan gelar “habib” bagi para oknum yang tidak bertanggung jawab. Mereka yang bukan keturunan dari Alawiyin kemudian banyak mengemuka di permukaan mengaku dirinya sebagai “habib” untuk mengunggulkan dirinya dan mencari keuntungan ekonomi sebanyak-banyaknya. Walaupun terdapat Rabithah Alawiyah yang menyeleksi keturunan Nabi Muhammad Saw, tetap saja masih banyak masyarakat di luar sana yang mengkultuskan dirinya sebagai keturunan Nabi Muhamamd Saw, hanya untuk kepentingan dirinya sendiri. Justru ini suatu fenomena yang memprihatinkan di balik pemaknaan “habib” yang sakral dan dipetuahkan.
Dengan begitu nilai dan kehormatan dalam gelar “habib” menjadi merosot tajam, terperosok jauh menjadi perbincangan yang kurang mengenakan baik dari kalangan umat Islam sendiri maupun dari umat yang lain. Hal ini tentu diakibatkan adanya kelonggaran gelar habib, yakni Alawyin secara umum atau tidak, baik ulama ataupun tidak, punya dzauq atau tidak, dan melakukan tarekat Alawiyin ataupun tidak (Kazhim. 2022:150). Habib yang dulu dikenal dengan kualitas akhlak yang tinggi, ilmu yang mendalam, dan kualitas ruhani yang tidak ada tandingannya, sekarang terpental sudah, ketika melihat fenomena di lapangan dan banyaknya habib palsu yang berseliweran di sana sini.
Kembali apa yang dikatakan Musa Khazim, gelar “habib” berati kembali pada mereka yang memiliki bahasa Arab yang baik dan benar, bukan atas dasar penampilan luar dan pemikiran keagamaan yang kadang kurang bersifat tasamuh seperti kasus akhir-akhir ini, salah satunya sewaktu pentas politik di Indonesia mengemuka. Sudah seharusnya para “habib” tidak membuat kegaduhan di tengah-tengan umat yang membutuh maul hayat di tengah oase kehidupan modern yang kian tidak menentu.
Akhir, seperti yang sudah diejawantahkan di atas, buku ini menjadi rekomendasi bagi siapa saja yang ingin mendalami gelar “habib” dan diasporanya. Kemunculan buku ini berbarengan dengan fenomena habibisme di tengah maraknya orang berbondong-bondong menyakralkan siapa saja tanpa adanya filter yang dianggapnya sebagai habib. Dengan begitu buku ini menjadi jawaban atas fenomena habib yang kian merebak di dalam komunitas Islam Nusantara.
Identitas Buku
Judul: Identitas Arab Itu Ilusi Saya Habib Saya Indonesia
Penulis: Musa Kazhim Alhabsyi
Penerbit: Mizan
ISBN: 978-602-441-279-1
Peresensi: Raha Bistara