Khilafah.id – Hagia Sophia sampai hari ini masih banyak diperbincangkan di dunia internasional setelah dikonversi dari museum menjadi masjid pada Jumat, (10/07/20). Hagia Sophia menjadi polemik di berbagai media dunia baik yang pro maupun kontra.
Selain itu, kelompok Muslim Cyber Army yang concern dalam menggerakkan wacana Khilafah juga memanfaatkan momen tersebut untuk mengampanyekan propaganda revivalisme Khilafah di media sosial yang dikaitkan dengan alihfungsinya Hagia Sophia.
Secara historis, Hagia shophia merupakan simbol “kemegahaan peradaban” yang telah dibangun oleh Kaisar Romawi Yustinian I pada tahun 532- 537 M sebagai gereja Basilica Ortodoks di Konstantinopel.
Dalam perjalanannya pula, ia kemudian menjadi primodona bagi para penguasa peradaban saat itu, sehingga berbagai upaya penaklukkan terjadi untuk menaklukkan wilayah Konstantinopel. Hagia Sophia ketika itu menjadi bukti peradaban Kristen serta menjadi kebanggaan mereka. Secara arsitektural, bahan bangunan Hagia Sophia dibuat dari batuan marmer yang diambil dari berbagai wilayah pegunungan di Afrika utara dan Mesir serta dibangun selama 6 tahun.
Dalam perjalanannya, sekitar tahun 1261 M Basilica Hagia Sophia pernah ditaklukkan oleh pasukan Salib. Mereka menyerang Konstantinopel dan mendudukinya, padahal secara agama mereka senapas dan berkelindan. Tetapi penaklukan ini bisa ditelaah dari faktor geopolitik dan ekonomi kala itu, karena Hagia Sophia menjadi rebutan berbagai penguasa peradaban dunia. Salah satunya Kekaisaran Sasaniyah, Bangsa Arab dan Dinasti Seljuk.
Kemudian pada tahun 1453 M, Sultan Mehmed II atau yang biasa dikenal sebagai Muhammad Al-Fatih menaklukkan Konstantinopel dan kemudian menjadikan Hagia Sophia sebagai Masjid. Tetapi ketika seiring berdirinya nation-state dalam hal ini di Turki, Presiden pertama Republik Turki, Mustafa Kemal Attaturk pada tahun 1934 melalui keputusan pengadilan Tertinggi Turki bernomor 2/1589, 24/11/1934 kemudian menjadikan Masjid Hagia Sophia menjadi Museum sebagai wujud berdirinya sekularisme di Turki.
Sejak Hagia Sophia ditetapkan menjadi museum oleh Attaturk, Hagia Sophia telah menjadi simbol persaudaraan kebangsaan. Attaturk sebagai pengosong sekularisasi dan modernisasi di Turki menjadikan Hagia Sophia sebagai payung bersama semua bangsa dan simbol toleransi beragama.
Artinya dalam konteks ini, sebenarnya dikonversinya Hagia Sophia menjadi masjid kembali dalam perspektif Hubungan Internasional merupakan suatu kemunduran sejarah. Meskipun demikian, kita tidak serta merta bisa menolak keputusan yang sudah ditetapkan Pemerintah Turki. Karena hal itu merupakan wujud dari kedaulatan Turki sebagai suatu negara.
Ilusi Revivalisme Khilafah
Di saat terdengar hingar bingar polemik di media seputar Hagia Sophia, kelompok pengusung khilafah memanfaatkannya sebagai bentuk propaganda revivalisme kekhalifahan Islam di dunia. Isu revivalisme khilafah seketika menjamur pasca peristiwa tersebut. Mereka menyebarkan narasi bahwa dengan dialih fungsikannya Hagia Sophia menunjukkan kejayaan Islam akan kembali lagi. Padahal secara politis itu tidak ada kaitannya sama sekali.
Mereka memaparkan tentang narasi khilafah di media, terutama narasi tulisan Abdul Qadeem Zallum, Amir Hizbut Tahrir yang dipilih setelah Taqiyuddin Nabhani. Mereka menggalakkan narasi provokatif, bahwa “kita harus menegakkan Islam atau mati demi menegakkan Islam. Kami mengajak setiap muslim di tengah kekufuran yang merajalela di negara-negara Islam, untuk bekerja menegakkan khilafah sebagai jalan untuk mengubah negara-negaranya menjadi Islam, menyatukannya dengan negeri muslimin yang lain”, begitu salah satu bentuk narasi yang mereka galakkan.
Bahkan narasi tersebut dikaitkan dengan hadits Rasulullah Saw: “Demi Allah, seandainya mereka menaruh matahari di tagan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan ini, aku tidak akan meninggalkannya, sampai Allah memenangkannya atau aku mati di dalam memperjuangkannya (Hadis no.909)”.
Padahal antara teks hadist tersebut dengan konteks saat ini tidak berkaitan sama sekali, bahkan beberap hadist yang dimunculkan mereka merupakan hadist yang maudu’. Upaya mereka ini merupakan wujud propaganda khilafahisme yang dipaksakan.
Pada dasarnya sebagai warga muslim tidak usah terlalu berbangga diri dengan diakuinya kembali Masjid Hagia Sophia, pun demikian pula dengan warga Kristen tidak perlu merasa marah dan kecewa. Perlunya kesadaran bahwa hal ini merupakan wujud dari kebijakan politik Erdogan sebagai Presiden Turki. Apalagi dengan penggiringan narasi serta opini bahwa akan munculnya kebangkitan Islam.
Dalam hal ini, apakah kemudian dengan dikonversinya Hagia Sophia menjadi masjid merupakan wujud dari Superioritas Islam? Saya rasa tidak. Karena secara kalkulatif-historis, Hagia Sophia merupakan Gereja Basilica Ortodoks yang pernah berjaya selama kurang lebih 900 tahun lamanya.
Sedangkan ketika menjadi Masjid Hagia Sophia telah bertahan selama sekitar 500 tahun. Benang merah dari peristiwa ini adalah toleransi dan persaudaraan kebangsaan di Turki khususnya dan persaudaraan global harus terus dijunjung tinggi.
Sebagaimana di narasi sebelumnya, kita perlu menyikapi bersama. Bahwa sejatinya konversinya Hagia Sophia menjadi Masjid merupakan wujud dari populisme politik Erdogan dan tidak ada kaitannya dengan pendirian Negara Khilafah.
Maraknya isu revivalisme khilfah harus kita counter dengan penguatan narasi bahwa peristiwa tersebut merupakan persoalan sosio-politik Turki. Karena secara basis ideologi pun Erdogan tidak berafiliasi dengan para pengusung Ideologi tersebut.
Untuk itu, persaudaraan Kebangsaan sejatinya sangat penting untuk dirawat di Turki sebagai Negara mayoritas Muslim. Sejak berdirinya banyak Negara berbasis nation-state, itu merupakan wujud dari aktualisasi politik kebangsaan. Dengan demikian, idealnya tidak ada saling dominasi antara kebanggaan agama dengan persaudaraan bangsa, keduanya harus saling berimbang.
Sesuai namanya, Hagia Sophia yang diambil dari istilah Yunani, yang berarti “Holy Wisdom” kebijaksanaan Suci harus menjadi paying bersama semua identitas. Masjid Hagia Sophia diharapkan kedepannya harus mampu mewujudkan kemaslahatan dalam balutan persaudaraan kebangsaan.
Hagia Sophia bukan merupakan wujud dari revivalisme Khilafah, tetapi ia adalah milik peradaban manusia yang telah diwariskan oleh sejarah.
Ferdiansah, Peneliti Institute of Southeast Asian Islam (ISAIs) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.