Khilafah.id – Kasus penyelewengan dana oleh lembaga filantropi Aksi Cepat Tanggap (ACT) terus diusut. Terkini, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Ivan Yustiavandana menjelaskan alasannya memblokir 60 rekening milik ACT setelah Majalah Tempo memberitakan dugaan penyelewengan donasi publik di lembaga tersebut. Pembekuan rekening itu karena dugaan penyalahgunaan dana sumbangan masyarakat di ACT semakin menguat.
“Sebelum itu (laporan Majalah Tempo), ada rekening yang sudah dibekukan, hanya terkait dengan yang secara tidak langsung tadi. Itu sudah dilakukan. Sekali lagi, ini kami tidak bicara telat atau tidak telat, tetapi ini kesiapan dokumen yang kami miliki dan pengetahuan PPATK terhadap data yang sebelumnya tidak diketahui dan sekarang diketahui,” ujar Ivan Yustiavandana, Rabu (6/7) kemarin, seperti dilansir Tempo.
Donasi kemanusiaan di Indonesia memang lagi marak. Pelakunya banyak, dan yang paling getol biasanya adalah para ustaz. Ada yang meminta terang-terangan, ada juga yang memakai nama Lembaga. Tujuannya juga beragam, seperti donasi untuk yatim dan dhuafa’, fakir miskin, hingga donasi untuk bencana alam. Yang lebih aneh, kemarin juga sempat ada donasi mau beli kapal selam tapi dana 3 miliar yang terkumpul raib entah ke mana. Tren ini benar-benar memuakkan.
Menariknya, tren donasi semacam itu banyak digandrungi karena masyarakat Indonesia sangat dermawan. Setiap donasi tidak kurang dari miliaran, apalagi jika sang ustaz mewajibkan bagi para jemaahnya. Dana miliaran tersebut digunakan untuk berbagai program. Mulai dari membantu korban bencana alam hingga pembangunan sekolah atau pun tempat ibadah. Akan tetapi pengelolaan dana donasi punya hantu menyeramkan; terorisme.
Donasi kemanusiaan sering kali jadi bungkus filantropi terlarang. Sebelum ACT terbongkar, ribuan kotak amal yang terkuak jadi dana kelompok terorisme juga menghebohkan publik dan membuat masyarakat tidak lagi bersimpati dengan kotak amal bahkan di masjid sekalipun. Karena perlakuan oknum yang tidak bertanggung jawab, yang benar pun dicurigai. Terorisme benar-benar jadi hantu yang sangat menyeramkan. Donasi kemanusiaan ini juga kena.
Setelah kasus ACT, banyak lembaga sejenis yang merunduk—takut ketahuan boroknya. Padahal, para aktor donasi kemanusiaan bukan kalangan biasa. Minimal ia tokoh masyarakat yang setiap ucapannya diikuti para Jemaah. Para tokoh HTI, misalnya, pada punya lembaga donasi. Fakta ini tentu sangat memuakkan. Bagaimana nasib donasi kemanusiaan setelah ini?
Ada beberapa Lembaga filantropi yang dipegang oleh para aktivis HTI. Misalnya, Badan Wakaf Al-Quran (BWA) pimpinan Heru Binawan, Cinta Quran Foundation yang dipimpin oleh Fatih Karim alias Hariadi Surahmad, Yayasan Insantama yang dipimpin oleh M. Ismail Yusanto, Yayasan Khoiru Ummah yang pimpinan Emi Khairani dan Amiruddin alias Abu Fikri, dan Yayasan Syaraful Haramain yang dipimpin oleh Hafidz Abdurrahman alias M. Maghfur Wachid.
Untuk apa semua donasi kemanusiaan tersebut dipakai? Tidak ada yang menyelidiki. Audit juga bias dimanipulasi. Sementara, konstitusi memang membolehkan sepuluh persen dari dana yang terkumpul digunakan untuk operasional lembaga, tetapi UU yang usang tersebut sangat tumpul di hadapan kasus penyelewengan. Di tengah lemahnya regulasi yang mengatur dana kemanusiaan dan filantropi keumatan itulah hantu terorisme gentayangan. Aksi teror tidaklah gratis. Butuh biaya besar. Donasi kerap kali jadi solusinya.
Hantu terorisme dalam tren donasi kemanusiaan adalah PR besar. Satu sisi, filantropi adalah sesuatu yang krusial dalam Islam. Islam harus hadir mengatasi bencana kemanusiaan dan sejenisnya. Namun di sisi yang lain, hantu terorisme harus segera diatasi. Pemerintah tidak boleh menoleransi penyelewengan dana umat oleh pihak-pihak yang menipu umat dan memanipulasi Islam itu sendiri. Hatu terorisme dana tren donasi kemanusiaan harus diberantas hingga ke akar-akarnya.
*Tulisan ini merupakan muat ulang dari Editorial Harakatuna.