Khilafah.id – Kelompok militan ekstremis yang mengikuti doktrin jihadisme Salafi, Negara Islam Irak dan Syam (ISIS) kembali berulah. Mereka melakukan serangan bom bunuh diri di masjid Syiah Kucha Risaldar, Peshawar, Pakistan, Jum’at (4/3) kemarin. Dilansir Reuters, serangan tersebut menewaskan sedikitnya 61 orang dan melukai 196 orang lainnya. ISIS kemudian mengaku bertanggung jawab atas peristiwa tersebut, dan menjadi aksi brutal mereka yang kesekian kalinya.
Kepala Polisi Peshawar, Mohammad Ejaz Khan mengatakan, penyelidikan masih berlangsung. “Penyerang masuk ke Masjid Kucha Risalda saat salat Jumat. Dia kemudian menembaki polisi dan meledakkan bahan peledak ke jemaah,” ujar Khan.
Serangan itu adalah yang paling mematikan di Pakistan sejak Juli 2018. Sebelumnya, serangan yang juga dilakukan oleh ISIS menewaskan 149 orang di Kota Quetta.
“Badan-badan intelijen Pakistan memiliki semua informasi mengenai asal-usul dari mana para teroris berasal dan mengejar mereka dengan kekuatan penuh,” kata Perdana Menteri Imran Khan, dalam sebuah tweet pada Jum’at malam.
Minoritas Syiah Pakistan telah lama menjadi sasaran kekerasan oleh kelompok ekstremis yang mengaku Sunni, termasuk Taliban Pakistan, atau Tahrik Taliban Pakistan. Menurut Human Rights Watch, kekerasan sektarian di Pakistan telah menewaskan ribuan orang, yang kebanyakan dari mereka adalah Syiah. Hal itu memang semacam konflik lama, bahwa Syiah dan Khawarij tidak akan pernah akur sejak dulu, sekarang, hingga selama-lamanya.
Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Bukankah pengikut Syiah di negara ini sangat banyak? Apakah dengan demikian bom masjid di Pakistan juga akan terjadi di Indonesia?
Ancaman Bom Masjid
Satu fakta yang mesti dicatat bahwa kita, semuanya yang pro-demokrasi ini, bagi para ekstremis, dianggap berhukum dengan selain Allah, yaitu thaghut. Konsekuensinya jelas, mereka tidak akan segan-segan membunuh kita meski sesama Muslim, sebab bagi mereka kita bukan Muslim yang baik melainkan fasik, syirik, hingga kafir. Masjid kita, sementara itu, mereka anggap masjid dhirar—masjid munafik atau masjid pembangkang yang tidak dibangun berdasar ketakwaan.
Secara historis, Nabi Muhammad juga pernah memerintahkan sahabat untuk menghancurkan Masjid Dhirar, tepatnya pada 630 Masehi. Namun masjid yang Nabi hancurkan murni karena status masjidnya, bukan karena persoalan ideologis seperti yang terjadi di Pakistan. Karena kekeliruan memahami sejarah di satu sisi, dan kekeliruan memahami nas Al-Qur’an di sisi lainnya, bom masjid kemudian menjadi momok yang menyeramkan. Ia menjadi senjata teroris.
Lalu atas dasar apakah bom masjid menjadi ancama serius yang harus segera pemerintah tangani? Dalam konteks Indonesia, ini didasarkan fakta bahwa populasi Syiah di Indonesia cukup tinggi. Jalaluddin Rakhmat, intelektual Muslim yang beraliran Syiah, satu dekade silam, mengklaim jumlah pengikut Syiah di Indonesia mencapai luma juta orang. Populasi yang sama pesatnya dengan jumlah ekstremis yang melakukan aksi masif sejak satu dasawarsa sebelumnya.
Dengan fakta tersebut, Indonesia jelas berada dalam bayang-bayang bom masjid. Artinya, tanpa kebijakan yang tepat, tidak lama lagi, tren bom masjid akan menghantui Indonesia dan membunuh banyak orang—mengikuti aksi yang terjadi di Pakistan. Ada lima alasan yang menguatkan, bahwa bom masjid juga akan segera merebak di seantero masjid di Indonesia.
Pertama, kontestasi Islam politik. Islam politik di Indonesia telah lama berkontestasi, baik melalui jalur parlemen maupun gerakan jalanan. PKS, HTI dan FPI masuk kategori ini. Respons pemerintah terhadap mereka sangat mengejutkan, melalui agenda kontra-radikalisasi. Mereka terdesak, lalu dibubarkan. Lebih jauh, pemerintah bahkan juga bergerak masif melawan ekstremisme secara umum, sehingga seluruh kaum ekstremis ikut tersudutkan.
Kedua, terdesaknya para ekstremis. NII, MMI, JI, JAD, JAT, MIT, dan lainnya, adalah satu kesatuan sebagai ekstremis, meskipun di antara mereka memiliki perbedaan kecil tentang konsep spesifik jihad dan musuh yang harus diperangi. Namun mereka sama-sama memusuhi pemerintah, dan menganggapnya thaghut. Ketika pemerintah melawan, para ekstremis pun seluruhnya terdesak, dan dalam diri mereka ada dendam membara yang jelas akan mereka balaskan.
Ketiga, akomodasi atas Syiah. NU dan Muhammadiyah, sebagai sayap moderat Islam di Indonesia, cukup dekat dengan Syiah dan Ahmadiyah, melebihi kedekatan mereka terhadap siapa pun yang terlabeli sebagai “Muslim ekstrem”. Buktinya, perjuangan toleransi terhadap Syiah menggema sama kencangnya dengan perjuangan menghanguskan intoleransi kaum ekstremis. Ini tentu melahirkan kejengkelan sendiri di kalangan ekstremis. Mereka tidak akan terima Syiah diakomodasi negara.
Keempat, anggapan ke-thagut-an pemerintah. Ini sudah menjadi rahasia umum, bahwa proyek penegakan khilafah dan Darul Islam merupakan konsekuensi logis dari alur berpikir radikal: pemerintah Indonesia ini thaghut dan kafir, atau minimal anshar al-thaghut dan anshar al-kuffar. Doktrin tentang ini sangat kompleks, dan memiliki irisan ideologis dengan Al-Qaeda dan ISIS, juga seluruh kelompok teroris global. Seluruh aksi ekstrem mendapat pembenarannya di sini.
Kelima, Syiahisasi Muslim Indonesia. Ini yang paling berbahaya. Hari ini, diakui atau tidak, disadari atau tidak, ada upaya dari ekstremis untuk menebarkan propaganda bahwa seluruh Muslim di Indonesia adalah Syiah—jika tidak sependapat dengan mereka. Ulama, habaib, dan para kiai jika berpikiran terbuka, akan mereka anggap Syiah liberal yang harus dimusuhi. Syiahisasi ini memuluskan agenda radikalisasi, sehingga Indonesia jadi sarang Muslim radikal.
Berlatarkan lima faktor tersebut, apakah dikira bom masjid masih bukan ancaman?
Waspadalah!
Tentu saja tulisan ini tidak dalam rangka menakuti umat Islam di Indonesia bahwa mereka ada dalam incaran terorisme, juga bahwa masjid di negara ini akan menjadi sasaran aksi para ekstremis. Sebaliknya, di sini hendak ditegaskan, doktrin teror bukan sesuatu yang main-main. Pada saat yang sama, kemungkinan terburuk yang akan teroris lakukan sering kali kita abaikan. Kasus bom masjid di Pakistan mesti menjadi cermin besar, bahwa kontra-radikalisasi dan kontra-terorisme butuh totalitas.
Ulama kita, seperti Habib Luthfi, Quraish Shihab, Gus Mus, Gus Baha, atau ulama internasional seperti Syekh Ali Jum’ah dan Grandsyekh Al-Azhar Ahmad Thayyib, semuanya dianggap Syiah oleh para ekstremis. Bagi mereka, siapa pun yang tidak sependapat akan dicap liberal atau Syiah, tidak peduli apakah ulama tersebut masyhur dan alim.
Pada saat yang sama, tokoh ekstremis seperti Yazid Jawwas, Firanda Andirja, Aman Abdurrahman, Khalid Basalamah dan lainnya dianggap panutan sejati, mengalahkan ulama kita seluruhnya. Ketika mereka, para tokoh ekstremis ini, seperti disudutkan dan terserang dari segala arah, pengikutnya merasa jengkel dan merasa bahwa Islam harus segera dibela.
Dari situlah, benih-benih teror masjid akan terlintas di kepala mereka. Masjid moderat yang dianggap Syiah akan mereka bom seluruhnya. Sebab Syiah bagi mereka bukan hanya Syiah seperti pada umumnya, tetapi juga mencakup siapa pun yang berbeda dari mereka. Syiah menurut mereka harus dilawan dengan cara sebrutal apa pun, dan kita semua, meskipun moderat seperti apa pun, terkena dampak buruknya. Maka, waspadalah! Na‘ūdzu bi Allāh.
Ahmad Khoiri, Mahasiswa SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.