Khilafah.id – Salah satu wacana fenomenal khususnya di kalangan remaja dewasa ini adalah apa yang kita kenal dengan ‘hijrah’. Dalam semua takaran pemaknaannya, baik secara konotatif maupun denotatif, hijrah merupakan yang paling gencar disuarakan. Utamanya di kalangan Muslimah, lumrahnya hijrah diidentikkan dengan perubahan gaya hidup; dari nakal ke sopan, dari pacaran ke putus atau langsung menikah, serta yang paling banyak adalah dari terbuka ke tertutup bahkan kadang sampai level berlebihan.
Belakangan, atribut-atribut hijrah menjadi komoditas yang memenuhi pangsa pasar busana Muslim dan Muslimah. Akomodasi ke arah hijrah terbuka lebar, sampai kepada titik di mana semua kalangan menginginkannya. Alih-alih memperbaiki diri, hijrah mengalami dinamika makna ke yang lebih luas, yaitu ‘keniscayaan zaman’. Keniscayaan zaman di sini adalah bahasa lain dari tren remaja masa kini.
Persoalan paradoksal tentang hijrah ini kemudian menjadi bahasan menarik; apakah hijrah tersebut disebabkan hidayah atau sekadar ikut tren? Bersama KH. Ilhamullah Sumarkan, Direktur Imarah dan Ijtima‘iyah Masjid Nasional Al-Akbar Surabaya, dalam suatu forum kajian keislaman milenial, beberapa waktu lalu, topik ini diulas secara detail.
Konotasi Makna
Menurut Sumarkan, secara argumentatif, dalam pemaknaan letterlijk, kata “hijrah” dan derivasinya dalam Al-Qur’an yang di antaranya termaktub dalam QS. al-Baqarah [2]: 218 memiliki makna “berpindah”. Sedangkan dalam hadis, hijrah seringkali dikaitkan dengan migrasi Nabi Saw. beserta para sahabat dan kaum mukmin dari Mekah ke Madinah, lebih empat belas abad yang lalu.
Dari ayat Al-Qur’an dan hadis tersebut, pemaknaan hijrah mengalami perkembangan. Setidaknya, menurut Sumarkan, perkembangan tersebut tercakup dalam makna tempat (ma‘nâ makâniyah) dan makna esensial (ma‘nâ haqîqiyah). Makna esensial dari hijrah juga terklasifikasikan ke dalam beberapa hal; hijrah keyakinan (i‘tiqâdiyah), hijrah perasaan (syu‘ûriyah), dan hijrah perilaku (fi‘liyah).
Yang jelas, dari segala pemaknaan tersebut, tolok ukur pemaknaan hijrah berkutat dalam spirit upaya untuk menuju yang lebih baik, dalam aspek apapun. Kendati tidak dapat dielakkan bahwa sementara kalangan bersikukuh memaknainya secara sempit, bahwa hijrah hanya terjadi pada masa dan, dilakukan oleh, Nabi Saw. saja. Menurut kalangan ini, perpindahan baik ke yang buruk bukanlah disebut hijrah, melainkan taubat. Ragam pendapat ini sama-sama kuat, dengan argumennya masing-masing.
Dalam sebuah hijrah, dalam artian menuju ke yang lebih baik, menurut Sumarkan, terdapat bagian terpenting, yaitu bertetap hati di dalamnya (al-istiqâmah fi al-hijrah). Katakanlah bawa berhijrah itu mudah, yang sulit adalah mempertahankannya. Hari ini hijrah, hari berikutnya berubah pikiran. Cemoohan orang lain senantiasa menyurutkan kemantapan hati. Untuk hal ini, Sumarkan mengulas beberapa mekanisme yang dapat menjadi rujukan kita agar mantap dalam hijrah, dan istiqamah di dalamnya, tidak peduli seberapa banyak gunjingan orang lain terhadap usaha hijrah yang kita lakukan. Antara lain:
- Memurnikan niat hati dalam berhijrah (ikhlâsh al-niyyah fi al-hijrah)
Kemurnian adalah sesuatu yang abstrak, tidak bisa diraba. Akan tetapi, ia tampak melalui hijrah itu sendiri, melalui perilaku empiris seseorang yang berhijrah. Hijrah yang berdasarkan hati, sebab memperoleh hidayah Allah Swt., tercermin dari perangai orang yang berhijrah. Menjaga pandangan (ghadhdh al-bashar), misalnya. Sedangkan hijrah yang disebabkan mengikuti tren kekinian, juga sangat jelas terlihat melalui sikap empiris yang tak seyogianya dilakukan.
Kita telah melihat banyak orang mengaku berhijrah, berbaju gamis dan cadar misalnya, tetapi suka foto selfie dan mengunggahnya ke media sosial. Alih-alih menjaganya dalam kebaikan, hal semacam ini hanya akan membuat lelaki penasaran. Biasanya hijrah semacam ini mudah terpengaruhi, dan rentan keluar dari garis keistiqamahan. Atas fakta ini, kita harus luruskan niat, sembari mengingat sabda Nabi Saw. bahwa segala hal tergantung niatnya, dan niat tersebut menjadi titik tolak ia mampu istiqamah ataukah tidak.
- Berteman dengan orang yang baik (shâhibun shâlihun)
Bahwa teman memiliki pengaruh signifikan terhadap kekalnya hijrah atau tidak merupakan sesuatu yang niscaya. Maka dari itu memiliki teman yang baik, yang dapat mendukung dan mengarahkan kita kepada totalitas hijrah adalah sesuatu yang niscaya. Berteman dengan orang yang tidak baik, selain dapat memengaruhi kita terjerumus keburukan mereka, juga potensial untuk mencemooh kita sebagai orang ‘munafik’ atau pun ‘pura-pura baik’. Demi keistiqamahan, berteman dengan baik adalah sesuatu yang krusial.
- Tinggal di lingkungan yang baik (wilâyatun shâlihatun)
Selain teman, lingkungan juga penting untuk sebuah hijrah. Lingkungan yang baik adalah senjata utama, bagaimana hijrah tersebut dapat kita maksimalkan. Adalah tidak mungkin, atau mungkin tetapi begitu sulit, untuk tetap bertahan dalam kebaikan, sementara lingkungan kita tidak mendukungnya. Alih-alih kita dapat mempengaruhi, justru lingkunganlah yang akan mempengaruhi kita. Itulah pentingnya lingkungan yang baik.
- Mengukuhkan keimanan dan ketauhidan melalui pengetahuan (yuqawwi al-îmân wa al-tawhîd bi al-‘ilm)
Dalam konteks hijrah sebagai tren kekinian, pengetahuan agama seringkali berjalan tidak beriringan dengan hasrat hijrah itu sendiri. Sumarkan menjabarkan, tidak jarang orang yang baru hijrah mudah menjustifikasi diri sebagai ‘yang benar’ dan menganggap orang lain tidak searah dengannya sebagai ‘yang salah’.
Hal itu disebabkan pengetahuan agamanya masih dalam taraf yang sempit, hanya mengetahui melalui satu perspektif, sehingga terhadap perbedaan ia cenderung intoleran. Hijrah semacam ini seyogianya tidak terjadi. Oleh karena itu yang mesti dilakukan adalah menyeimbangkan pemahaman keagamaan dengan semangat hijrah, mengokohkan keimanan dan ketauhidan sebagai bekal primordial di dalam hijrah.
- Berupaya memahami Al-Qur’an dan merenungkan kandungan-kandungannya (yatafahham al-Qur’ân wa yatadabbarû)
Mekanisme terakhir yang diuraikan Sumarkan dalam mengekalkan hijrah adalah senantiasa mengkaji kandungan Al-Qur’an serta mentadaburi ayat-ayat-Nya. Menata niat dan mencari petunjuk adalah suatu kewajiban setiap Muslim, khususnya yang dalam masa hijrah. Sebagai rujukan primer dalam Islam, Al-Qur’an banyak membahas tentang hijrah, atau yang sepadan dengannya, secara eksplisit maupun implisit dalam fakta historis di masa lalu.
Ketimbang belajar Islam dari media sosial, di mana ini menjadi kecenderungan hari-hari ini, jauh lebih penting untuk merujuk ke sumber utama. Dengan begitu, hijrah kita tidak hanya disebabkan ikut tren, melainkan karena hidayah Allah Swt. yang kita peroleh melalui tadabur terhadap kandungan Kitab Suci itu sendiri. Mekanisme terakhir ini merupakan klimaks sebuah hijrah, yang dengannya hijrah kita akan sampai pada taraf ulû al-albâb dan muttaqîn.
Yang terakhir, Sumarkan mengatakan, dari segalanya, kunci sebuah hijrah setidaknya dua; berpegang teguh pada kebaikan sekecil apa pun (istiqâmah fi al-khayr wa law qalîlân) dan senantiasa berdoa (istiqâmah fi al-du‘â’). Hijrah, sebagai inisiatif hati, harus dikontrol secara terus-menerus karena karakter hati adalah berbolak-balik. Hijrah karena sebatas mengikuti arus trendy tidak akan berlangsung lama, ia akan pudar bersamaan dengan pudarnya tren itu sendiri.
Akan tetapi seyogianya kita menyadari, persoalan sensitif ini bukan ladang mencari tenar dengan kekinian dan semacamnya, karena itu sama saja dengan mempermainkan agama. Baiklah. Katakanlah cadar itu tidak wajib, tetapi menutup aurat adalah perintah eksplist dalam Al-Qur’an. Banyak dari kalangan remaja memahami, hijrah sebatas diutunjukkan dengan berubahnya secara drastis atribut busana kita menuju yang dianggap ‘lebih syar‘iy’.
Persepsi ini mesti didekontruksi, lalu upaya rekontruksi menjadi langkah pembenahan, bahwa kalau kita tidak bisa melakukan dua hal sekaligus, antara memantapkan hati dengan menutup aurat, setidaknya kita tidak meninggal keduanya begitu saja. Upaya-upaya tetap wajib, dan selama itu pula, hijrah sudah sampai di tataran substantif.
Hijrah sebagai Kesalehan
Ulasan Sumarkan mengindikasikan bahwa menjadi baik (shâlih) lebih sulit daripada menjadi mushlih. Hal itu dikarenakan dalam kategori shâlih, terdapat bagian terpenting yang tidak bisa dilepaskan, yaitu istiqamah. Realitas ini kontras dengan fakta bahwa dalam beberapa persoalan, menjadi mushlih justru lebih sulit. Mushlih, dalam beberapa hal, memerlukan usaha ekstra di samping komitmen terhadap kesalehan itu sendiri. Tetapi tidak demikian dalam persoalan hijrah.
Menjadi shâlih dalam hijrah sangat sulit, karena itu berarti menata hati, memantapkan hati, bahkan memaksakan hati ke arah yang lebih baik dari sebelumnya. Ditambah lagi, butuh adaptasi yang tidak sebentar untuk istiqamah di dalamnya, lantaran tidak jarang kita sulit melepaskan kebiasaan lama, yakni kebiasaan sebelum hijrah. Sedangkan untuk mushlih, dalam konteks hijrah, relatif lebih mudah.
Kita telah melihat bahwa perilaku kita yang saleh secara implisit akan memengaruhi orang-orang sekitar. Cukup saja melebarkan sayap pertemanan, dengan totalitas kesalehan kita akan memengaruhi mereka, tanpa harus terlebih dahulu meminta mereka mengikuti kita.
Itulah menjadi mushlih dalam persoalan hijrah. Seperangkat kesalehan memang bukan perkara yang mudah, terutama terkait komitmen untuk istiqamah, di samping meluruskan niat terhadap hijrah yang esensial, bukan karena mengikuti tren kekinian. Baju gamis, kerudung yang menutupi seluruh badan hanyalah atribut keagamaan, yang harus berjalan linear dengan kesalehan hati kita.
Sebagai generasi milenial, adalah tugas kita untuk menjadi saleh dan sekaligus menjadi muslih. Lagi pula hijrah tidak seyogianya dianggap tren, karena memang itulah tuntunan syariat. Termasuk pula di antara bukti konkret upaya kita menjadi generasi muslih adalah mengubah pesepsi masyarakat kita, utamanya kalangan remaja dalam memaknai hijrah; bahwa hijrah bukanlah persoalan kekinian atau bukan, tidak pula soal gamis atau pakaian biasa, melainkan langkah fundamental kita dalam mencapai kebaikan horizontal dan vertikal.
Horizontal adalah terkait hubungan kita sesama manusia (habl min al-nâs), sedangkan vertikal adalah dalam konteks hubungan kita dengan Sang Pencipta (habl min Allâh). Kedua hubungan ini bersifat integral, yang bisa kita lakukan dengan menghijrahkan hati ke dalam kebajikan seutuhnya. Dan dengan demikian sempurnalah tugas kita untuk menjadi generasi yang baik (shâlih) sekaligus generasi yang senantiasa menebar kebaikan (mushlih).
Tetapi, overall, bagaimana jika hijrah tersebut secara terselubung menjadi tren indoktrinasi milenial dengan segala tujuannya yang tidak terlacak publik? Itu ternyata juga perlu dipikirkan.
Ahmad Khoiri, Mahasiswa SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.