Khilafah.id – Baru-baru ini Buya Arrazy Hasyim menghadapi beberapa tuduhan terkait ajaran tasawufnya. Ia disinyalir mengajarkan tasawuf yang menyimpang. Lebih jauh lagi, ia juga dituduh mengkomersilkan majelis tarekatnya. Seperti salah satu tulisan yang saya baca pagi ini, “tarekat mau jualan tazkiyah nafs dan bimbingan dzikir dan akhlak sebagaimana tarekat lain atau jualan ruh dengan segala kleniknya?” (Rumah Muslimin: Nasehat Untuk Buya Arrazy Hasyim). Penulis artikel tersebut juga menganggap Buya Arrazy mengajarkan tasawuf bercorak falsafi yang melenceng dari tasawuf sunni yang ‘lurus’.
Topik kontroversi seputar tasawuf ini memang sangat klasik. Islam pertama kali masuk ke wilayah nusantara bercorak sufistik yang damai dan mampu melebur dengan budaya lokal. Hanya saja, perdebatan hebat Tasawuf Falsafi Dan Tasawuf Sunni yang telah berkembang di Timur-tengah, akhirnya masuk juga ke Nusantara sejak awal abad ke-17. Dapat dikatakan konflik antara sesama penganut tasawuf yang berbeda corak ini merupakan pergumulan pertama Islam di Nusantara. Ditandai dengan peristiwa bersejarah ketika Syekh Ar-Raniry menyerang keras Hamzah Fansuri, dan Walisongo mengeksekusi Syekh Siti Jenar.
Kekerasan wacana dan fisik di sekitar penganut sufisme memang sangat kontras dengan ajaran kesucian lahir batin yang dikembangkan dalam disiplin Ilmu Tasawuf. Cara-cara kekerasan berbau perebutan dominasi wacana agama nampaknya sudah cukup kuno dan tidak relevan. Pasalnya, di era sekarang ini, perbedaan sudah bukan lagi alasan untuk berkonflik. Apa lagi dalam konteks tasawuf, pemahaman jarang dapat dicapai melalui debat atau diskusi. Praktik sufisme lebih banyak membutuhkan penghayatan mendalam tentang syari’at dan tarekat, antara yang eksoterik dan esoterik.
Tasawuf berkaitan dengan mistik Islam, sebuah mazhab praktik kebatinan yang menekankan, intropeksi diri, penyucian jiwa, kedekatan pada Tuhan, dan menghindari materialisme. Kompleksitas di dalam praktik tasawuf memang sulit diterima begitu saja dengan panca indra yang hanya menangkap makna lahiriyah. Untuk itulah kontroversi semacam ini, ‘haruslah dilihat dari kacamata keilmuan tasawuf, biar dapat dimaklumi, tanpa mengingkari aturan syariat’, sebagaimana yang ditulis dalam artikel menarik, 3 Macam Mursyid dalam Tarekat di Harakah.id. Memang, sering kali sufi dipandang sebagai orang yang aneh, bahkan eksentrik. Namun, tidak perlu sampai memandang tasawuf sebagai ancaman, dan menuduh penganutnya sebagai bid’ah, sesat, atau murtad.
Pandangan negatif terhadap praktik tasawuf itu telah menjadi ciri khas perspektif kaum ekstrimis berbahaya dan memicu konflik. Praktik Tasawuf atau mistisisme Islam, selama ini telah menjadi sasaran serangan dan kekerasan dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu yang terparah mungkin terjadi pada 2017 lalu, sebuah masjid Sufi di Semenanjung Sinai diserang secara brutal dan menewaskan sedikitnya 305 orang. Ini serangan teroris terburuk dalam sejarah modern Mesir.
Maka dari itu, sebagai masyarakat awam, kita tidak sepatutnya memberikan penghakiman mentah-mentah tentang praktik thariqah seorang murid/salik, terutama jika kita tidak duduk dalam satu majelis yang sama atau tidak menyepakati guru yang sama. Sama seperti disiplin ilmu-ilmu yang lain, dalam tasawuf juga terdapat perbedaan yang sangat rentan meruncing menjadi perselisihan. Banyak hal yang tampak di luar, berbeda dari peristiwa di dalam yang sebenarnya. Dalam memahami hal ini, kita diajarkan untuk merujuk kita pada kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir di dalam al-Quran. Kisah ini ditemukan dalam Surat al-Kahfi, dimulai dari ayat 60-82.
Ini adalah kisah perjalanan spiritual Nabi Musa dan Nabi Khidir yang dipenuhi dengan misteri dan paradoks dunia kebatinan. Di awal, Nabi Musa telah berkomitmen untuk sabar dan patuh pada gurunya, Nabi Khidir. Namun nyatanya, peristiwa lahiriah yang dilakukan Nabi Khidir, berulang kali mengalihkan perhatian Musa as dari perjalanan batinnya kepada kontroversi ‘luaran’. Ia melihat sesuatu dari luar yang terlihat seperti kesalahan, keanehan, dan sesuatu yang tidak dapat dimengerti. Nabi Musa mengajukan pertanyaan dan kritik, yang tidak seharusnya dia lakukan. Sebab, dibalik tindakan yang dilakukan Nabi Khidir, ada hikmah dan makna batin yang amat besar.
Sebagai seorang nabi, Musa sudah bijaksana, tetapi kisah Musa dan Khidir memberitahu kita bahwa kebijaksanaan tidak menjamin seseorang memahami setiap makna batin. Kisah ini sedikitnya mengajarkan kita tentang tentang paradoks dan kerancuan yang sangat mungkin terjadi dalam kehidupan.
Apa yang tampak sebagai kerugian mungkin adalah keuntungan. Apa yang tampak sebagai keuntungan bisa jadi merupakan kerugian. Apa yang tampak sebagai kekayaan mungkin pada akhirnya adalah kemiskinan. Apa yang tampak sebagai kemiskinan mungkin adalah keamanan. Apa yang tampak sebagai penyakit dapat menyebabkan kesehatan. Penampilan kekejaman sesaat mungkin menjadi rahmat bagi lebih banyak orang.
Kita dapat belajar dari ilmu yang diberikan Al-Khidr, yakni rahasia keseimbangan yang sangat halus antara kesabaran, kepercayaan, iman, dan penyerahan diri. Keterkaitan yang tidak dilihat oleh Musa, karena ia berfokus pada makna luar daripada realitas yang tidak terlihat. Tentu saja ini adalah contoh realistis bahwa kita, sebagai manusia, selalu dihadapkan pada batas-batas pencarian, pengetahuan, kesadaran, dan penyerahan kepada Allah.
Nabi Khidir tidak mengajarkan tindakan luar atau lahiriyah, bukan tentang meniru menenggelamkan perahu, membunuh anak laki-laki yang tidak bersalah, atau membangun tembok. Namun sebaliknya, Nabi Khidir, sebagai guru spiritual, mengajarkan melihat melampaui tindakan eksternal untuk menerima pengetahuan batin yang gaib.
Al-Khidir mengakhiri ajarannya dengan menunjukkan bahwa bukan hanya perbuatannya yang tampak salah, sebenarnya benar, tetapi ia juga memberikan kearifan bahwa itu semua bukanlah perbuatannya sendiri, melainkan ketetapan Allah yang dijalankannya karena pengetahuannya tentang yang gaib dan anugerah dari rahmat Allah. Apa yang kuperbuat bukan menurut kemauanku sendiri. Itulah keterangan perbuatan-perbuatan yang engkau tidak sabar terhadapnya (QS. Al-Kahfi: 82)
Singkatnya, kebijaksanaan Allah melampaui semua kemampuan manusia untuk memahami. Terkadang, tanpa menjauhkan perhatian dari hal-hal luaran yang dianggap penting, kita tidak akan bisa mengarahkan diri kita kepada apa yang benar-benar penting di dalamnya. Tasawuf, sama seperti disiplin ilmu-ilmu lainnya dalam Islam, juga dihiasi dengan perbedaan.
Namun, penting sekali untuk menghindari kontroversinya. Cobalah untuk menemukan penjelasan dari guru yan tepat, atau hubungkan keraguan kita dengan kedangkalan dan kurangnya pemahaman kita sendiri. Serta yang terpenting ialah tetap menghargai perbedaan. Mari kembangkan praktik-praktik kedamaian dalam mendekatkan diri kepada Tuhan.
Selvina Adistia, Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.