HTI, Doktrin Sektarian, dan Gagalnya Tranparansi Keuangan Internal

HTI

Khilafah.id – Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dalam keadaan telah resmi dibubarkan pemerintah, nyatanya bergerak dibawah tanah, baik melalui pertemuan rahasia maupun via internet. Di media sosial khususnya, penggerak-penggerak HTI aktif menyebarkan propaganda mereka berwujud buletin digital. Telah lazim, seluruh isu diarahkan sedemikian rupa untuk menyerang sistem dan ideologi negara, kemudian menggiring opini bahwa solusi terbaik mengatasi segala persoalan ialah kembali pada khilafah, misalnya terkait fenomena korupsi.

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) Febrie Adriansyah memaparkan capaian kinerja jajarannya di sepanjang tahun 2022. Dari hasil penanganan perkara korupsi, tercatat kerugian negara dan perekonomian negara mencapai Rp 144,2 triliun (Merdeka.com, 7/01/2023). Selanjutnya, pernyataan Menko Polhukam, Mahfud MD dipelintir, “Korupsi lahir dari banyak politisi yang dipilih lewat proses secara demokratis. Menurut dia, hal ini menjadi contoh bahwa demokrasi tak selalu mendukung lahirnya tata kelola yang baik”. Kutipan ini secara sporadis menurut mereka memberikan kesimpulan, “demokrasi biang korupsi”.

HTI Mengkritik

HTI mencari pembenaran statement-nya dengan merilis data Transparency International  Indonesia (TII), dikutip Detik.com, memaparkan survei terkait korupsi di Indonesia. Survei dilakukan pada 15 Juni-24 Juli 2020. Hasilnya, TII mengatakan masyarakat menempatkan anggota legislatif sebagai lembaga terkorup di Indonesia: (1) Anggota Legislat if, 51%; (2) Pejabat Pemerintah Daerah, 48%; (3) Pejabat Pemerintahan, 45%; (4) Polisi, 33%; (5) Pebisnis, 25%; (6) Hakim/Pengadilan, 24%; (7) Presiden/Menteri, 20%; (8) LSM, 19%; (9) Bankir, 17%; (10) TNI, 8%; (11) Pemuka Agama, 7%.

Secara teoritis, HT memiliki doktrin Sistem “Islam”. Itu artinya, segala persoalan yang melanda umat manusia, seketika akan beres jika kembali kepada Syariah dan Khilafah-berdasarkan selera kelompoknya, sebagaimana dikutip dari Buletin Kaffah, edisi 277 (2023) berikut:

  1. Penerapan Ideologi lslam meniscayakan penerapan syariah Islam secara kâffah dalam segala aspek kehidupan. Termasuk dalam hal kepemimpinan. Karena itu dalam Islam, pemimpin negara (khalifah), misalnya, diangkat untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah. Begitu pun pejabat lainnya. Mereka diangkat untuk menerapkan dan melaksanakan syariah Islam.
  2. Dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, Khilafah menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Ketakwaan menjadi kontrol awal sebagai penangkal berbuat maksiat dan tercela. Ketakwaan akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah SWT. Ketika takwa dibalut dengan zuhud, yakni memandang rendah dunia dan qanâ’ah dengan pemberian Allah SWT, maka pejabat atau pegawai negara betul-betul amanah. Sebabnya, bagi mereka dunia bukanlah tujuan. Tujuan mereka hidup di dunia adalah demi meraih ridha Allah SWT. Karena itu mereka paham betul bahwa menjadi pemimpin, pejabat atau pegawai negara hanyalah sarana untuk mewujudkan ‘izzul Islâm wal Muslimîn, bukan demi kepentingan materi atau memperkaya diri dan kelompoknya.
  3. Dalam Islam, politik itu intinya adalah ri’âyah syar’iyyah, yakni bagaimana mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa sesuai dengan tuntutan syariah Islam. Bukan politik yang tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, atau elit rakus.
  4. Sanksi tegas diberlakukan demi memberikan efek jera dan juga pencegah kasus serupa muncul berulang. Hukuman tegas tersebut bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.

Sekilas dilihat jabaran diatas, nampaknya ‘tidak menunjukkan masalah berarti’, terkecuali poin yang memang sengaja ditujukan untuk menyerang NKRI, yaitu dengan menerapkan Ideologi Islam (versi HTI)-otomatis medelegitimasi Ideologi Pancasila.

Kemudian solusi Islam (menurut HTI) yang ditawarkan: Syarat Takwa bagi Pemimpin, Politik Pepengurusan Umat, dan Sanksi Tegas kepada Pelaku Korup, tentu menarik jika dikaji lebih mendalam, apalagi bisa diimplementasikan. Namun sebelum menunjuk pihak luar, apakah idealitas tersebut berlaku untuk diterapkan di jajaran HTI sendiri? Apakah di internal kelompok, budaya korupsi memang benar terberantas dengan baik, berdasarkan narasi ‘ilahiyah’ yang mereka kemukakan? Apakah telah ideal menjalankan tranparansi sektor keuangan?

HTI yang Sedang Kritis

Sayangnya tidak sama sekali. Rumitnya persoalan keterbukaan finansial dikalangan Elit HTI sudah lama berhembus, namun tak banyak Penyintas yang berani buka suara. Satu-satunya Eks. Aktivis HTI senior yang membongkar persoalan ini habis-habisan ialah Mokhamad Rohma Rozikin (Muafa). Dirinya mengaku resah atas sikap hipoktrit Petinggi HTI, lalu banyak memengaruhi masyarakat awam agar ikut bersama mereka dalam agenda makar dan upaya pemberontakan terhadap negara. Melalui laman facebook, Akademisi Universitas Brawijaya menulis:

“Pernah ada seorang syabab yang bertanya kepada syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani, apakah beliau pernah menerima dana dari Israel atau Inggris untuk Hizbut Tahrir? Syabab ini bertanya demikian karena mendengar desas-desus tersebut. Mendengar pertanyaan itu maka syaikh Taqiyyuddin An-Nabhani seketika itu juga memecat syabab (sebutan untuk aktivis Hibut Tahrir) dari keanggotaan Parpol Ilegal tersebut!”

Kisah ini diceritakan oleh salah satu elit Hizbut Tahrir (Anggota Majelis Wilayah Hizbut Tahrir Indonesia, biasanya disebut Zā’ir.) itu dengan nada “heroik” dan rada-rada angkuh. Gayanya seolah-olah memandang rendah syabab yang memiliki perilaku serupa atau semakna dengan itu.

Target cerita pun jelas, “Jangan coba-coba berani menanyakan pengelolaan keuangan Hizbut Tahrir!” Entah yang terkait pemasukan maupun pengeluaran. Jika Anda sampai berani melakukannya, maka hal itu bermakna Anda sudah hilang kepercayaan terhadap Hizbut Tahrir dan sudah melanggar salah satu butir qosam (sumpah keanggotaan) yang menuntut Anda untuk percaya kepada qiyadah (watsiqan biqiyadatihi).

Slogan kembali kepada Kekhalifahan Islam sirna seketika, apalagi jika sudah berurusan dengan uang. Muafa pun mencatat sederet kasus dugaan penyelewengan alias dana pengikut mereka yang dikumpulkan tanpa diberikan kompensasi berupa transparansi pelaporan. Adapun masalahnya:

  1. Berapa kali orang Hizbut Tahrir yang bahkan tingkat pejabatnya, elitnya dan tokohnya yang tersandung urusan uang dan tidak amanah?
  2. Apa Anda tidak pernah mendengar kasus investasi bodong orang Hizbut Tahrir yang merugikan orang lain sampai milyaran rupiah?
  3. Apa Anda tidak pernah mendengar kisah orang Hizbut Tahrir yang menggagas Kampung Islami, lalu mengumpulkan uang dari customer, bahkan menghajikan elit Hizbut Tahrir pakai uang tersebut, lalu ternyata dia penipu dan dilaporkan ke polisi?
  4. Ada Anda tidak pernah mendengar kisah orang Hizbut Tahrir yang menggagas membuat acara “Cara Hidup Bebas Utang” sementara utang dia sendiri belum ia bayar?
  5. Apa Anda tidak pernah mendengar kisah orang Hizbut Tahrir yang bawa barang orang untuk dijualkan, tapi setelah terjual uangnya dipakai sendiri setelah itu ada berita orang tersebut mendirikan pondok pesantren?

Lanjut Muafa, uang yang mereka setorkan dipakai untuk pindah dari satu hotel ke hotel yang lain, rapat di restoran mewah, menyewa rumah mewah untuk tempat tinggal elit, membeli mobil inventaris tapi dipakai untuk kepentingan pribadi elit dan lain-lain,  belum termasuk dalam daftar diatas. Paling tidak, ini membuktikan betapa buruknya akuntabilitas dan transparansi keuangan di tubuh internal Hizbut Tahrir. Akses untuk mengetahui pemasukan dan pengeluaran HT ditutup rapat-rapat dan syabab hanya diminta percaya 100% persen dengan elitnya dengan perbelanjaan tersebut.

“Jangan pernah membayangkan ada audit keuangan di tubuh Hizbut Tahrir. Tidak. Tidak ada itu”, selorohnya.

Pengungkapan Mantan Pengurus HTI itu mendapat reaksi sejumlah netizen, bahkan tak sedikit diantaranya pernah terlibat aktif seperti WV, mengaku prihatin terhadap pengikut setia HTI yang relatif awam dan hanya sekedar dimanfaatkan:

Kasihan memang syabab-syabab “lugu” yang kebanyakannya terdorong gabung karena ghirah (semangat) tinggi untuk membangkitkan islam, berjuang demi tegaknya syariah dan khilafah, tapi soal tata kelola organisasinya sendiri tidak tahu. “Kalau organisasi seperti HT adalah miniatur sebuah negara atau cikal bakal bagaimana sebuah negara dikelola, tanpa ada transparansi dan akuntabilitas, bakalan cepat bubar tuh negara.”

Kejanggalan mekanisme pengelolaan keuangan HTI disampaikan pula oleh MP, dimulai tidak jelasnya akad, berubah-ubahnya nama dan bentuk transaksi. Intinya bagaimana dana umat bisa diraup sebanyak-banyaknya beralaskan operasional “dakwah”. Tidak lagi memandang apakah halal atau haram.

“Yang saya ketahui mereka memakai istilah pemungutan dana itu biasanya mereka sebut SPP/bulan, Ustadz. Yang pernah istri bilang ke saya dan minta izin setiap bulan membayar SPP dengan dalih biaya belajar atau anggap aja sebagai jasa pengajar, sehingga syabab lugu tidak lagi mempertanyakan kemana uangnya. Begitulah dalihnya, Ustadz.”, lirihnya berkeluh kepada Ustaz Muafa.

Penulis sendiri mengonfirmasi keabsahan informasi betapa HTI mengajarkan doktrin kepemimpinan (qiyadah) absolut, dalam arti, jika sudah mengaji, maka cukup “beriman” saja tanpa perlu banyak bertanya. Misalnya, diera 2008 – 2012, sewaktu masih berstatus mahasiswa, penulis diwajibkan membayar iuran/SPP halaqoh sebesar Rp10.000,- per bulan, ditambah sedikit dipaksa oleh mentor untuk membeli Majalah dan Tabloid HTI. Setiap peserta halaqoh (pengajian rutin mingguan) berusaha diyakinkan bahwa setiap uang yang digelontorkan semata “demi meninggikan Kalimatullah”, kendati disebutkan pula jika dana iltizamat/ṣundūq itu sebagian untuk menggaji sebagian elit-elit Hizbut Tahrir.

Kami-pun menuruti semua keinginan Para Politisi HTI, hingga akhirnya berkesempatan berkunjung ke Kantor mereka yang kini aktifitasnya telah dibekukan pemerintah. Dalam pandangan ringkas, fasilitas disana tergolong mewah untuk sebuah entitas kelompok yang katanya “memihak rakyat” dan anti korupsi, faktanya juga dibiayai wong cilik. Karenanya, wajarlah jika hingga detik ini penulis berusaha mengajukan beberapa pertanyaan penting:

  1. Bagaimana hukum menarik iuran wajib peserta halaqah tapi dengan kemasan infaq?
  2. Bagaimana jika peserta halaqah tidak membayar, tapi dipaksa ditagih bulan berikutnya seakan menjadi hutang?
  3. Bagaimana alasan menggaji Elit-elitnya menggunakan tarikan ‘dharibah’ (pajak) yang kadang bisa muncul sewaktu-waktu?
  4. Apakah akad ijarah berlaku atas sistem pengajian sebagaimana umumnya lembaga pendidikan resmi?
  5. Apakah halal menerima uang jamaah, sementara pemberi jasa tidak mampu memenuhi ekspektasi dalam memberikan pengetahuan keagamaan yang kompleks, sesuai kebutuhan masyarakat sehari-hari?
  6. Apakah halal menerima dana umat atas nama operasional dakwah tapi hanya sekedar bertujuan melanggengkan kekuasaan Elit saja?
  7. Bagaimana ceritanya bercita menghapus korupsi di Indonesia, sementara korupsi di tubuh sendiri terbilang awet?

Butir-butir rasa penasaran penulis didukung data kualitatif sejumlah penyintas Kelompok Ekstrim (HTI), sebelumnya tak jarang diajukan kepada Musyrif (sebutan bagi Pembina pasca terekrut), akan tetapi tidak mendapatkan jawaban memuaskan selain cukup sami’na wa atha’na alias dengar dan taat. Jika memaksa, maka akan dikeluarkan dari barisan Pejuang Islam. Ajaran seperti ini tidakkah mengerikan?

Dany Chaniago, Penulis merupakan Eks Syabab HTI Provinsi Kalimantan Barat, bergabung tahun 2008 dan keluar tahun 2013. Pernah ditunjuk menjadi Ketua Umum Gema Pembebasan Borneo Barat tahun 2009 – 2011. Saat ini Penulis aktif sebagai Tenaga Pengajar di IAIN Pontianak dan berkhidmat di Nadhatul Ulama melalui Banom GP Ansor.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Mitos Kemunduran Dunia Intelektual Islam

Ming Sep 10 , 2023
Khilafah.id – Penulisan periode sejarah tidak pernah menjadi kegiatan yang netral, begitu kesimpulan Jacques Le Goff, seorang sejarawan Prancis. Maka dalam banyak hal, penentuan suatu masa sebagai kemunduran dan kemajuan, keemasan dan kegelapan,  abad pertengahan dan abad pencerahan merupakan akal- akalan saja, tidak pernah terlepas dari peran relasi kuasa- ilmu […]
dunia islam

You May Like