Khilafah.id – Dari perspektif sejarah Islam, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang merongrong Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tampaknya bisa disejajarkan dengan Yahudi Madinah yang merongrong Piagam Madinah di era Nabi.
Ketika Nabi membangun tatanan politik di Yastrib (nama asal Madinah), beliau tidak mendirikan Negara Syariah dengan menjadikan Islam sebagai agama resmi negara, dan al-Qur’an sebagai konstitusinya. Nabi justru mendasarkan Negara Madinah pada kesepakatan bersama antar warganya. Kesepakatan bersama yang dikenal dengan “Piagam Madinah” ini menjadi landasan bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat Madinah yang majemuk, agar kaum Muhajirin dari Mekkah, kaum Ansor, penganut Yahudi, Kristen, Majusi, dan agama pagan di Madinah bisa hidup berdampingan dan bersama-sama mempertahankan wilayahnya dari agresi musuh.
Dalam Konstitusi Madinah, misalnya, terdapat pasal yang menegaskan bahwa kaum Muslim dan Yahudi merupakan satu umat. “Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan kaum Muslim. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka.” Juga ada pasal tentang perlindungan terhadap kebebasan menjalankan keyakinan agama masing-masing.
Pakta ini memang menempatkan Nabi Muhammad sebagai wasit dan pemutus perkara manakala ada perselisihan. Tapi ingat, posisi Nabi di sini bukan lantaran beliau adalah Rasulullah, karena warga Madinah yang non-Muslim jelas tidak mengimaninya, dan tidak ada paksaan bagi mereka untuk mengakui kerasulannya, melainkan karena seluruh komponen yang terlibat dalam Piagam Madinah bersepakat mendapuknya sebagai kepala negara Madinah.
Dengan kata lain, dasarnya adalah kesepakatan bersama warga Madinah. Nabi begitu kukuh memegang kesepakatan yang tertuang dalam Konstitusi Madinah dan dengan tegas memberi sanksi pada para pelanggarnya, apa pun agamanya. Ketika ada satu kabilah yang Muslim melanggar Konstitusi Madinah, Nabi tak segan menghukum mereka.
Begitu juga terhadap beberapa kabilah Yahudi mengkhianati Konstitusi Madinah dengan perbuatan makar mereka, Nabi mengusir dan memerangi mereka. Itulah yang dilakukan Nabi terhadap kaum Yahudi Madinah dari Bani Nadzir, Bani Qainuqa’, dan Bani Quraidzah. Mereka masih terikat dengan kesepakatan Piagam Madinah, tapi mereka merongrongnya.
Penting untuk dicatat, pengusiran kaum Yahudi dari Madinah ini sama sekali bukan karena keyakinan agama mereka, bukan karena mereka non-Muslim. Buktinya, kalangan Yahudi dan non-Muslim lain yang loyal terhadap Piagam Madinah tetap hidup damai di Madinah. Kaum Yahudi Madinah diusir karena pengingkaran mereka terhadap kesepakatan yang mendasari berdirinya Negara Madinah.
NKRI sebagai Negara Kesepakatan
Sebagaimana Negara Madinah adalah Negara Kesepakatan, republik kita juga lahir sebagai hasil kesepakatan para pendirinya. Pancasila dipilih sebagai dasar negara karena dengan cara itulah kebhinnekaan terjaga. Ikatan politik yang mendasarinya bukanlah sentimen primordial, melainkan kesatuan sebagai bangsa. Sebagaimana Piagam Madinah menjadi titik temu yang menyatukan kaum Muslim dan Yahudi Madinah dalam persaudaraan keumatan, maka Pancasila menjadi titik temu yang menyatukan warga Muslim dan non-Muslim dalam persaudaraan kebangsaan.
Para tokoh Islam yang ikut dalam kesepakatan tersebut sebagai wakil umat Islam menyatakan setuju dengan negara kebangsaan tersebut ketimbang mendesakkan berlakunya Piagam Jakarta yang memberi mandat kepada negara untuk mewajibkan penerapan syariah pada pemeluknya. Dengan keputusannya itu, mereka selintas tampak tidak menerapkan syariah dalam bernegara. Tapi itu hanya lahiriahnya saja. Dari segi substansi, mereka justru menerapkan tujuan utama syariah, yakni merealisasikan kemaslahatan bersama yang notabene merupakan tujuan syariah.
Para tokoh Islam tersebut menyadari, tuntutan menegakkan dawlah Islamiyah atau khilafah dalam konteks Indonesia yang majemuk akan berujung pada perpecahan bangsa dan sektarianisme politiik yang justru bertentangan dengan prinsip maslahat.
Kesepakatan bersama yang mendasari Negara Pancasila termanifestasi dalam konstitusi RI. Konstitusi merupakan dokumen kontrak sosial yang mengikat semua pihak yang terlibat, langsung ataupun tidak langsung. Artinya, kontrak sosial tersebut juga mengikat warga negara yang lahir belakangan. Setiap warga negara harus memiliki kesetiaan terhadap konstitusi, karena konstitusi merupakan manifestasi dari perjanjian sosial seluruh warga negara.
Jadi, meskipun warga negara yang hidup pada masa sekarang tidak ikut merumuskan konstitusi, ia tetap harus loyal terhadapnya. Mengapa? Karena begitu seseorang menjadi warga negara dan memanfaatkan fasilitas dan infrastruktur negara, membayar pajak, menggunakan sertifikat tanah, akte kelahiran, KTP, SIM, surat nikah, paspor dan dokumen-dokumen negara lainnya, maka sesungguhnya itu mengekspresikan persetujuannya terhadap negara dan kesepakatan yang mendasarinya.
Dalam nomenklatur ilmu politik, persetujuan yang tak dinyatakan secara eksplisit ini dikenal dengan istilah “tacit consent.” Dengan kata lain, kewarganegaraan adalah penanda bagi persetujuan untuk terikat dengan kontrak sosial yang termaktub dalam konstitusi. Tentu saja kesepakatan bisa diubah, konstitusi bisa diamandemen, ditambah, atau dikurangi sesuai dengan kalkulasi kemaslahatan hidup yang dinamis. Namun, selama itu belum terjadi, maka warga negara harus menaati konstitusi yang ada.
Mengingkari Kesepakatan: Kontra Syariah
HTI berkeras menegakkan khilafah karena dalam pandangan mereka, penerapan syariah tidak akan lengkap dan sempurna tanpa berdirinya institusi kekhilafahan. Absurdnya, upaya mereka menerapkan syariah justru bertolak dari pelanggaran terhadap ajaran syariah itu sendiri.
Dalam pandangan Islam, menaati kesepakatan sama artinya dengan memenuhi janji yang wajib sifatnya. Pengingkaran sepihak terhadap kesepakatan adalah perbuatan yang sangat tercela. Al-Qur’an dengan tegas mewajibkan umatnya untuk menaati kesepakatan yang mereka buat, seperti dalam ayat “Penuhilah perjanjian kalian; sesungguhnya janji itu akan dituntut pertanggungjawabannya” (QS 17:34). Ayat yang senada bisa kita temukan pada QS 5:1, 2: 177, 16: 91, dan 13: 19.
Di samping itu, Nabi Muhammad juga bersabda, “umat Islam terikat dengan perjanjian yang mereka buat.” Karena itulah tatkala terlibat dalam kesepakatan, Nabi mewajibkan umatnya untuk menaatinya dan menindak tegas para pelanggar.
Patut dicatat, watak mengikat dari kesepakatan dan perjanjian ini tidak hanya berlaku antara sesama Muslim, melainkan juga antara pihak Muslim dan non-Muslim. Dengan demikian, bahkan kalau NKRI divonis sebagai negara kafir pun, sebagaimana yang sering dikampanyekan HTI, tak lantas warga negara Indonesia yang Muslim boleh seenaknya mengkhianati NKRI.
Dari sudut pandang hukum Islam, orang Islam yang tinggal dan menjadi warga negara di negara kafir tetaplah terikat kontrak dengan negara tersebut selama negara tersebut memberikan jaminan keamanan kepada Muslim. Dan patut diingat, kontrak dengan pihak non-Muslim punya kekuatan mengikat juga. Dengan begitu, jika ia merongrong konstitusi negara tersebut, maka ia sesunggunya menjadi pengkhianat kesepakatan. Di Indonesia, kaum Muslim mendapatkan jaminan keamanan penuh serta bebas menjalankan agamanya.
Ibnu Qudamah, ulama bermazhab Hanbali abad ke-6 H, menulis dalam magnum opus-nya Al Mughni: “Muslim yang tinggal di negara kaum kafir dalam keadaan aman haruslah mematuhi kontraknya terhadap negara tersebut, karena mereka memberikan jaminan keamanan semata-mata karena adanya kontrak bahwa si Muslim tidak akan berkhianat. Ketahuilah, pengkhianatan terhadap kontrak (ghadr) adalah tindakan yang dilarang dalam Islam. Nabi bersabda: “Al-muslimun ‘inda syuruthihim“ (Kaum Muslim terikat dengan perjanjian yang telah mereka sepakati)”
Senada dengan pendapat Ibnu Qudamah, Imam Al-Sarakhsi, ulama abad ke-5 H bermazhab Hanafi menyatakan dalam Kitab al-Mabsuth: “Sungguh tercela bagi seorang Muslim yang memohon keamanan dari (negara kafir) berdasarkan perjanjian, tapi lalu mengkhianatinya. Rasul berkata: “Siapa mengkhianati suatu kesepakatan, maka pada hari kiamat nanti, di tubuhnya dipasang bendera sehingga perbuatan khianatnya akan diketahui secara terbuka.” Artinya, bahkan seandainya klaim HTI yang memvonis NKRI sebagai negara kafir atau thaghut diterima, tak lantas kampanye khilafah HTI di NKRI bisa dibenarkan secara syar’i.
Ketaatan terhadap konstitusi hukumnya wajib secara syar’i, karena itu sama artinya dengan memenuhi kesepakatan, yang diwajibkan dalam Islam. Mempertentangakan antara ketaatan terhadap konstitusi dan ketaatan terhadap Kitab Allah adalah pandangan yang salah alamat, karena menaati konstitusi merupakan manifestasi dari menaati Kitab Allah.
Ini berarti kalangan Muslim Indonesia yang mengampanyekan khilafah atau negara Islam sejatinya telah melakukan pengingkaran sepihak terhadap kesepakatan bersama. Mereka mengkampanyekan penegakan syariah, tapi yang mereka lakukan justru melanggar syariah.
Kalau mereka memang konsisten dengan syariah, hanya ada dua opsi yang tersedia: menjadi warga negara yang mematuhi NKRI sebagai Negara Kesepakatan, atau tetap memperjuangkan khilafah tapi dengan syarat melepaskan kewarganegaraan Indonesia mereka. Mengampanyekan khilafah sambil tetap mempertahankan kewarganegaraan RI bukan hanya sebuah hipokrisi, tapi juga pelanggaran terhadap ajaran syariah yang justru mewajibkan Muslim untuk mematuhi kesepakatan.
Kalau terus dibiarkan, para perongrong Negara Kesepakatan akan menjadi benalu yang bisa mencekik mati NKRI sebagai pohon induknya. Sudah waktunya pemerintah bersikap tegas menindak para perongrong Negara Kesepakatan, sebagaimana Nabi Muhammad dulu juga bersikap tegas menghukum perongrong Negara Kesepakatan Madinah.
Kalau mereka ngotot dengan khilafah boleh-boleh saja, asalkan jangan di NKRI. Atau dalam bahasa mendiang Imam Besar Masjid Istiqlal KH. Mustofa Ya’qub, silakan pejuang khilafah untuk angkat kaki dari Indonesia.
Akhmad Sahal, Kandidat PhD, University of Pennsylvania, Amerika Serikat. Pengurus Cabang Istimewa NU Amerika.