Khilafah.id – Dalam dua tahun terakhir ini, BNPT dan Densus 88 berhasil membongkar jaringan Jamaah Islamiah (JI) yang ditandai dengan tertangkapnya seorang pemimpinnya, Para Wijayanto. JI adalah saingan Jamaah Ansharud Daulah (JAD) yang berafiliasi dengan ISIS. Sedangkan JI berafiliasi dengan Al-Qaeda. Lalu bagaimana dengan JI dan HTS?
Sebagaimana Al-Qaeda, JI mempunyai strategi yang lebih canggih dibanding JAD / ISIS. Al-Qaeda tidak pernah mendeklarasikan suatu khilafah, sehingga sulit dideteksi di mana pusat kendalinya. Jargon politik bersama yang dibangun yaitu pembebasan Al-Aqsha dari kekuasaan Zionis yang didukung AS / Barat. ISIS berbeda, karena mendeklarasikan khilafah pada 2014 dan menjadikan Iraq dan Syria pusat lokasi pemerintahan.
Ketika Iraq dan Syria jatuh ke tangan pasukan multinasional, maka struktur kekuasaan ISIS hancur dan sebelum tewas khalifah Al-Baghdadi memerintahkan pendukungnya berjuang di Afghanistan (Korasan). Khalifah pengganti Al Hashimi tinggal di Syria utara bahkan tidak jauh dari tempat tewasnya Al-Badhdadi yang berarti tetap mempertahankan pusat khilafah sebagai simbol kekuasaan.
Bandingkan dengan Al-Qaeda, sampai saat ini Aiman Al-Jawahiri dan bahkan calon kuat penggantinya Saif al-Islam (tangan kanan Osama) belum dideteksi keberadaannya. Al-Qaeda memiliki Organisasi bayangan yaitu Hayat Tahrir al-Syam (HTS) yang dipimpin Mohammad Al Golani yang beroperasi di Syria utara bergandengan dengan Syrian Demokratic Front (SDF).
HTS seolah bergerak sebagai badan perjuangan oposisi nasional melawan pemerintah Syria, sehingga tidak menjadi target dari AS / Barat dan Turki. Ada kemungkinan, AS / Barat membiarkan HTS dengan tujuan ganda, menekan Syria dan sekaligus menempatkan ISIS sebagai lawan bersama.
Selama ini, JI berafiliasi dengan Jabhah Al Nusroh yang saat ini berubah menjadi HTS. Hal ini berbeda dengan JAD yg bersekutu dengan ISIS yang kini belum jelas siapa khalifahnya yang baru. Keinginan Al Baghdadi sebelum tewas untuk memindahkan pusat ISIS ke Korasan dengan mengeksploitasi hadis akhir zaman sebagai argumentasi pendukung ternyata kurang berhasil. Sejauh ini ISIS Korasan kurang berkembang.
Sejak aksi 411 pada 2016, ada perubahan strategi JI di mana unsur-unsur JI memanfaatkan aksi sejuta umat di Monas dengan berbaur menjadi satu dengan masa dan hal itu jelas bisa diketahui dari pakaian , yel-yel dan lagu perjuangan yang dikumandangkan. Strategi atau taktik itu disebut dengan “ jihad kalimah “ atau “ Tafaul Ma’al Umat (Interaksi Sosial) “, dengan tujuan pokok mengecoh aparat keamanan dan sekaligus mencari simpati kaum muslim lainnya.
Adapun rekrutmen JI dilakukan secara selektif melalui proses panjang dan berjenjang guna mencegah penetrasi lawan. Kader dipilih dengan secara ketat dengan meneliti latar belakang keluarga dan diutamakan keluarga ex DI/NII dan lulusan lembaga pendidikan yang mereka kelola sendiri. JI juga sangat jeli dalam membangun cover atau penyamaran misalnya berbaur ke dalam ormas Islam lain yang memungkinkan. Sedangkan JAD / ISIS dengan mengambil jarak dengan ormas lain dan terus melakukan aksi terorisme.
Jelas JI mempunyai strategi jangka panjang dan bergerak di bawah permukaan, membangun kekuatan ekonomi / logistik, jaringan nasional dan internasional termasuk filantropi serta menyiapkan kader dengan mengikuti pendidikan / pelatihan di dalam dan luar negeri. Dengan demikian ada kemungkinan JI akan mengirimkan kadernya ke Syria utara untuk berlatih dengan HTS guna memberikan pengalaman militer / terorisme di lapangan.
Sepanjang pengamatan saya Densus 88 dan BNP telah bertindak dalam jalur yang benar dalam menindak dan mempersempit ruang gerak tetoris. Namun hal yang perlu dihindari adalah timbulnya stigma seolah-olah pesantren menjadi “ sarang teroris”, karena itu menjadi persoalan politik tersendiri seolah menyudutkan Islam. Hanya pesantren tertentu dan jumlahnya bisa dihitung dengan jari yang terkait dengan terorisme dan hal itu relatif mudah diidentifikasi.
KH. As’ad Said Ali, Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (2001), Wakil Ketua Umum PBNU (2010-2015).