Khilafah.id – Dalam hukum pidana Islam, sangat penting untuk menciptakan perlindungan bagi setiap individu. Hukum pidana Islam dan HAM seringkali saling bertentangan sebagai dua hal yang tidak selaras. dimana hukum Islam selalu dipersepsikan sebagai aturan hukum yang mutlak dan kebenarannya tidak dapat disangkal karena berasal dari Tuhan.
Dalam Syariah atau Fiqh, hukum pidana Islam sering disebut dengan Jinayah atau Jarimah. Namun, sebagian ulama membedakan keduanya, dengan jarimah lebih umum untuk semua jenis pelanggaran Islam dan jinayah mengacu pada pelanggaran yang melibatkan anggota badan. Secara umum, hukum pidana Islam mengacu pada qishas, hudud dan ta’zir.
Qishas adalah hukuman yang diberikan kepada pelaku kejahatan menurut dan sebanding dengan apa yang telah dilakukan. Misalnya, pembunuh dihukum dengan hukuman mati. Hudud adalah kejahatan yang hukumannya telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Hadist.
Misalnya, rajam dalam hal ini adalah hukuman mati dengan cara dirajam, atau setara dengan hukuman mati bagi orang yang sudah menikah yang melakukan perzinahan. Mengenai ta’zir, Dzazuli menyebutkan bahwa ta’zir adalah hukuman berdasarkan ijtihad karena tidak dijelaskan dalam Al-Qur’an atau Hadits.
Dilihat dalam konteks Indonesia, hak untuk hidup secara tegas disebutkan dalam Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya Bab XA 28A, yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup dan kehidupannya. Juga dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 9 Ayat 1, yang menyatakan: “Setiap manusia berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf hidupnya.” Deklarasi tersebut memperjelas bahwa hak untuk hidup dalam keadaan apa pun tidak dapat dicabut, ditunda atau dibatasi atau diketahui sebagai hak utama.
Pasal 28 I Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga mengatur bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak Diakui sebagai pribadi di hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut secara retrospektif berdasarkan hukum adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dibatasi oleh siapapun dalam keadaan apapun.
Dalam konteks hak asasi manusia, sering dikatakan bahwa qishas dan rajam merampas hak paling dasar manusia, yaitu hak untuk hidup. Penerapan hukum qishas dan rajam dipandang sebagai aspek interaksi sosial manusia dan dipandang hanya untuk memenuhi perintah Allah. Para ahli hukum Islam (fuqoha) secara harfiah menerjemahkan azab qishas seperti yang tertulis dalam QS. Al-Baqarah 178-179 dan QS. Al-Maidah 38 dan 45 sebagai hukuman mati bagi pelaku pembunuhan.
Seorang penafsir ayat Al-Ahkam, Ali As-Sayis, menafsirkan bahwa hukuman mati terkait qishas dapat dibatalkan jika ada permintaan maaf dari keluarga korban dan mereka dijatuhi hukuman ta’zir atau sesuai ijtihad hakim. Sementara itu, Imam Syafi’i menyatakan bahwa hukuman mati adalah pilihan bagi keluarga korban, apakah mereka memilih hukuman mati atau membayar diyat 100 ekor unta.
Rajam sering didasarkan pada Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari, yang dapat dipahami sebagai bentuk hukuman bagi pezina yang sudah menikah atau yang sudah menikah. Namun, Sayyid Sabiq memiliki pendapat berbeda tentang rajam. Menurutnya, rajam adalah bentuk hukuman mati, tetapi bukan dengan dilempari batu.
Dalam konteks modern, bentuk sanksi seperti ini harus dipahami secara kontekstual, karena peristiwa itu terjadi ketika ayat tentangnya diturunkan dan kemudian disesuaikan dengan masa kini dalam konteks waktu saat ini.Misalnya, rajam adalah kebiasaan orang Arab dan Yahudi Jahiliyah yang dikontekstualisasikan dalam hukum Islam. Hukum potong tangan bersifat kontekstual seperti yang berlaku dalam masyarakat Arab, yang hidup dalam sistem suku dan nomaden dimana bentuk pemenjaraan tidak dapat diwujudkan.
Begitu pula ketika terjadi kasus pembunuhan antar suku Arab, qishas dipandang sebagai solusi, yang tujuannya adalah untuk mengontrol perdamaian antarsuku demi tercapainya perdamaian. An-Naim berpendapat bahwa hukuman mati tidak didasarkan pada Alquran tetapi diriwayatkan dari kehidupan Nabi dan sejarah kehidupan budaya lokal pada saat itu. Di sini orang dapat melihat bahwa ada konteks budaya dalam turunnya ayat-ayat Al-Qur’an tersebut.
Raka Putra, Mahasiswa.