Khilafah.id – Pada awal abad 8 H/14 M, dinasti Mongol yang ingin menguasai dan merebut kekhalifahan Islam kala itu, memeluk Islam. Meski telah memeluk Islam, mereka tetap mengancam untuk meluluh lantakkan Mesir dan Syria, bahkan tak segan membantai umat Islam. Itulah mengapa kemudian Ibnu Taimiyyah menilai bahwa keislaman mereka hanyalah pura-pura, mereka masih berulah laiknya Jengis Khan, bahkan lebih kejam. Dalam akidah mereka masih meyakini Jengis Khan adalah anak Tuhan, atau setidaknya setera dengan Rasulullah s.a.w. (Hoover 2016).
Ibnu Taimiyyah menganggap keislaman mereka sebatas untuk mengelabuhi umat Islam agar lebih lembut dan ‘bingung’ menghadapi Mongol, lalu dengan mudah menguasai mereka. Karena mayoritas ulama sepakat haramnya membunuh dan memerangi sesama muslim. Demikianlah konteks sejarah dan politik yang menyertai fatwa anti-Mongol Ibnu Taimiyyah (Majmū‘ Fatāwā Jilid 28) yang kemudian hari, hingga saat ini digunakan oleh para jihadis untuk landasan aksi teror mereka; dari Abd al-Salām Farrāj, Osama bin Laden, juga Ali belHajj (Y. Michot 2005). Karena melepas konteks inilah, mereka secara mutlak salah faham atas fatwa-fatwa Ibnu Taimiyyah.
Ibnu Taimiyyah Takfiri (?)
Dalam fatwa anti-Mongol, Ibnu Taimiyyah menegaskan bahwa bangsa Mongol memeluk Islam untuk kepentingan politik, agar lebih mudah menjajah Syria dan Mesir. Menurut Ibnu Taimiyyah, mereka adalah khārijī (kafir), yang sudah keluar dari Islam dan bagi umat Islam wajib berjihad melawan kedzaliman mereka (Maihula 2021). Jadi, sejatinya bukan karena Islamnya yang tak kāffah, bukan karena madzhab Syi’ah yang mereka anut oleh beberapa pembesarnya, tapi lebih kepada pembantaian keji mereka terhadap muslim Syria yang melebihi kekejaman para pendahulunya.
Hal ini ditegaskan dengan kesetiaan dan ketaatan penuh Ibnu Taimiyyah kepada kekhalifahan Mamluk -penguasa daerah-daerah Muslim saat itu- yang menurutnya juga tidak adil, dzalim, dan tak sepenuhnya menegakkan hukum Islam. Fatwa yang ia keluarkan tentang kekufuran Mongol diterapkan dengan (sengaja?) salah oleh para jihadis yang menganggap pemerintah manapun (karena tidak sehaluan dengan mereka) sama seperti gambaran Mongol di masa Ibnu Taimiyyah.
Padahal, yang dibidik Ibnu Taimiyyah adalah penjajahan dan kekejaman Mongol, bukan agamanya, bukan pula aliran yang dianutnya (Aigle, 2015; Michot, 2006; Maihula, 2021). Ketaatan kepada Mamluk adalah mutlak, karena ini adalah prinsip dasar Syariah: “kamu tidak boleh memberontak dan melakukan makar terhadap pemimpinmu, karena para Sahabat telah memberi teladan ketaatan: kami akan taat, meski kami tidak suka.”
Osama bin Laden dan Abdullah Farraj, keduanya sepakat bila penguasa muslim yang menerapkan hukum Barat, seperti bangsa Mongol yang digambarkan oleh ulama yang menjadi rujukan muslim Salafi. Para Islamis sepertinya kebingungan dengan kebijakan internal dan eksternal mereka. Mongol bukanlah pemimpin sah, mereka datang untuk menjajah. Dan melawan penjajah bukanlah upaya makar dan pemberontakan. Ibnu Taimiyyah mendukung dan melawan penjajah, bukan melawan pemerintah yang sah.
Kekerasan bukan Solusi
Untuk menguatkan argumentasinya Ibnu Taimiyyah mengatakan: “60 tahun berada dibawah pemerintah yang tak adil lebih baik dari satu malam tanpa pemimpin. Ini adalah ijmā‘ salaf. Karena di kala perang kita mulai, kita bisa memulainya tapi tak akan pernah tahu kapan perang usai” (Majmū‘ Fatāwā Jilid 28). Hal ini sangat relevan dengan kondisi konflik berkepanjangan di Negara-Negara Timur-Tengah hingga saat ini. Bila kita menganggap dengan perang bisa menghentikan kejahatan, tapi faktanya harus disadari, konsekwensi keburukannya lebih besar dari maslahatnya.
Bukankah Mūsā dan Hārūn yang menghadapi kedzaliman Fir’aun yang keji, tetap saja mendatanginya dengan baik-baik, bukan datang untuk memberontak, menantang dan berperang. Bahkan al-Qur’an merekamnya dengan jelas, “Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir‘aun) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut”. (Q.S. Ṭāhā 20:44).
Nabi Yūsuf juga dengan profesional menjadi menteri Fir’aun di zamannya untuk menanggulangi panceklik berkepanjangan saat itu. Dua contoh diatas menandakan bila Ibnu Taimiyyah sejatinya sangat moderat dan toleran dalam melihat perbedaan, bukan hanya pendapatnya pribadi, tapi ia kuatkan dengan dalil ṣarīḥ dari al-Qur’ān.
Ibnu Taimiyyah menambahkan: “Kamu tidak akan bisa membenahi akhlak dan moral bila dampak negatif dari perang lebih besar dari kebaikannya.” Hal ini jelas-jelas menegaskan betapa kepentingan umat; kemaslahatan dan persatuan mejadi prioritas utama ulama yang hidup di masa Jengis Khan. “pilihlah yang mudharatnya lebih kecil” imbuhnya (Y. M. Michot 2012).
Pragmatisme politik ala Ibn Taymiyyah ini mendorong keterlibatan konstruktif-positif Muslim dalam masyarakat non-Muslim. Tapi tetap, pragmatisme yang berprinsip; dipandu oleh al-Qur‘ān dan Sunnah.
Hamdan Maghribi, Dosen Akhlak dan Tasawuf IAIN Surakarta.