Khilafah.id – Bagaimana kita merespons ide khilafah adalah cara sederhana untuk menguji seberapa berkualitas demokrasi kita. Baru-baru ini, Barisan Serbaguna (Banser), sayap pemuda Nahdlatul Ulama (NU), minta polisi membubarkan kegiatan Muktamar Tokoh Umat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di Jember, Jawa Timur. Mereka menilai HTI sedang menyebarkan gagasan yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Apakah sistem demokrasi memiliki wadah untuk menampung ide khilafah, yang bahkan dikampanyekan untuk menggantikannya? Bagaimana seharusnya negara demokratis memperlakukan para pengusung ide tersebut?
Khilafah
Khilafah adalah sebutan bagi sistem pemerintahan pasca Nabi Muhammad SAW wafat. Sebutan ini berlangsung berabad-abad hingga Mustafa Kemal Attaturk membubarkannya pada 1924 di Turki. Sejak saat itu, khilafah menjadi jargon bersama para pendukungnya.
Khilafah seringkali setarikan nafas dengan kata syariah Islam. Sistem khilafah hanya berdiri di atas ketentuan dan hukum berdasarkan syariah Islam. Rujukan utama sistem hukum ini Al-Qur’an dan Hadits. Tidak perlu kita perdebatkan di sini, hukum yang mana, tafsir siapa dan bagaimana implementasinya. Singkat kata, khilafah dicita-citakan menjadi sistem politik yang manaungi kepentingan umat Islam secara internasional.
Bagi Hizbut Tahrir, khilafah akan dicapai melalui tiga tahap: kultural, interaksi, dan revolusi. Pada tahap kultural, mereka akan menyebarluaskan gagasan khilafah kepada seluruh lapisan masyarakat, kaum Muslim khususnya, dengan beragam cara. Diskusi, ceramah, penerbitan, dan lainnya.
Gagasan mengenai khilafah sebetulnya tidak hanya diusung HT, termasuk HT di Indonesia. Pada tingkat tertentu gerakan tarbiyyah yang condong ke Ikhwanul Muslimun, juga mencita-citakan negara Islam, meski namanya bukan khilafah. Mereka sama-sama mendambakan pemerintahan yang merujuk Al-Quran dan Sunnah. Bedanya, gerakan tarbiyah percaya pada demokrasi sebagai jalan untuk menegakkan negara Islam. Sementara itu, HT menolak mentah-mentah. Bagi mereka demokrasi adalah produk Barat. Titik.
Selain kedua gerakan tersebut, Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) malah sudah mendeklarasikan Abu Bakr al-Baghdadi sebagai khalifah. Mereka mengklaim negara khilafah telah ditegakkan di Syiria. Sejumlah hukum Islam telah mereka terapkan. Perempuan yang keluar rumah dengan pakaian selain warna hitam dihukum mati. Orang yang diduga LGBT dilempar dari atap gedung. Tentara musuh dibakar hidup-hidup. Diakui atau tidak, semua keputusan tersebut dilakukan merujuk dalil dalam Al-Qur’an dan atau Hadits.
Dengan demikian, khilafah yang seringkali sudah seperti obat apa pun jenis penyakitnya tidak tunggal. Ada khilafah model HTI, ada model gerakan tarbiyah dan tafsiran khilafah ala ISIS. Jika dilihat dari berita yang kita terima, khilafah yang dipraktikkan ISIS sebetulnya paling brutal. Tidak heran jika sejumlah pihak, termasuk HTI, segera merespons bahwa ISIS bukan representasi Islam.
Terlepas dari debat sesama pengusungnya, khilafah persis hendak mengganti sistem kita bernegara, yakni demokrasi. Dalam khilafah tidak ada penyusunan hukum oleh representasi warga, apa pun latar belakanganya. Khilafah akan mengganti hukum yang ada dengan hukum berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, entah tafsir siapa dan yang mana. Non-Muslim atau non- teis sudah pasti tidak akan terwakili dalam hukum ini.
Sistem khilafah sudah pasti akan mengganti tata cara pemilihan kepala negara. Dalam sistem ini tidak ada pemilihan langsung presiden dengan perangkat kampanye, lembaga survei tak akan jalan, tidak akan ada tim sukses yang massif. Syaratnya juga terbatas: Muslim, laki-laki, balig, berakal, merdeka, dan adil.
Selain itu, mereka juga menyebut kuasa di tangan rakyat (umat), mirip jargon demokrasi, tapi penetapan seorang khalifah dilakukan melalui mahkamah tertinggi, yang mereka sebut alh hall wa al-aqd.
Singkat kata, sistem ini ingin meruntuhkan demokrasi dan menggantinya dengan sistem khilafah, yang tidak cukup jelas mekanismenya. Lalu, bagaimana negara demokratis seharusnya bersikap?
Kriteria Demokrasi
Secara umum kita bisa bagi, tanpa niat simplifikasi, teori demokrasi menjadi dua aliran besar: teori klasik dan penerusnya. Pada teori klasik, kata kunci untuk demokrasi adalah kehendak rakyat; kebaikan bersama dan kebajikan publik. Demokrasi menurut teori ini dilihat dari segi tujuan. Sistem demokrasi tidak akan berjalan dengan baik apabila dalam penyelenggaranya tidak menjiwai prinsip-prinsip demokrasi yang tujuan akhirnya untuk kebaikan bersama.
Teori ini dikoreksi pemikir setelahnya, khususnya Joseph Schumpeter melalui bukunya Capitalism, Socialism and Democracy (1942). Menurut Schumpeter, apa yang menjadi tujuan demokrasi pada dasarnya adalah hasil dari proses politik. Metode, mekanisme, dan tata cara yang perlu diperhatikan dalam proses berdemokrasi. Teori demokrasi ala Schumpeter, karenanya, lebih empiris dan operasional.
Meneruskan gagasan tersebut, Larry Diamond, Juan J Linz, dan Saymour M. Lipset menyebutkan tiga kriteria pokok demokrasi. Pertama, kompetisi. Sistem bernegara disebut demokratis jika setiap warga negara dan atau organisasi warga berkompetisi memperebutkan jabatan publik secara regular dan bebas dari paksaan.
Kedua, partisipasi. Negara demokratis mensyaratkan keterlibatan sebanyak mungkin warga negara dalam proses pemilihan umum atau penentuan kebijakan publik. Keterlibatan ini perlu ditekankan untuk menunjukkan bahwa tidak ada satu pun warga negara yang dikecualikan. Semua warga negara berhak ikut serta dalam proses demokrasi.
Terakhir, kebebasan sipil dan politik. Negara demokrasi ditandai oleh kebabasan warganya berbicara, berekspresi, berorganisasi, berserikat tanpa rasa takut. Mereka mendapatkan hak untuk beragama dan berkeyakinan sesauai dengan hati nurani. Mereka bebas memilih partai politik mana pun sebagai kendaraan untuk menyalurkan kepentingannya.
Berkaca pada prinsip dasar tersebut, negara yang menerapkan prinsip demokrasi akan selalu memberi ruang kepada pengusung ide khilafah, bahkan mereka yang “berpandangan” semodel genderewo sekalipun. Karenanya, kita tidak heran bila hanya di negara demokratis organisasi semacam HT (termasuk di Indonesia) bisa tumbuh pesat. Berapa banyak anggota HTI di Arab Saudi, misalnya? Bandingkan jumlah tersebut dengan pendukungnya di Indonesia, negara Muslim yang demokratis ini.
Sikap Seorang Demokrat
Ide membubarkan organisasi HTI atau menggagalkan Muktamar HTI atau menghentikan forum seperti yang dilakukan Banser di Jember karenanya menunjukkan sikap tak demokratis. Malah, sikap tersebut cenderung mirip dengan petinggi HTI dan pengusung khilafah lainnya ketika hendak membubarkan kelompok LGBT, Ahmadiyah, atau belakangan Syiah.
Ismail Yusanto, misalnya, adalah orang yang tidak puas dengan surat keputusan bersama (SKB) pemerintah terhadap Ahmadiyah. Dia menginginkan Ahmadiyah bubar. Inilah gaya pengusung sistem khilafah, yang senada dengan mereka yang hendak membubarkan HT.
Sikap seorang demokrat akan selalu membuka ruang debat dan diskusi, wacana lawan wacana, tulisan lawan tulisan. Setiap ide mungkin dikontestasikan di parlemen untuk kemudian menjadi kebijakan. Setiap gagasan boleh jadi dikampanyekan melalui pemilu untuk meraih dukungan masyarakat. Selama itu berupa gagasan, seorang demokrat sejati akan membuka pintu untuk berdebat dengan para pengkritiknya.
Lain halnya jika para pengusung khilafah mengkampanyekan gagasannya dengan cara memaksa atau terlebih kekerasan. Negara demokratis tidak boleh membiarkan organisasi semacam ISIS tumbuh berkembang di Indonesia, misalnya. Sebab, mereka memakai kekerasan sebagai cara meraih dukungan. Mereka angkat senjata untuk mencapai apa yang mereka cita-citakan.
Begitu juga dengan HTI. Pihak keamanan tidak boleh membiarkan apabila mereka sudah masuk ke tahap perencanaan penggulingan kekuasaan atas nama penegakan khilafah yang tidak melalui jalur politik yang ada, yakni demokrasi.
Adalah sah untuk bersikap kontra terhadap pemikiran yang mengusung gagasan khilafah. Namun, amat berlebihan bila meminta polisi membubarkan paksa kegiatan mereka. Sama buruknya dengan sikap HTI ketika meminta kegiatan Ahmadiyah dibubarkan, kegiatan LGBT diberhentikan, atau kegiatan Syiah dibatalkan.
Meski demikian, saya setuju, kita harus selalu waspada dan menjalin kerja sama dengan pihak kepolisian untuk mengawasi kemungkinan tindakan makar dan kekerasan lainnya. Apa pun alasannya, kekerasan harus dicegah sedari dini.
Husni Mubarok, Peneliti Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina, Jakarta. Graduate Student Center for Religious and cross-Cultural Studies (CRCS), UGM. Beberapa hasil risetnya terbit dalam “Kontroversi Gereja di Jakarta” (2011) dan “Pemolisian Konflik Keagamaan di Indonesia” (2014).