Khilafah.id – Pembunuhan Pemimpin Al-Qaeda, Ayman al-Zawahiri oleh Amerika Serikat melalui serangan ‘drone ninja’ jadi pembicaraan di seluruh dunia. Operasi yang dilakukan atas persetujuan Presiden AS, Joe Biden pada tersebut dianggap berhasil memukul telak Al-Qaeda setelah berhasil membunuh pendahulu al-Zawahiri, Osama bin Laden, satu dasawarsa silam. “Keadilan telah ditegakkan dan pemimpin teroris ini tidak ada lagi,” ujar Biden dengan bangga.
Al-Zawahiri sendiri merupakan salah satu tokoh pusat dari serangan 11 September 2001 di AS yang menewaskan hampir 3.000 orang. Lalu, apakah tewasnya al-Zawahiri dapat membuat Al-Qaeda menjadi semakin bengis dan menjadi ancaman global termasuk Indonesia?
Profesor kajian Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Yon Machmudi, menilai Al-Qaeda menjadi semakin kecil. Serangannya pun, menurutnya, tidak lagi memiliki dampak yang signifikan, dan ke depan justru serangan-serangan yang dilakukan oleh Al-Qaeda akan semakin mengecil. Jaringan mereka sudah terputus karena sosok yang menjadi inspirator dan simbol perlawanan telah terbunuh, sehingga tak ada indikator untuk dikatakan bahwa Al-Qaeda akan ganas kembali.
Dalam pandangan Yon, Al-Qaeda saat ini sudah sangat lemah, dan mobilitas para pemimpin mereka juga terbatas sehingga aksi terorisme kelompok itu semakin tidak punya peluang. Pendapat yang mirip juga disampaikan pengamat hubungan internasional dari Universitas Muhammadiyah Riau, Fahmi Salsabila. Menurutnya, Al-Qaeda bakal melakukan serangan balasan dengan menargetkan kepentingan-kepentingan AS di berbagai wilayah, sekalipun kekuatan Al-Qaeda memang melemah.
“Al Qaeda terus bergerak walaupun tidak sekuat dulu dan terus dihabisi oleh AS dan sekutunya,” ujar Fahmi, Selasa (2/8) kemarin, seperti dilansir CNN Indonesia.
Mengapa ancaman Al-Qaeda di Indonesia mesti dipikirkan? Ada dua alasan. Pertama, Indonesia merupakan negara netral blok yang justru dekat dengan berbagai pihak. Kepentingan AS di Indonesia juga tidak sedikit, dan masyarakat AS yang berkunjung sebagai pelancong sangat banyak. Terdapat peluang bahwa para mujahidin Al-Qaeda akan balas dendam dengan meneror di Indonesia. Sebab, Al-Qaeda tak punya basis kekuatan melawan AS langsung—mereka membalas dengan menerornya.
Kedua, di Indonesia sendiri, afiliasi Al-Qaeda juga masih eksis. Pada Selasa (2/8) kemarin, Densus 88 Polri menangkap seorang teroris di Magetan, Jawa Timur, yang berafiliasi dengan Jama’ah Islamiyah (JI)—kelompok teror lokal yang beraliansi dengan Al-Qaeda. Tersangka berinisial RY alias D pernah mengikuti seleksi anggota Hubungan Internasional JI pada 2013 dan melakukan perjalanan ke Suriah melalui Dubai.
Di JI, tersangka RY sering berkunjung ke Suriah melalui Istanbul untuk membangun hubungan dengan Jabhat Al-Nusra, salah satu jejaring Al-Qaeda. Ia juga mempunyai koneksi langsung ke Yaman dalam membuka jalur hubungan JI dengan Al-Qaeda untuk melakukan pelatihan di Suriah. Menurut keterangan kepolisian, RY juga pernah berkomunikasi dengan Dulmatin—salah satu teroris paling dicari yang kepalanya dihargai USD 10 juta oleh AS—di Magetan.
Artinya apa? Indonesia berada dalam bayangan ancaman Al-Qaeda secara langsung melalui organisasi teroris lokal yang berafiliasi dengan mereka. Dengan demikian, kewaspadaan diri melalui deteksi dini aksi terorisme merupaka keharusan yang tidak bisa ditawar. Dua alasan di atas sangat cukup sebagai indikator bahwa sekecil dan selemah apa pun Al-Qaeda dalam pandangan pengamat terorisme, bayangan ancaman tersebut tidak bisa disepelekan. Sangat berbahaya.
Prinsipnya, terorisme tidak pernah mati. Al-Qaeda tidak akan pernah musnah. Para simpatisannya di mana pun berada akan menunggu momentum untuk balas dendam kepada AS dan seluruh penduduknya. Di Indonesia yang kerap kali jadi objek wisata teroris, bayang-bayang balas dendam Al-Qaeda tersebut sangat jelas. Oleh karena itu, analisis terhadap masa depan Al-Qaeda tidak cukup berkutat pada kekuatan organisasi belaka, melainkan juga militansi internasional Al-Qaeda itu sendiri.
Nasib Indonesia yang berada dalam bayangan ancaman Al-Qaeda bergantung pada dua hal. Pertama, kesiapsiagaan nasional, dengan menciptakan kerja integrasi seluruh elemen masyarakat untuk menangkal terorisme dan melaporkan apa pun yang terindikasi sebagai ancaman aksi terorisme.
Kedua, kontra-terorisme dengan kontinu yang diorientasikan pada pencegahan serta penanggulangan radikalisme-terorisme. Intinya, terorisme sebagai musuh utama dan ancaman besar bagi negara harus disadari seluruh pihak untuk kemudian sama-sama menjadi antisipasi nasional.
*Artikel ini merupakan muat ulang dari Editorial Harakatuna