Inilah Alasan-alasan Mengapa Para Aktivis Khilafah Harus Banyak Menuntut Ilmu

Aktivis Khilafah

Khilafah.id – Sekitar tahun lalu, nama seorang sejarawan asal Inggris, Peter Carey, penulis sejarah modern Indonesia, dicatut dalam sebuah diskusi launching film “Jejak Khilafah di Nusantara”. Peter Carey dalam beberapa media, sudah membantah bahwa ia tidak pernah terlibat. Bahkan panitia acara tidak pernah menghubungi sebelumnya. Namun tiba-tiba, namanya sudah ada dalam pamflet diskusi yang diisi oleh para petinggi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) seperti Ismail Yusanto, Felix Siauw, Nicko Pandawa, dan Rokhmat S. Labib.

Secara konsep, gagasan Khilafah sudah kalah telak dibantai dan dikritik, mulai dari logika, ajaran, hingga fakta sejarah Islam. Namun, dalam kebebasan berekspresi, demokrasi yang mereka kafirkan sendiri, tetap menjamin aktivis Khilafah bisa terus membuat narasi di manapun dan dengan cara apapun, termasuk membuat film. Walaupun nantinya datang juga kritik yang merontokkan semua narasi itu.

Menurut saya, sudahlah, semua usaha untuk mendirikan Khilafah itu akan sia-sia saja. Karena dalam sejarah Indonesia, gerakan seperti ini tidak pernah berhasil. Sebutlah misalnya gerakan kelompok Darul Islam/ Negara Islam Indonesia (DI/NII) tahun 1949, telah tenggelam dalam pojok-pojok sejarah. Karena Indonesia ini, dengan sistem dan bentuknya yang sekarang adalah hasil kesepakatan para ulama bersama tokoh-tokoh bangsa, yang sah secara Islam.

Lebih baik para aktivis Khilafah lebih mengutamakan mendalami ilmu agama. Belajar terlebih dahulu mulai bab thaharah (bersuci), salat, dan zakat. Belajar Islam secara bertahap, sistematis, dan mendalam. Bukan seperti yang terjadi sekarang, ada yang baru kemarin kenal Islam, sudah bicara Khilafah, jauh melompat ke bab politik. Padahal ada yang bacaaan al-Qurannya masih blepotan. Ini adalah sebuah ironi. Lalu kenapa ilmu yang harus diutamakan?

Islam, selain Din al-Aqidah wa Syari’ah, agama akidah dan syari’ah, adalah Din al-‘Ilmi wa Tsaqafah, agama ilmu dan kebudayaan, Din al Adab wa al-Hadharah, agama sastra dan peradaban, Din al-‘Ilmi wa al-Madaniyah, agama ilmu dan peradaban urban. Ini yang menjadikan Islam diterima dimana-mana hingga sampai ke bumi nusantara. Peradaban Islam yang mengagumkan dan menginsirasi kemajuan Barat saat ini, berkat faktor kemajuan ilmu pengetahuan dan kebudayaan tersebut.

Kemajuan Islam bukan karena perkembangan sistem politiknya. karena sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW, Islam tidak terlepas dari kepentingan politik dan agenda kekuasaan. Terjadi perbedaan politik antara para sahabat yang menimbulkan perang Jamal, Shiffin, hingga berlanjut ke masa-masa kegelapan khilafah Umayyah, Abbasiyah, dan Turki Utsmani. Hal ini selanjutnya berpengaruh pada perbedaan paham agama. Sebut saja sekte-sekte akidah seperti Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, Ahlussunnah, dan seterusnya. Pokoknya, keadaan umat Islam pada masa-masa awal sejak ditinggal Nabi SAW, dipenuhi urusan politik dan kekuasaan.

Untungnya, ada sebagian sahabat Nabi yang menjauhi urusan politik dan memilih fokus mengembangkan ilmu pengetahuan, seperti sahabat Abdullah bin Abbas (w. 68 H), Abdullah bin Umar (w. 72/73 H), Abdullah bin Mas’ud (w. 32 H), dan seterusnya. Berlanjut pada generasi selanjutnya yang melahirkan Imam Hasan al-Basri (w. 110 H), Sufyan ats-Tsauri (161 H), Fudhail bin Iyad (w. 187 H), dan seterusnya.

Dalam bidang tafsir muncul nama Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H), Al-Qurthubi (w. 671 H), Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H), az-Zamakhsyari (w. 538 H). Dalam bidang hadis kita mengenal Imam Bukhari (w. 256 H), Muslim (w. 261 H), Tirmidzi (w. 279 H), dan seterusnya. Dalam bidang fiqh kita mengenal nama-nama Imam Abu Hanifah (w. 150 H), Imam Malik (w. 179 H), Imam Syafi’i (w. 204 H), dan Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H).

Maka yang membangun peradaban bukanlah politikus, tapi para ulama dan cendikiawan. Seandainya tidak ada model-model seperti para ulama yang disebutkan diatas, niscaya Islam hadir tanpa Ilmu, niscaya Islam hanya semata politik dan kekuasaan.

Islam sangat mengutamakan ilmu di atas segala-galanya. Allah SWT berfirman secara khusus, hanya orang-orang berilmulah yang takut kepada-Nya (QS Fathir: 28). Nabi SAW juga bersabda “Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap individu muslim”. karenanya, semua ulama sepakat bahwa ilmu adalah prioritas utama.

Imam Al-Ghazali dalam kitab Minhaj al-Abidin, dalam menjelaskan bagaimana menjadi muslim yang baik, menempatkan ilmu sebagai tahap pertama. Ilmu lebih utama daripada ibadah. Karena ilmu adalah poros segala urusan, ilmu-lah yang menuntun seseorang bagaimana melakukan ibadah dengan benar.

Sejalan dengan ini, syekh Yusuf al-Qardhawi dalam kitabnya, Fiqh al aulawiyyat, mengatakan, yang mesti diprioritaskan menurut syari’at adalah mendahulukan ilmu daripada ibadah. Sayyidina Muadz bin Jabal mengatakan, “ العلم امام العمل والعمل تابعه”, “ilmu adalah imam dan amal adalah pengikutnya”. Karena itulah Imam Al-Bukhari meletakkan bab ilmu sebagai pembuka kitab hadisnya. Sebab ilmu adalah syarat sahnya (diterima) ucapan dan amalan. Keduanya tidak dianggap manakala dilakukan tanpa ilmu.

Makanya, jika kita membaca kitab-kitab sejarah para ulama, dipenuhi dengan kisah dan perjuangan mereka dalam menuntut ilmu. Jarang ditemui, bahkan tidak ada ulama melibatkan dirinya ke urusan politik dan bernafsu kekuasaan.

Namun, fenomena hari ini memperlihatkan hal-hal yang sebaliknya. Ilmu yang seharusnya dijadikan prioritas dan kesibukan kaum muslimin, terpinggirkan. Kajian tafsir, hadis, dan fiqh secara mendalam, berguru kepada ulama-ulama yang ahli, semakin diabaikan. Orang-orang malah tertarik bicara hal-hal yang sebenarnya tidak prioritas dalam Islam seperti bicara Khilafah, sibuk mengurus bid’ah, dan tetek bengek lainnya.

Saya justru khawatir, saat ramainya fenomena umat Islam, di mana bicaranya sudah melambung tinggi, seperti ingin mendirikan Khilafah, namun tidak paham al-Qur’an, belum mengerti hukum-hukum Islam, tidak tahu hukum waris, buta sejarah Islam dan seterusnya. Sehingga menjadi benar apa yang disabdakan oleh Nabi SAW, “Akan datang suatu zaman di mana tidak tersisa dari Islam, kecuali tinggal namanya saja, tidak tersisa dari al-Quran kecuali tinggal tulisannya saja, masjid-masjid mereka megah dan semarak, tetapi jauh dari petunjuk Allah, ulama-ulama mereka menjadi manusia- manusia paling jahat yang hidup di bawah kolong langit, dari mulut mereka ke luar fitnah dan akan kembali kepada mereka.” (HR Baihaqi).

Walhasil, yang perlu kita lakukan adalah memperdalam ilmu agama dan menjadi muslim yang baik. Manakala umat Islam sudah menjadi muslim yang baik, dengan sendirinya segala keadaan menjadi baik. Sebagaimana perkataan Syaikh Hasan Al-Hudhoibi, Mursyid Jamaah Ikhwanul Muslimin yang ke dua, أقيموا دولة الاسلام في قلوبكم تقم لكم على أرضكم “Tegakkanlah negara Islam dalam hati-hati kalian, niscaya akan tegak negara Islam di bumi kalian”. Maksudnya, perbaiki dulu kualitas keislaman masing-masing, niscaya Islam dan hukum-hukumnya akan tegak dengan sendirinya.

Percuma, punya negara Islam, misalnya, namun pemeluknya masih banyak yang tidak paham dengan ajaran Islam itu sendiri. Ini sama saja, punya rumah besar, tapi tidak ada isinya. Karenanya saya sarankan, daripada bicara urusan Khilafah, lebih baik mendalami Ilmu agama; perbaiki bacaan al-Quran, pelajari hukum-hukum dasar Islam, pelajari buku-buku sejarah, dan belajar kepada ulama yang ahli. karena mempelajari dasar-dasar utama dalam Islam adalah pertama dan utama.

Panji Setiawan, Aktivis keislaman yang konsen dalam moderasi Islam.

Redaksi Khilafah.ID

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Next Post

Narasi Syiah; Antara Kebodohan Beragama dan Khawarijisasi Islam

Sab Des 11 , 2021
Khilafah.id – Kasus pencabulan oleh Herry Wirawan, pimpinan pesantren Tahfidz Madani di Cibiru, Kota Bandung, kepada belasan santriwatinya hingga hamil dan melahirkan sedang jadi pusat perhatian. Aksi bejat pemerkosaan tersebut tengah dalam investigasi petugas. Terkini, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Asep N Mulyana menduga Herry menggunakan dana bantuan siswa untuk […]
Khawarijisasi Islam