Khilafah.id – Pew Research Center (PRC) yang fokus pada isu-isu agama dan kehidupan publik telah mengeluarkan hasil risetnya pada 2 April 2015 silam, The Future of World Religions: Population Growth Projections, 2010-2050. Di dalamnya dikemukakan bahwa Islam menjadi agama yang paling berkembang. Hal itu disebabkan angka pertumbuhan dan besarnya populasi anak muda di antara agama-agama dunia.
Bila kecenderungan angka pertumbuhan dan besarnya populasi tersebut terus berlanjut, beberapa hal diproyeksikan akan terjadi pada 2050. Pertama, jumlah umat Islam akan bertambah dan setara dengan jumlah umat Kristen.
Kedua, orang-orang ateis, agnostik dan yang tidak berafiliasi pada agama apa pun akan berkurang jumlahnya dari total populasi dunia. Ketiga, populasi umat Buddha di seluruh dunia akan sama dengan yang tercatat pada 2010, sementara populasi umat Hindu dan Yahudi akan bertambah.
Selain itu, dampak ikutan diperkirakan di benua Eropa, umat Islam akan mencapai 10% dari populasi keseluruhan. Sementara, di India tetap akan bertahan dengan umat Hindu sebagai mayoritas, meski umat Islam di sana tetap bertambah.
Adapun di Amerika, Kristen akan berkurang dari ¾ lebih populasi pada 2010, menjadi 2/3 pada 2050 dan Yudaisme tidak akan lagi menjadi agama non-Kristen yang paling banyak penganutnya. Umat Islam akan mencapai jumlah tinggi. Empat dari sepuluh orang Kristen akan hidup di sub-Saharan Africa
Kemungkinan-kemungkinan di atas disarikan dari perhitungan demografi oleh PRC. Perhitungan tersebut dilakukan berdasarkan jumlah penduduk yang secara geografis memiliki agama-agama besar dunia, perbedaan usia, tingkat pertumbuhan, migrasi internasional dan konversi atau pindah agama.
Bila kecenderungan demografi dunia dari 2010 tetap berlanjut secara konsisten, pada tahun 2070 umat Islam dan Kristen akan mencapai jumlah populasi yang sama: 32, 3%. Pada tahun 2100, umat Islam mencapai 34,9% dan umat Kristen mencapai 33,8%. Dengan demikian, Islam menjadi agama yang paling besar jumlah penganutnya.
Bagaimana menginterpretasi hasil riset PRC terkini? Bagaimana menyikapinya dan apa tantangan yang bakal kita hadapi bila proyeksi demografi menjadi “kenyataan”?Hasil riset di atas tidak perlu membuat umat Islam bangga apalagi senang. Sebab, kebesaran sebuah agama tertentu pada dasarnya tidak ditentukan dari jumlah pemeluknya. Kebesaran sebuah agama dilihat dari bagaimana agama tersebut bisa merespon perkembangan zaman dan menjadi rahmat bagi manusia dan semesta alam.
Hasil riset tersebut juga memberikan tantangan tersendiri bagi umat Islam, melihat gejala-gejala yang sedang terjadi di kalangan mereka sekarang. Paling tidak, tantangan tersebut terdiri dari dua hal: (1) radikalisme dan cara pandang dunia yang semakin kompleks, dan (2) kebebasan.
Pertama, radikalisme. Radikalisme Islam sekarang semakin menguat—meski radikalisme ada dalam setiap agama. Gerakan-gerakan Islam radikal telah mencederai Islam dengan menegasikan toleransi di antara umat beragama. Kemunculan berbagai kelompok Islam seperti Islamic State di Irak dan Boko Haram di Nigeria sudah menjadi bukti yang nyata.
Kemunculan kelompok-kelompok radikal tersebut di antaranya dilatarbelakangi cara pandang dunia yang semakin kompleks dan ketidaksiapan mereka menghadapi tekanan ekonomi-politik yang begitu kuat. Sebagaimana yang dicatat The Islamic Supreme Council of America (INCA), mereka mengambil pembenaran dari sumber-sumber Islam dalam melakukan aksi-aksi kekerasan dengan klaim jihad.
Benih-benih radikalisme juga mulai tumbuh di Indonesia. Kita bisa melihat bagaimana perlakuan kelompok-kelompok tertentu terhadap Ahmadiyah, Syiah dan orang-orang yang berbeda keyakinan secara umum.
Mereka tidak siap menghadapi zaman yang terus berkembang dan pemahaman manusia terhadap agama yang secara otomatik semakin beragam. Mereka lupa bahwa setiap kelompok punya jalannya sendiri (syariat) dan Tuhan tidak berkehendak untuk menjadikan kita satu umat/pandangan.
Untuk menangkal persoalan di atas, umat Islam harus menjadi agen-agen perubahan yang moderat untuk menebarkan Islam toleran, Islam yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Kita sulit membayangkan apa yang akan terjadi bila kelompok-kelompok radikal berkuasa ketika populasi umat Islam telah menjadi yang terbesar.
Kedua, kebebasan. Kata “kebebasan” sering disalahpahami sebagian besar umat Islam. Padahal, kebebasan adalah sifat dasar manusia yang dianugerahkan Tuhan kepada-Nya. Tuhan pun pada hakikatnya tidak pernah “memaksa” hamba-Nya untuk menaati perintah-Nya. Seperti yang tertulis dalam Kitab Suci, Ia selalu memberikan setiap individu kebebasan memilih.
Kebebasan pada dasarnya selalu bermakna positif. Bebas atau free (dalam bahasa Inggris) adalah kata yang sepatutnya selalu diiringi “menuju”, bukan “dari”. Dalam konteks kebudayaan umat Islam, Indonesia khususnya, kebebasan selalu dikonotasikan dengan hal-hal yang tercela seperti seks bebas dan cara hidup yang liar. Padahal, bebas tidak berarti liar, tapi bebas itu bertanggung jawab. Dengan demikian, kita perlu mengubah cara pandang yang keliru tentang kebebasan.
Membaca hasil riset yang dikeluarkan PRC secara menyeluruh membuat kita menemukan bahwa kebebasan di negara-negara maju memberikan kontribusi bagi bertambahnya umat Islam di masa depan. Di sana, setiap orang bebas memeluk agama yang diyakini tanpa paksaan dan intimidasi. Sayangnya, kebebasan di negara-negara Muslim belum terjamin meski prinsip dasar Islam menyatakan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama.
Data yang baru saja dirilis Freedom House, Freedom in The World 2015, menunjukkan bahwa di antara negara-negara Muslim hampir tidak ada negara yang kebebasannya terjamin. Meski Tunisia menjadi satu-satunya dunia Arab yang indeks kebebasan menjadi lebih baik dari sebelumnya setelah mengadakan pemilu demokratis di bawah konstitusi baru, negara-negara Timur Tengah lain dan Afrika Utara masih berkutat dengan peristiwa-peristiwa yang tidak menguntungkan. Artinya, kebebasan di negara-negara Muslim masih menjadi tantangan yang besar.
Untuk mengatasi tantangan tersebut, kita perlu mengembangkan ide-ide tentang kebebasan yang secara primordial ada dalam hasrat setiap individu dengan mengungkapkan prinsip-prinsip dasar dalam Islam.
**
Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, di mana Islam telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas nasional. Islam di Nusantara dikenal dengan wajahnya yang moderat, toleran, dan menjunjung tinggi harmoni sosial.
Namun, perjalanan bangsa ini tidak lepas dari ancaman radikalisme, sebuah fenomena yang telah memutarbalikkan esensi agama menjadi alat pembenaran untuk kekerasan dan intoleransi. Dalam konteks ini, penting bagi kita untuk melakukan telaah introspektif tentang hubungan antara Islam, radikalisme, dan kebebasan dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Radikalisme sering kali muncul dari distorsi pemahaman agama. Kelompok-kelompok radikal cenderung menyempitkan tafsir agama menjadi sesuatu yang hitam putih, mengabaikan kompleksitas sosial dan nilai-nilai universal Islam seperti keadilan, kasih sayang, dan perdamaian.
Mereka mengklaim bahwa ideologi mereka adalah jalan yang paling benar, seraya mengabaikan keragaman pemikiran yang sebenarnya menjadi salah satu kekayaan Islam itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, radikalisme tidak hanya mengancam stabilitas sosial, tetapi juga mencederai semangat Pancasila yang menjunjung tinggi keberagaman.
Namun, fenomena radikalisme tidak muncul begitu saja. Ia sering kali berakar pada rasa ketidakadilan, baik secara ekonomi, politik, maupun sosial. Ketimpangan yang terjadi di masyarakat menjadi lahan subur bagi propaganda radikal untuk berkembang.
Mereka menawarkan solusi utopis dengan memanfaatkan kekecewaan rakyat terhadap sistem yang ada. Dalam banyak kasus, kebebasan yang seharusnya menjadi hak setiap individu justru menjadi korban pertama dari ideologi radikal ini. Kebebasan untuk berpikir, beragama, dan bersuara direduksi menjadi kepatuhan terhadap interpretasi tunggal yang mereka tawarkan.
Di sinilah Islam yang sejati perlu berbicara. Sebagai agama yang membawa pesan rahmatan lil ‘alamin, Islam menegaskan pentingnya kebebasan dalam bingkai tanggung jawab. Kebebasan bukan berarti anarki, melainkan kemampuan manusia untuk memilih jalan hidupnya berdasarkan kesadaran dan nilai-nilai yang benar.
Dalam Islam, kebebasan berpikir dan berdialog adalah sesuatu yang sangat dihargai. Rasulullah SAW sendiri mempraktikkan musyawarah dan menghormati perbedaan pendapat di antara sahabat-sahabatnya. Tradisi ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang terbuka terhadap diskusi, bukan paksaan.
Namun, radikalisme sering kali mengambil jalan yang berlawanan. Mereka menolak kebebasan sebagai ancaman terhadap kemurnian agama. Dalam pandangan mereka, kebebasan individu harus dikorbankan demi kepentingan ideologi.
Akibatnya, mereka menciptakan narasi yang menakutkan tentang Islam, seolah-olah agama ini menuntut ketaatan mutlak tanpa ruang untuk dialog dan keberagaman. Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam yang sebenarnya menempatkan manusia sebagai makhluk yang diberi akal untuk berpikir dan memilih.
Dalam konteks NKRI, hubungan antara Islam, radikalisme, dan kebebasan harus ditempatkan dalam kerangka keindonesiaan. Sebagai negara yang berdiri di atas semangat Pancasila, Indonesia telah menetapkan kebebasan beragama sebagai hak fundamental. Kebebasan ini memungkinkan Islam berkembang secara damai bersama dengan agama-agama lain.
Namun, ancaman radikalisme sering kali mencoba menggoyahkan tatanan ini dengan memaksakan tafsir agama yang eksklusif. Hal ini tidak hanya merusak kerukunan umat beragama, tetapi juga mengkhianati semangat Islam itu sendiri yang menekankan kedamaian dan keadilan.
Telaah introspektif ini juga harus mencakup tanggung jawab umat Islam dalam menjaga kebebasan dan melawan radikalisme. Pertama, umat Islam perlu kembali kepada ajaran-ajaran inti Islam yang menekankan keadilan, kasih sayang, dan penghormatan terhadap perbedaan.
Pemahaman agama yang mendalam dan kontekstual menjadi kunci untuk melawan narasi radikal yang dangkal dan penuh kebencian. Kedua, pendidikan agama harus diarahkan untuk membentuk karakter yang moderat dan toleran. Generasi muda perlu dibekali dengan pemahaman Islam yang terbuka dan inklusif, sehingga mereka tidak mudah terpengaruh oleh propaganda radikal.
Selain itu, negara juga memiliki peran penting dalam menciptakan kebijakan yang mendukung kebebasan beragama dan memberantas radikalisme. Pemerintah harus memastikan bahwa semua warga negara, tanpa memandang agama, memiliki akses yang sama terhadap pendidikan, ekonomi, dan keadilan sosial. Ketimpangan yang dibiarkan berlarut-larut hanya akan memperkuat narasi radikal yang mengadu domba rakyat dengan pemerintah. Oleh karena itu, pendekatan yang holistik dan berbasis keadilan adalah kunci untuk mengatasi akar masalah radikalisme.
Pada akhirnya, Islam, kebebasan, dan NKRI bukanlah entitas yang saling bertentangan, tetapi saling melengkapi. Islam memberikan landasan moral yang kuat untuk menghormati kebebasan, sedangkan NKRI memberikan kerangka hukum dan sosial untuk menjaga keberagaman.
Radikalisme adalah ancaman yang harus dihadapi bersama, bukan hanya oleh pemerintah, tetapi oleh seluruh elemen masyarakat. Dengan memahami Islam yang sejati dan menjunjung tinggi semangat kebebasan, kita dapat menjaga keutuhan NKRI sebagai rumah bersama yang damai dan harmonis.
Mari kita jadikan Islam sebagai cahaya yang menerangi jalan bangsa, bukan alat untuk membenarkan kegelapan radikalisme. Sebagai umat beragama dan warga negara, tanggung jawab kita adalah meneguhkan nilai-nilai kebebasan dan persatuan dalam bingkai keindonesiaan. Hanya dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa NKRI tetap menjadi rumah yang aman dan damai bagi seluruh rakyatnya, tanpa terkecuali.
Dida Darul Ulum, Lulusan Departemen Falsafah dan Agama, Universitas Paramadina. Kini menjadi peneliti di Megawati Institute dan aktif mengelola Sekolah Pemikiran Pendiri Bangsa (SPPB).