Khilafah.id – Physical distancing dipercaya sebagai cara paling efektif untuk melawan pandemi Covid-19. Ahli kesehatan Kanada bernama Jeff Kwong menyatakan bahwa physical distancing atau menjaga jarak aman antarindividu dalam interaksi sosial dalam menghindari perkembangan Covid-19 sangatlah penting. Jika tak melakukan physical distancing, penyebaran virus corona baru takkan bisa dikendalikan.
Tidak bisa tidak, efek physical distancing akan sangat memengaruhi (baca: memberatkan) peran ibu rumah tangga (IRT), terutama ibu yang bekerja. Di dalam rumah, mereka mesti mengurusi suami, anak-anak dan pekerjaan domestik sembari tetap bekerja. Peran yang sangat banyak ini bukan hal yang mudah untuk dijalankan, mereka butuh dukungan dan perlindungan. Kerjasama sangat dibutuhkan di sini. Pembagian tugas antara suami, istri dan anak menjadi kunci terlaksananya karantina yang baik.
Maka, tidak berlebihan apabila ada anggapan bahwa ibu rumah tangga yang sedang melaksanakan physical distancing sebenarnya sedang berjihad. Sebab, apabila ditelaah secara bahasa, jihad berarti kesungguhan. Sementara jika ditelaah secara istilah, jihad bermakna mencurahkan segala kesungguhan untuk mencapai tujuan tertentu.
Dalam kitab Mu’jam al-Mausu’i Li Alfadz al-Qur’an al-Karim dijelaskan tentang makna kata Jahada-Yujahidu bersama derivasinya memiliki dua makna, yaitu mengerahkan Segala Kemampuan/badzlu al-wus’i dan perang di jalan Allah (al-Qital). Sedangkan kata Jahada beserta derivasinya memiliki arti Ghayah, an-Nihayah (tujuan akhir), Mashaqqah (kesulitan), al-was’u (kemampuan) dan at-Thaqah (kemampuan).
Menurut Muhammad Mustafa Al-Maraghi, ada empat cakupan dalam berjihad. Pertama, perang dalam rangka membela agama, pemeluknya dan untuk meninggikan kalimah Allah Swt. Kedua, memerangi hawa nafsu, orang-orang salaf menyebutnya sebagai jihad akbar, misalkan dilaksanakan untuk memerangi hawa nafsu, khususnya saat usia muda. Ketiga, berjihad dengan harta benda, mewujudkan amal kebaikan untuk umat dan agama. Keempat, jihad melawan kebatilan dan membela kebenaran.
Dari keempat pengertian jihad yang dikemukakan Al-Maraghi, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa keempat-empatnya bermakna “kesungguhan”. Kesungguhan seorang ibu menjaga keluarga saat physical distancing adalah hal yang luar bisa. Ia menjadi tumpuan dan penyeimbang seluruh anggota keluarga, kunci dari suksesnya kelangsungan karantina.
Seorang ibu mengerahkan segala kekuatan, energi, perasaan, dan pikirannya untuk bisa menyeimbangkan keadaan di dalam rumah. Bisa dibilang, ia sedang berperang. Ya, kita sedang berperang. Lebih dari perang fisik, umat manusia sedang melawan hal yang berwujud semi-metafisik, sejenis virus yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang.
Dalam masa physical distancing, ada pula efek negatif yang timbul dalam masa karantina, salah satunya adalah konflik sosial yang berlapis. Berada dalam rumah terus menerus dengan orang yang sama tanpa jeda tentu akan menimbulkan masalah. Perseteruan karena beda pendapat dan stress akibat tak bisa bergerak bebas adalah hal yang harus dikontrol dalam proses physical distancing.
Dalam Islam, pemaknaan jihad karena perang baru muncul setelah peristiwa turunnya ayat Al-Qur’an tentang kebolehan berperang jika didzalimi. Sejarah mencatat, pada zaman Rasulullah Saw., perempuan tidak berjihad langsung dengan pedang. Saat berperang, para perempuan tetap ikut ke medan perang, bertugas untuk menyiapkan makanan dan mengobati pasukan yang terluka.
Perempuan tidak diwajibkan berjihad dengan makna khusus pada saat itu, yakni berperang. Karena sebagian besar perempuan pada saat itu tidak memiliki keahlian untuk berperang dan menghadapi musuh. Oleh karena itu, pelaksanaan jihad lebih identik dilaksanakan oleh laki-laki. Saat ini, jihad tak lagi identik dengan laki-laki saja. Peran perempuan justru lebih dibutuhkan saat berperang melawan pandemi Covid-19.
Saat physical distancing, keadaan rumah mesti seimbang. Sebagai misal, situasi di pagi hari. Suami mesti bekerja sedangkan anak-anak harus sekolah atau kuliah, keduanya dilakukan secara online. Sembari berbagi tugas dengan sang ayah, seorang ibu mesti bisa mengatur keadaan, jangan sampai anak-anak mengganggu suami saat bekerja atau justru anak-anak terganggu waktu belajarnya karena suami yang bekerja.
Tugas bertambah ketika seorang perempuan, menjadi ibu, dan bekerja. Tanpa asisten rumah tangga, tiga tugas besar itu mungkin tak bisa dicerna akal sehat. Tapi nyatanya, banyak perempuan yang bisa melakukannya. Anggapan bahwa perempuan adalah makhluk lemah yang tak berdaya dan hanya sebatas menjadi sang liyan, objek bagi lelaki, sangat tidak tepat. Dalam situasi saat ini, perempuan justru memainkan peran utama.
Sebuah hadis menjelaskan tentang perempuan (istri) yang merupakan seorang ibu rumah tangga dan bertanggung jawab atas semua hal yang berkaitan dengan rumah tangga. Padahal, suami juga mesti turut bertanggung jawab atas terselenggaranya kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Rasulullah Saw. bersabda: “Kalian semua adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinan tersebut. Setiap imam adalah penanggungjawab terhadap orang yang dipimpinnya. Laki-laki adalah pemimpin dari keluarganya dan akan dimintai pertanggungjawabannya dari orang yang dipimpinnya. Perempuan adalah pemimpin di dalam rumah suaminya dan pemimpin bagi anak-anaknya dan tentunya akan dimintai pertanggungjawabannya pula.” (H.R. Bukhari Muslim)
Berjihadlah para ibu, berjihadlah para perempuan. Semua orang sedang berjuang melawan musuh kita bersama yakni virus corona baru. Para perempuan harus berada di garda terdepan melawan pandemi Covid-19.
Ayu Alfiah Jonas, Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.