Khilafah.id – Indonesia oleh banyak negara seringkali dianggap sebagai negara yang ramah dan menyejukkan, di samping alamnya yang masih tampak asri senyum orang Indonesia juga sering diidentikan dengan norma-norma kesopanan. Namun apakah saat ini senyum itu terpampang kembali ditengah gembar-gembor perdebatan tentang suatu paham atau ideologi?
Penulis membuka dengan sebuah pertanyaan di atas, penulis saat ini merasakan betul apa yang sedang mengintai keutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Bangsa kita dahulu sebelum masa reformasi seperti sekarang ini, bersatu padu untuk satu tujuan yakni menumbangkan zaman orba, di mana pada zaman tersebut kebebasan berpendapat sangat-sangatlah dibatasi oleh pemerintah seperti sekarang ini. Dalam artian para reformis zaman dulu mati-matian hanya untuk memperjuangkan tentang konsep negara yaitu “demokrasi”.
Mengapa demokrasi ini penting, maka jawabannya cukup pendek menurut sudut pandang penulis. Indonesia ada karena keberagaman, dan keberagaman itulah yang kini sedang diintai untuk dirusak oleh sebagian orang yang mengaku beragama. Perlu diketahui, bangsa kita kini terbelah menjadi dua kelompok. Dua kelompok tersebut terbelah karena adanya polarisasi politik sejak tahun 2014 yang lalu.
Bangsa kita diakui sebagai bangsa dengan umat Islam terbesar, namun perilakunya kadang jauh akan standar beragama yang benar. Kini hanya karena perbedaan paham, pilihan dan ideologi politik semata, satu antar yang lain saling menyalahkan dan mencari pembenaran. Banyak kasus yang dapat kita tarik sebagai contoh kongkret untuk membuktikan itu semua.
Anda ingat salah satu Gubernur Jakarta periode 2014-2017, yakni Basuki Tjahaja Purnama atau lebih akrab disapa Ahok, seorang Gubernur beragama kristiani yang ditumbangkan akan satu label saja yaitu penistaan agama.
Kata penistaan agama kini semakin kesini semakin mudah untuk dilontarkan hingga dapat dengan mudahnya menjebloskan orang untuk dimasukkan kedalam penjara. Ahok contohnya, hanya karena ia keturunan China dan beragama nasrani serta memimpin Ibukota Jakarta pada waktu itu, Ahok difitnah, dicaci maki dan kata-katanya digiring sebagai opini liar untuk dijatuhkan dan dikemudia hari ia dilaporkan dengan pasal penistaan agama, dan lebih anehnya ia didemo sana-sini oleh segerombolan orang yang mengatasnamakan Islam namun akhlaknya tak mencerminkan Islam.
Mereka sibuk mencari-cari kesalahan orang namun lupa akan kesalahan sendiri, mereka menganggap diri mereka sebaik-baiknya orang, namun kata maaf ataupun pengampunan tak pernah terucapkan untuk lawan politik yang dibencinya. Contoh kembali kemarin pada demo 11 April 2022, seorang bapak-bapak tua bernama Ade Armando dikeroyok dan ditelanjangi hanya karena ia diaggap sebagai Buzzer bayaran pemerintah.
Narasinya yang sulit untuk dilawan dengan keintelektualan malah dilawan dengan cara kekerasan. Bukankah Islam adalah latif “kelembutan”, namun mengapa kekerasan yang dikedepankan. Mungkin kita harus mengerti akan makna mayoritas, minoritas dan toleransi. Minoritas bukan hanya keterbatasan dalam hal pemeluk agama, namun minoritas juga adalah perbedaan dalam pemahaman untuk memahami pengertian akan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Miniatur Moderasi Beragama
Sesaat saya pergi ke Kaloran untuk mengabadikan sebuah kehidupan bermoderasi beragama, saya menghampiri salah seorang rumah penduduk yang bernama Pak Suyadi. Perlu diketahui bahwasannya Pak Suyadi ini adalah seorang Budhis atau orang yang memeluk agama Budha. Namun, sambutan khas unggah-ungguh jawanya sangatlah kentara sekali.
Sesekali ia menyodorkan rokoknya untuk dinikmati bersama, walaupun rokoknya rokok ketengan dan hanya tersisa dua. Menyodorkan minuman untuk melepas rasa dahaga serta tak lupa makanan untuk dinikmati bersama-sama. Beliau mengetahui bahwasannya saya adalah muslim, namun beliau tak malu dan tak ragu untuk memberikan sedikit kepemahaman tentang ajaran kehidupan agama Budha.
Beliau mulai bercerita tentang adanya agama Budha dilanjutkan dengan bagaiman sang Sidharta Gautama memperoleh kesempurnaan, hingga yang paling saya ingat saat beliau bilang te sada me sada yang memiliki pean mendalam yaitu untukmu agamamu dan untukku agamaku. Kurang lebihnya seperti itu yang saya ingat, beliau sesekali memberikan wejangan janganlah hanya karena perbedaan agama kita mau diprovokatori untuk dipecah belah.
Mayoritas adalah sekumpulan orang yang malah harus melindungi yang minoritas lebih daripada itu adalah untuk melindungi hak-haknya, bukan hanya untuk hak sarana peribadatan namun harus pula sarana untuk kehidupan interaksi antar umat manusia atau beragama.
Contoh mudahnya beliau memberikan contoh saat masyarakat yang beragama Budha dan Kristen diberikan ruang untuk mengikuti tradisi sadranan dengan masyarakat Muslim lainnya. Masyarakat Kristen diberikan kesempatan untuk membuka acara, Budha diberikan kesempatan untuk ikut urun rembug “berbicara” didepan dan kaum Muslim khususnya diberikan kesempatan untuk menutup adat sadranan dengan doa.
Sekelumit pesan kebangsaan dalam bingkai keberagama dari Pak Suyadi, mengingatkan penulis tentang betapa pentingnya bersaudara dalam hal kemanusiaan. Bukankan sahabat Ali Karramallahu Wajhah pernah mengatakan “Mereka yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan,” tuturnya mengutip ungkapan Sayyidina Ali.
Budha, Kristen dan Islam
Pulang dari kediaman Pak Suyadi saya menghampiri salah seorang Guru disebuah Sekolah Dasar yang bernama Pak Edi Purwoko, beliau adalah seorang kristiani. Sambutan hangatnya dating saat saya dan seorang teman tiba didepan kediaman rumahnya. Suguhan teh hangat langsung disiapkan diatas meja diserta dengan sepiring buah jeruk yang manis.
Tanpa perlu panjang lebar saya dan seorang teman langsung memulai diskusi kecil tentang kehidupan masyarakat setempat, perlu diketahui bahwa Pak Edi ini adalah seorang umat Kristiani dan sebagian dari masyarakat desanya juga terbagi menjadi dua yakni; pemeluk agama Kristen dan Islam.
Kehidupan disana digambarkan penuh dengan keharmonisan dan kehumanisan, atau mungkin kini lebih dikenal dengan memanusiakan manusia. Menurut Pak Edi kehidupan disana sangatlah rukun dan dilimpahi kedamaian, bagaimana masyarakt Muslim membantu umat Kristiani untuk mempersiapkan keperluan di gereja saat akan memulai kegiatan ibadah terutama saat menjelang natal.
Dan kata yang saya ingat diucapkan oleh beliau “weslah sampean sembahyang ae, tak aku sek nyiapke keperluan natalmu, sampean fokus sembahyang!” ucap Pak Edi sambil menirukan ucapan umat Islam yang menyaraninya tersebut.
Sepenggal kata tersebut jikat kita cermati menyimpan makna toleransi yang tinggi, bagaimana mungkin hal tersebut akan terucap dari seorang yang jelas berbada agamanya tanpa didasari dengan nilai toleransi yang tinggi. Menurut beliau hidup hanya untuk berbuat baik antar sesama tanpa memandang perbedaan SARA.
Sebaliknya saat lebaran di lingkungan tenpat tingga beliau, umat Kristiani juga ikut berlebaran untuk menunjukkan rasa toleransi dan ikut bermaaf-maaffan akan salah yag pernah dilakukan.
Selain itu melindungi hak minoritas adalah dengan membantu sarana peribadatan, bagaiamana beliau bercerita saat ada bantuan untuk gereja dan bantuan tersebut tersisa, dikemudian hari sisa dari bantuan yang telah berwujud material diserahkan kepada TPQ atau kini dikenal dengan Madrasah Diniyyah dan masjid untuk umat Islam disana.
Kaloran juga sedari dulu memang dikenal sebagai miniaturnya moderasi beragam Indonesia, hal ini semakin dibuktikan dengan berdekatannya tempat ibadah seperti vihara dan masjid yang hanya terpisah ruas jalan dan tersekat antar rumah warga. Sejatinya beragam hal tersebut adalah sebagai pralambang kehidupan bermoderasi beragama, bagaimana agama yang mayoritas memandang, menghargai dan melindungi hak beragama, hidup dan sosial yang minoritas.
Hilal Mulki Putra, Mahasiswa di Institut Agama Islam Nahdhatul Ulama (INISNU) Temanggung dan aktif sebagai tenaga wiyata kependidikan di MI Ma’arif 2 Tlogopucang. Di sela-sela kesibukan aktif menulis berbagai jenis artikel di beberapa media.