Khilafah.id – Beberapa bulan yang lalu, beredar video berdurasi 7 menit tentang larangan jihad yang dikemukakan langsung oleh narapidana terorisme bernama Aman Abdurrahman. Nama Aman Abdurrahman sudah tidak asing lagi bagi para pengikut kelompok Daulah di Indonesia. Selain dikenal sebagai penggagas Jama’ah Ansharut Daulah (JAD), dirinya juga memiliki karisma menggiring pengikutnya melakukan baiat kepada ISIS melalui dirinya.
Dalam video tersebut, ia melarang perempuan untuk melakukan aktivitas jihad dan “amaliyah” berupa aksi teror hingga suicide bombing. Ia mengatakan “Tidak Ada di Islam, Perempuan Jihad”. Di samping itu dirinya juga menekankan bahwasanya sesuai tuntunan hadis Nabi Muhammad SAW dalam H.R Bukhori (No. 1520), bahwasanya “jihad yang afdhol dan paling utama adalah haji mabrur”.
Cuplikan dalam hadis tersebut berbunyi:
Dari ‘Aisyah—ummul Mukminin—radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ ، نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ ، أَفَلاَ نُجَاهِدُ قَالَ « لاَ ، لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ »
“Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol. Apakah berarti kami harus berjihad?” “Tidak. Jihad yang paling utama (afdhol) adalah haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Bukhari no. 1520).
Inilah yang dikatakan sebagai kegagalan pemaknaan jihad oleh para kelompok radikalis dan teroris. Narasi ini juga rupa-rupanya diusung oleh Aman untuk tujuan meredusir pergerakan perempuan dalam berbagai aksi teror.
Jika dilihat dari fenomenanya, satu dekade terakhir ini, kelompok radikalis bersikukuh untuk tetap melibatkan perempuan dalam berbagai aktivitas yang mereka sebut sebagai amaliyah/jihad. Contoh kasus:
- Pada tahun 2018, Puji Kuswati (kala itu berusia 48 tahun) seorang salah satu pelaku dari aksi terorisme bom bunuh diri di 3 Gereja yang berbeda di Surabaya yang melibatkan satu keluarga. Bersama kedua anak perempuannya; Fadhila Sari (12) dan Famela Rizqita (8), Ia meledakkan diri didepan halaman Gereja Kristen Indonesia Jalan Diponegoro, Surabaya, Jawa Timur, Minggu 13 Mei 2018. Diketahui dari keterangan dari Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Suami dari Puji Kuswati yang bernama R Dita Oepriarto (47) adalah Ketua JAD (jaringan Ansarut Daulah) Surabaya.
- Selang sehari setelah kasus teror Puji sekeluarga, Tri Ernawati (43) juga terlibat dalam kasus terorisme bom bunuh diri bersama satu anggota keluarganya dengan menggunakan dua sepeda motor. Ia melakukan aksi teror serupa yang menyasar Polrestabes Surabaya pada 14 Mei 2018 bersama Tri Murtiono (50), suaminya dan kedua putranya bernama Muhammad Dafa Amin Murdana dan Muhammad D. Satria. Mereka (kecuali anak perempuan balitanya) tewas seketika setelah meledakkan diri di gerbang masuk Polrestabes Surabaya.
- Pada 13 Maret 2019, Solimah (istri abu hamzah) teroris asal sibolga meledakkan diri dengan anaknya menggunakan bom rakitan miliknya. Solimah sendiri telah meledakkan diri bersama bayinya berusia 2 tahun berinisial H di di Jalan Cendrawasih Kota Sibolga Sumatera Utara, Rabu 13 Maret 2019 dini hari ketika Abu Hamzah ditangkap. Solimah, istri Abu Hamzah, teroris Sibolga, memutuskan untuk melakukan aksi bunuh diri dengan menggunakan bom, setelah 16 jam dikepung petugas dari Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror dan kepolisian setempat.
- Pada 28 Maret 2021, Yogi Shafitri Fortuna yang disinyalir merupakan anggota kelompok JAD Sulsel yang terafiliasi dengan ISIS, juga terlibat melakukan aksi bom bunuh diri bersama suaminya M Lukman HS di gerbang Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan,
Dan masih banyak lain lagi para perempuan radikalis yang juga terafiliasi jaringan JAD termasuk Ika Puspitasari dan Dewi Anggraini yang sukarela mendedikasikan dirinya untuk terlibat langsung dalam propaganda aksi terorisme. Fakta-fakta tersebut menunjukkan signifikansi utilisasi kapabilitas perempuan dalam keikutsertaannya terlibat dalam aksi terorisme.
Kathleen Turner dalam Jurnalnya yang berjudul “The Rise of Female Suicide Bombers” terbitan Maret 2016, memprediksi adanya peningkatan visibilitas perempuan sebagai agent of war oleh kelompok teror dalam serangan bom bunuh diri di beberapa tahun terakhir ini.
Pemanfaatan kombatan perempuan oleh kelompok-kelompok untuk melakukan penyerangan terhadap aparat keamanan dan penduduk lokal menjadi tren yang kian massif berkembang. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Yoram Schweitzer, antara tahun 1985 dan 2006, pembom perempuan melakukan lebih dari 220 serangan bunuh diri.
Jumlah ini mewakili hampir lima belas persen dari jumlah keseluruhan pelaku bom bunuh diri yang sebenarnya (Anne 2008). Studi Schweitzer mengidentifikasi lokasi utama di mana serangan bom bunuh diri perempuan telah terjadi dibeberapa negara termasuk Sri Lanka, wilayah Israel dan Palestina, Rusia dan Chechnya, serta Turki (Schweitzer 2006).
Pertanyaannya sekarang, apa alasan dasar para kelompok radikalis teorisme dunia termasuk yang berada di Indonesia menggunakan perempuan sebagai agent of war atau suicide attackers?
Menurut Turner hasil rangkuman pendapat para scholars (2016), ada 2 alasan yang mendasarinya: Taktis dan Strategis. Pada alasan taktis, kelompok teror ini memiliki keuntungan taktis dan menghasilkan peningkatan kuantitas operatif aksi teror. Sedangkan berdasarkan alasan strategis mampu meningkatkan perhatian media dan efek psikologis (Zedalis 2004).
Ini mengindikasikan bahwa visibilitas perempuan dalam aksi terorisme meningkat demi tujuan politik para radikalis dunia. Mereka dengan sengaja mempropagandakan kumulatif aksi teror atas kapabilitas perempuan melalui publikasi media gratis sebagai alat untuk menokok sisi psikologis keinginan para “mujahid” pria agar terdorong berungkal melakukan aksi teror lebih masif lagi.
Disamping itu, Perempuan radikalis ini pintar mengelabui aparat penegak hukum dengan berbagai cara. Contohnya saat puji kuswati mengajak 2 (dua) putrinya melakukan aksi bom bunuh diri, dirinya menyembunyikan bom rakitan tersebut didalam bajunya layaknya “fake pregnancy”.
Aksi Zakiah Aini saat menyerang Mabes Polri Jakarta Selatan pada 31 Maret 2021 menunjukkan dirinya menggunakan kapabilitas “stealthier in attacking” untuk melancarkan aksi teror. Kedua contoh ini benar-benar telah membuat masyarakat dunia tertipu dengan perangai perempuan yang ternyata semakin hari semakin kuat meradikalisasi diri dan membekali diri menjadi agent of war.
Komisioner Komnas Perempuan Riri Khariroh pun mengatakan perempuan dianggap sebagai sosok yang lemah lembut sehingga tidak dicurigai oleh pihak yang berwajib. Ia menuturkan “Jadi adanya denial itu, kemudian hal itu tidak terantisipasi sama sekali dan ketidaksadaran, ketidakpedulian ini seharusnya sudah mulai dikurangi, jadi bahwa laki-laki dan perempuan sama punya potensi untuk menjadi teroris”.
Fakta inilah yang berpotensi memberikan alasan taktis kepada kelompok teroris bahwa perempuan ini dianggap memiliki kemampuan “stealthier in attacking”. Kemampuan ini mengindikasikan perempuan cenderung bisa melakukan aksi tanpa memunculkan kecurigaan. Hal ini sejalan dengan narasi Bloom (2011) bahwa “penggunaan tersangka yang paling tidak mungkin adalah yang paling mungkin digunakan sebagai strategi tactical adaptation untuk teroris bawah tanah”.
Dapat saya katakan juga bahwa telah terjadi pergeseran peran, di mana sebelumnya perempuan hanya bersifat supportif yaitu mendukung suaminya yang teroris, kini dapat berperan secara aktif. Dan kebanyakan organisasi teror kini terus menerus melibatkan perempuan diprediksi akibat penurunan jumlah drastis kombatan laki-laki yang sudah tertangkap oleh aparat keamanan serta pengikut ISIS laki-laki sudah banyak yang tewas.
Walhasil, mereka menjadikan perempuan sebagai target sekaligus shamming atau tindakan mempermalukan laki-laki yang tidak punya keberanian untuk melakukan aksi bom bunuh diri misalnya. Tidak jarang juga, aparat penegak hukum mendapati beberapa ummahat melakukan pelatihan militer, belajar memanah, hingga memberikan kajian internal kepada generasi mereka berusia remaja terkait pentingnya memperjuangkan syariat islam.
Sejak pelibatan-pelibatan perempuan ini, Perempuan memiliki peran signifikannya dalam menjaga eksistensi propaganda pendirian negara bersyariat Islam. Banyak penelitian dunia telah membuktikan bahwa utilisasi perempuan dalam serangan bom bunuh diri telah terbukti secara taktis menguntungkan kelompok radikal kanan dunia. Maka tidak heran, bahwa kelompok radikal kanan ini akan terus merekrut dan men deploy female suicide bombers.
Latar belakang inilah yang memunculkan keprihatinan nasional bahwa Indonesia rawan pencegahan terhadap perempuan dan ada potensi Indonesia “memanen” perempuan untuk terlibat aktif dalam aksi teror yang lebih dakar lagi dikemudian hari. Berdasarkan UU Nomor 5 Tahun 2018, Pasal 43A Penerintah wajib melakukan pencegahan Tindak Pidana Terorisme yang dilaksanakan melalui kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi.
Untuk itu, pemerintah perlu terus melakukan pencegahan serta penanganan yang berbeda dan mengategorikannya kedalam: (1) masyarakat yang tidak terpapar, (2) yang rentan dan (3) sudah terpapar. Kemudian, pendekatan berbasis motivasi dan pendampingan perdamaian perempuan dan mengarahkan kembali para perempuan sebagai agent of peacekeepers instead of menjadi agent of war.
Pemerintah juga perlu terus didorong dalam memelihara perdamaian yang inklusif dan memberikan perspektif yang beragam serta spektrum yang meluas guna mengarahkan pemahaman perdamaian ke lingkungan global yang lebih stable.
Pendekatan “The 3’s H: Hearts, Hands, Head” yang banyak digunakan oleh para praktisi dunia banyak menghasilkan output yang aplikatif dan berdampak. sehingga kita juga perlu mendorong pemerintah serta pemangku kepentingan terkait dapat mengimplementasikan pendekatan ini dalam rangka mengeliminasi radikalisasi perempuan.
Dengan begitu, saat pendekatan dilakukan melalui affective (heart) terlebih dahulu dengan cara pendekatan personal dan dialog, kemudian dilanjutkan dengan pendekatan practical (hands), segala yang bisa diupayakan dan didorong agar target dapat merasa terbantu dan terfasilitasi, ditegaskan juga dengan pendekatan cognitive (head), dimana ideologi selalu berada dalam pikiran target.
Selain itu, berbagai pendekatan perlu terus diupayakan agar Indonesia khususnya perempuan sebagai madrasah pertama untuk keturunannya jauh dari kata radikal dan intoleran.
Siska A., M.Han, Pengamat dan Analis Kajian Gender dan Kontra Radikalisme Terorisme.