Khilafah.id – Kalau merujuk kembali dalam sejarah Islam, tiga kekhalifahan besar yang pernah dilalui umat Islam Bani Umayah, Bani Abasiyyah dan Bani Utsmaniyah, lebih dekat ke bentuk negara kerajaan ketimbang model negara modern.
Cirinya, yang berkuasa itu meski disebut khalifah, Sulthan atau Amiru al-Mu’minin (Pemimpin Orang-Orang Beriman, namun cara naik tahtanya tidak lewat pemillu yang kita kenal. Caranya lewat keturunan, karena ayahnya raja maka dia pun jadi raja.
Sebutlah misalnya Sultan Muhammad Al-Fatih II yang dikenal sebagai penakluk Eropa 1453 M. Di usia kanak-kanak sudah naik tahta, sebab ayahnya Sultan Murod memutuskan pensiun dini. Model-model pemerintahan seperti itu tidak kita kenal di masa modern sekarang ini. Kalau pun anak presiden mau jadi presiden, dia harus berjuang dulu ikut pemilihan. Tidak satu pun presiden atau perdana menteri di masa kita hidup ini yang naik tahta karena faktor keturunan.
Khilafah Islam di masa lalu kalau secara teknis, lebih merupakan monarki dan kerajaan, ketimbang sebuah negara modern yang kita kenal.
Bagaimana dengan Khilafah di Masa Sahabat?
Namun yang tidak mirip kerajaan justru khilafah di masa para shahabat, yaitu Khilafah Rasyidah yang bergantian dipimpin Abu Bakar Ash-Shiddiq (2 tahun), Umar bin Al-Khattab (10 tahun), Utsman bin Al-Affan (12 tahun) dan Ali bin Abi Thalib (5 tahun). Masing-masing diangkat jadi khalifah bukan karena mereka anak raja, bukan karena putera mahkota, tapi semata-mata dipilih oleh umat Islam lewat ijtihad jama’i (ijtihad kolektif).
Memang tidak seluruh umat Islam ikut terlibat dalam pemilihan. Maka tidak ada pemilihan umum di masa itu. Yang bermusyawarah dan memutuskan adalah sebuah tim kecil yang beranggotakan para pakar dan ahli, yang kemudian diistilahkan dengan Ahlu al-Hall wa al-‘Aqdi.
Ketika Abu Bakar wafat, anaknya tidak otomatis jadi khalifah. Begitu juga ketika Umar, Ustman dan Ali wafat, anak-anak mereka tidak otomatis jadi khalifah berikutnya.
Namun masuk ke zaman khilafah berikutnya, ketika Muawiyah bin Abi Sufyan wafat, yang jadi khalifah berikutnya Yazid bin Muawiyah. Lalu Yazid punya anak yang diberi nama Muayiwah juga dan naik jadi khalifah menggantikan ayahnya. Dan begitulah seterusnya sampai khalifah terakhir Bani Utsmaniyah di Turki.
Kekhilafahan ya Kerajaan, Kecuali ?
Kecuali tegas menyebut khilafah rasyidah, sekedar menyebut ‘khilafah’ saja berkonotasi kepada masa khilafah yang sebenarnya kerajaan dan monarkhi. Di masa kini negara yang masih 100% monarki secara de facto dan de Jure diantaranya Kerajaan Saudi Arabia.
Raja-raja di Saudi Arabia itu 100% berkuasa secara resmi, bukan hanya sekedar simbol macam Inggris dan beberapa kerajaan yang tersisa lainnya di Eropa. Dan mereka naik tahta karena faktor keturunan, yaitu sama-sama anak raja Abdul Aziz. Yang pernah umrah atau haji pasti tidak asing dengan nama King Abdul Aziz. Ya, itu nama bandara di Jeddah.
Jadi kalau ada cita-cita mendirikan khilafah, ketahuilah sebenarnya yang mau dibangun itu kerajaan yang sistemnya monarki. Kita mundur lagi ke zaman dulu kala. Anak khalifah nantinya dipastikan jadi khalifah. Sebuah trah atau keluarga besar akan jadi penguasanya.
Nama khilafahnya biasanya menggunakan nama kakek moyang keluarga besar itu. Misalnya nama kakek moyangnya Paimin atau Paijo, maka nama khilafahnya Khilafah Bani Paiminiyah atau Khilafah Bani Paijoiyah.
Ustadz Ahmad Syarwat, Pengasuh laman Rumah Fikih.