Khilafah.id – Rekrutmen adalah salah satu kunci kelangsungan hidup kelompok teroris. Aspek rekrutmen adalah salah satu aspek yang paling ihwal karena erat berhubungan dengan survival, dan itulah hal yang paling prinsip dari keberadaan sebuah kelompok teror di samping aspek lain seperti pendanaan dan aspek ideologis. Rekrutmen juga melingkupi ragam aspek, mulai dari proses propaganda hingga pembangunan jejaring rahasia dan semi-rahasia.
Menurut hemat saya, berdasarkan penelitian etnografi yang telah dilakukan dan wawancara dengan beberapa mantan jihadis maka salah satu kekuatan rekrutmen kelompok teroris di Indonesia ialah kemampuan memberikan kenyamanan. Sekalipun tentu serba-serbi terorisme banyak diwarnai fenomena kasuistik dan oleh sebab itu kita tetap perlu menghindari generalisasi.
Secara filosofis manusia hakikatnya memang mencari kenyamanan dan kebahagiaan sebagai pencapaian paripurna dalam hidup sebagaimana dilukiskan dalam logika utilitarianisme Jeremy Bentham dan muridnya John Stuart Mills. Oleh karenanya aspek kenyamanan menjadi salah satu kunci dalam perekrutan kelompok teroris.
Bagaimana bentuk kenyamanan yang dimaksud? Masuk ke dalam jaringan kelompok teroris di Indonesia baik dunia maya maupun tatap muka keduanya menghadirkan kenyamanan tertentu. Misalnya kita mendapati testimoni mantan jihadis ketika direkrut oleh Salim at-Tamimi alias Abu Jandal untuk berangkat ke Suriah begitu terpukau dengan kehalusan, kharisma, dan kehangatannya dalam bergaul.
Demikian pula ideolog Aman Abdurrahman alias Abu Sulaiman pendiri kelompok pro Islamic State Jama’ah Ansharut Daulah begitu santun dan halus dengan logat Sunda yang kental dalam tutur kata berbagai ceramahnya. Tabir kehalusan budi dan kharisma menjadi nilai jual tersendiri dalam perekrutan kelompok teroris, sekalipun tentu saja semuanya tidak seindah tampak permukaan.
Demikian pula berlaku di dunia maya. Anggota grup Telegram semi-rahasia pro Islamic State disambut dengan hangat oleh para “senior” di dalam grup, panggilan akrab “akhi”, sapaan bahasa Arab bagi laki-laki yang bermakna “saudaraku” sebagai bentuk tunggal dari kata “ikhwan” akan menyambut seluruh anggota baru.
Meminjam konsep sosiologi, kelompok pendukung Islamic State di dunia maya membentuk jejaring in–group, ikatan yang dibangkitkan oleh so–called persaudaraan seiman. Oleh sebab itu perekrutan kelompok teroris juga menawarkan identitas, sebagai bagian dari anshor daulah misalnya, atau dalam kasus dunia maya disebut anshar daulah media, jihadis yang cukup berjihad melalui media sosial saja.
Identitas semacam ini memberikan ikatan batin pada para korban perekrutan. Dalam penelitian yang telah penulis lakukan, jalur radikalisasi dunia maya kerap bermula dari proses belajar agama di dunia maya, umumnya melalui YouTube dan kemudian mulai masuk ke grup semi-rahasia pendukung Islamic State.
Fenomena belajar agama di dunia maya ini kemudian berhubungan erat dengan kelompok usia muda yang galau, mencari identitas, kecewa pada masalah hidup, serta identitas-identitas semacam pembela Islam dan pejuang hijrah cukup menarik bagi kelompok rentan ini, sebagaimana banyak riset menunjukkan.
Fenomena ini juga dijelaskan dalam konsep social bandwagon, mengikut pada suatu identitas yang diimajinasikan. Imajinasi yang bahkan kadang berangkat dari niat mulia untuk membela keadilan misalnya, tawaran kenyamanan adalah penyebabnya.
Lepas dari pada itu, tentu sumber perekrutan kelompok teror juga beraneka ragam. Pada masa awal perkembangan gelombang terorisme berbasis agama pasca-Darul Islam di Indonesia, rekrutmen diwarnai dari sumber komunitas pergaulan, kedekatan dan ikatan keluarga, serta lembaga pendidikan.
Namun demikian pergeseran terus terjadi pasca digitalisasi jihad yang berkembang beriringan dengan makin terbukanya akses internet, termasuk juga dipengaruhi oleh seruan jihad global salah satunya oleh tokoh Abu Musab al-Suri dalam kitabnya Da’wat al-muqawamah al-Islamiyyah al-alamiyyah sejumlah tidak kurang 1.600 halaman yang menyerukan aksi jihad kelompok kecil dan penggunaan internet sebagai salah satu pembahasannya.
Setelah itu hingga saat ini kita mulai familiar dengan maraknya propaganda, radikalisasi, persiapan aksi, dan bahkan rekrutmen melalui internet. Belakangan kita juga menjadi terbiasa mendengar istilah lone wolf, atau pelaku teror nir-jaringan yang teradikalisasi tanpa terlibat langsung dalam jaringan kelompok teroris atau yang melakukan aksi terorisme atas inisiatif sendiri.
Fenomena ini yang menjadi kekhawatiran kita bersama, sebab nature-nya yang tidak dapat diperkirakan. Berdasarkan data studi etnografi digital yang penulis kerjakan, hanya dibutuhkan waktu satu pekan diskusi cum radikalisasi untuk menjadikan seorang berbai’at secara resmi pada Islamic State melalui grup rahasia Telegram, tanpa tatap muka.
Jalur radikalisasi jadi makin singkat. Sekalipun umumnya radikalisasi instan juga berkorelasi dengan kemampuan eksekusi aksi terorisme yang minim dampak. Misalnya saja serangan konyol lone wolf seorang perempuan muda di Mabes Polri tahun 2021 lalu yang hanya berujung pada tewasnya diri sendiri. Hal ini terkesan konyol, tentu, namun bukan berarti tidak berbahaya.
Tokoh IS Indonesia, Bahrun Naim, dalam bukunya yang terbit tahun 2016 berkali-kali menyerukan aksi teror kecil-kecilan demi mencapai kemartiran. Bahrun Naim menyebutnya dengan operasi igtiyalat, serangan bunuh diri kecil yang memantik gerakan sel-sel tidur dan menunjukkan keberanian mati sebagai contoh bagi jaringan lain. Jelas, bahwa dampak radikalisasi instan juga merupakan strategi morale booster bagi jaringan teroris.
Aneh tentu, operasi igtiyalat seakan menjual keteladanan mati syahid, pada saat yang sama para ideolog dan pimpinan kelompok terus saja hidup. Tentu masalah ini perlu dicarikan solusinya, berlanjut ke bagian kedua.
Kenyamanan Semu Kelompok Teror
Dari mana sumber ide kelompok pendukung teroris menghadirkan kenyamanan dalam proses perekrutan? Hal ini tentu tidak terjadi begitu saja, melainkan memiliki rujukan sebab. Berlaku lembut bagi sasaran perekrutan adalah implementasi keyakinan pada konsep al wala’ wal bara’, konsep loyalitas dan berlepas diri, loyalitas pada sesama dan berlepas diri dari orang kafir dan segala yang di luar kelompoknya.
Selain itu kelompok pendukung teroris juga melakukan pelintiran, menghilangkan konteks dari teks, pada al-Quran surat al-Fath ayat 29 مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ yang bermakna “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia (Muhammad) adalah keras terhadap orang kafir, tetapi kasih sayang sesama mereka.”
Konsep yang sama pula berkembang tidak hanya di kalangan pendukung teroris, namun juga di kelompok Islam puritan dan konservatif yang banyak berkembang di area urban saat ini.
Kendati demikian, pendekatan kelompok teror dalam merekrut anggota bukan tak bercela. Yang menjadi keunggulan kelompok teror juga secara bersamaan menjadi suatu kelemahan, dunia ini seimbang. Berdasarkan data etnografi digital yang penulis kumpulkan kelompok pendukung teroris di dunia maya rupanya juga memiliki banyak firqoh – kelompok.
Tentu friksi adalah praksis yang wajar dalam firqah dengan ideologi takfiri ini. Perdebatan dan konflik adalah aktivitas yang kerap terjadi dalam grup-grup diskusi, dari persoalan ibadah sampai perbedaan pendapat hingga malah saling mengafirkan sekalipun kerap kali para “senior” dalam grup menyerukan agar menjauhi perdebatan dan meminta untuk menaati pimpinan yaitu mereka sendiri.
Dalam kondisi radikalisasi prematur yang belum ajek tentu berpotensi menggagalkan proses radikalisasi dan dengan sendirinya mendelegitimasi kelompok.
Demikian pula yang terjadi di lapangan, muncul berbagai kasus mantan jihadis yang keluar dari kelompok setelah dipertontonkan pada konflik internal. Kasus semacam ini umumnya terjadi di lembaga pemasyarakatan tempat narapidana terorisme dikumpulkan. Kelompok pendukung Islamic State yang dikenal paling ekstrem, umumnya terus melanjutkan aktivitas mengafirkan sesama jihadis di dalam tahanan.
Situasi konflik semacam ini kerap berujung pada kesadaran beberapa individu yang berangkat dari kejenuhan pada konflik yang terus menerus terjadi di tengah kumpulan para jihadis untuk secara sadar keluar dari kelompok. Rupanya betul, bahwa di balik kenyamanan yang menjadi dagangan kelompok jihadis dalam perekrutan sejatinya kelompok ini absen akhlak mulia – karimah. Juga perlu diingat bahwa kelompok teroris jihadis memang pada hakikatnya tidak mampu menerima perbedaan.
Konflik dan friksi internal ini kemudian seharusnya dapat membuka peluang bagi kita. Sebagaimana dicatat oleh Cronin (2006) serta Weinberg dan Perlinger (2010) yang menempatkan konflik internal berupa kontestasi kuasa dan konflik ideologi serta kegagalan rekrutmen dalam urutan tujuh dan sembilan dari sepuluh sebab bubarnya kelompok teroris.
Sekalipun catatan ini sepatutnya ditinjau ulang sebab catatan ini masih menempatkan tewas atau tertangkapnya pimpinan jaringan teroris sebagai sebab paling utama bubarnya kelompok teroris. Pandangan ini tentu saja sudah tidak lagi sesuai bila melihat perkembangan kontemporer seperti tewasnya al-Baghdadi yang membawa dampak minimal pada jaringan global Islamic State yang telah berubah menjadi sebuah brand. Business as usual terlepas dari keadaan kantor pusat atau pimpinan tertinggi.
Atau barang kali justru opsi paling baik bagi kita adalah dengan mengambil tanggung jawab untuk mengamankan para calon korban perekrutan kelompok teror. Beragam riset menunjukkan kelompok rentang usia 20 – 37 tahun sebagai kelompok rentan rekrutmen kelompok teroris, salah satu sebabnya ialah karena kegalauan dan ragam persoalan hidup, dan kenyamanan tentu merupakan hal yang banyak dicari pada masa-masa penuh kegalauan.
Oleh sebab itu jangan-jangan adalah kewajiban kita, sebagai warga masyarakat – masyarakat madani (civil society), untuk menyediakan kenyamanan tersebut dengan mengembalikan kehangatan di tengah-tengah keluarga dalam konteks mikro dan dalam komunitas – masyarakat secara makro, seperti memberikan wadah padat karya bagi muda-mudi yang tentu akan memberi makna hidup, self–esteem, dan lebih lagi daya resiliensi pada tantangan hidup.
Demikian pula menjadi refleksi bagi pemerintah untuk tekun berinvestasi pada pemenuhan kebutuhan dasar bagi warga negaranya, layanan kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan keadilan sosial. Barang kali hal semacam ini dinilai cli–ché, sekalipun tentu saja persoalan kegalauan dan rasa ketidakadilan tidak dapat dipungkiri merupakan salah satu faktor radikalisasi, oleh sebab itu penting untuk diperhatikan.
Lepas dari hal yang kerap dinilai normatif tersebut, fenomena menarik untuk dicermati kini ialah fenomena kemunculan generasi culturally uprooted, orang yang tercabut dari akar kebudayaan – buah budi masyarakatnya, kehilangan identitas diri dan kegamangan mengasosiasikan diri dalam bermasyarakat.
Fenomena ini juga diperparah oleh mengikisnya nilai budaya seiring kemajuan zaman dan gerakan hijrah kelompok puritan atau bahkan kelompok konservatif tertentu yang kemudian mengangkat identitas Arab misalnya.
Di samping itu, perlu dicatat bahwa menyediakan kenyamanan tidaklah cukup untuk membangun eksistensi kelompok teror. Perlu ada resource mobilization, tanpa sumber-sumber tenaga dan bentuk material dan imaterial maka aksi terorisme sukar tercapai.
Oleh karena itu, kelompok teroris selain menyediakan kenyamanan juga memfasilitasi para anggotanya, tergambar dari adanya proses tatap muka setelah radikalisasi dunia maya misalnya, atau pelatihan-pelatihan yang kerap digagalkan oleh Densus 88, memfasilitasi keberangkatan grup ke Suriah dengan biaya terjangkau, hingga menerapkan konsep amniyah yang bermakna ketenteraman dengan menjamin nafkah keluarga dan janda anggota kelompok yang tewas.
Kemampuan untuk melakukan fasilitas ini tidak lepas dari kekuatan pendanaan dan juga bangunan jaringan kelompok, oleh sebab itu untuk menghentikan rekrutmen perlu diperhatikan aspek upaya pemutus pendanaan kelompok teroris pula. Ihwal pendanaan perlu dibahas di lain kesempatan.
Prakoso Permono, Mahasiswa Magister Kajian Terorisme Universitas Indonesia.