Khilafah.id – Beberapa waktu lalu, masyarakat heboh dengan kenaikan BBM jenis Pertamax. Narasi yang beredar di antaranya bahwa rezim Jokowi gagal mengurus bangsa. Rata-rata narasi yang beredar adalah mencemooh rezim. Namun ada juga ternyata narasi yang tidak mencemooh rezim, melainkan mencemooh sistem. Bagi pencemooh jenis terakhir ini, solusi mengatasi semua masalah—termasuk kenaikan BBM—adalah perombakan sistem yang ada menjadi khilafah.
Narasi-narasi tentang kenaikan BBM tersebut kemudian mendapat respons dari Badan Intelijen Negara (BIN). Kepala BIN, Jenderal Pol (Purn) Budi Gunawan mengatakan, masyarakat harus melakukan adaptasi gaya hidup seiring naiknya harga Pertamax. “Solusi paling substanstif bagi masyarakat menghadapi kondisi yang mengarah ke stagflasi ini adalah mengadaptasikan gaya hidup dengan kemampuan riil masing-masing,” terangnya, Senin (5/4) lalu.
Namun, tanggapan BIN tersebut semakin menambah kencang narasi yang ada. Maskipun masyarakat banyak memaklumi naiknya Pertamax, semacam ada arus narasi yang sengaja didesain untuk menghilangkan kepercayaan masyarakat pada pemerintah dan sistem pemerintahan itu sendiri. Misalnya, disebarkan narasi bahwa umat Islam semakin tidak sejahtera, dan kesejahteraan tersebut didapat hanya jika bangsa ini menegakkan khilafah.
Secara tidak langsung, kenaikan BBM kemudian menjelma sebagai glorifikasi khilafah dengan cara menarasikan ketidaksejahteraan umat di bawah sistem saat ini. Alih-alih ikut mendorong umat Islam untuk beradaptasi, justru kenaikan BBM dijadikan umpan menggiring umat kepada khilafah yang dirindukan.
Penderitaan Umat Islam
Segala sesuatu yang dirindukan, secara logika, maka ia adalah kebalikan penuh dari realitas yang terjadi sekarang. Jika umat Islam merindukan kejayaan, merindukan masa keemasan, itu artinya hari ini umat Islam sedang terpuruk, sedang menderita. Adalah tidak mungkin kejayaan dirindukan, jika hari ini umat Islam tengah berjaya. Sayangnya, apa yang dirindukan tersebut juga mustahil terealisasi. Faktanya, memang umat Islam tengah kalah, dalam semua aspek.
Imperium Abbasiyah hingga imperium Utsmani berjaya. Apakah hal itu disebabkan mereka menerapkan sistem kerajaan? Lalu untuk kembali berjaya, hari ini kerajaan harus ditegakkan kembali? Apakah sistem kerajaan sama dengan sistem khilafah? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini pasti reduktif. Semua aktivis khilafah buta sejarah, lalu hasrat ingin berkuasa mereka akan berujar: “khilafah tetap harus tegak!”.
Kesadaran umat Islam, bahwa mereka telah dilampaui secara peradaban, hari ini, adalah baik sekali. Namun, yang harus dibenahi adalah kesadaran keilmuannya, bukan hasrat berkuasanya. Apalagi jika cara merealisasikan kejayaan tersebut harus membelah konsensus yang sah, yaitu sistem demokrasi. Karenanya harus ditentang. Bukan spirit kejayaannya yang harus dilawan, melainkan caranya yang keliru. Lagi pula khilafah ala mereka itu palsu. Sekali lagi, palsu.
Kalau mau introspeksi diri, sejujurnya, kemunduruan umat Islam adalah ulah dari umat Islam sendiri. Mengatakan bahwa Islam tertindas pasca runtuhnya Turki Utsmani adalah kebobrokan berpikir—sama sekali tidak berdasar fakta historis apa pun. Islam mengalami kemunduran disebabkan kejumudan berpikir umatnya. Filsafat dan sains dianggap ilmu kafir yang haram dipelajari. Yang tersisa adalah diktat sufistik. Rasionalitas menjadi sama sekali terpinggirkan.
Dahulu, Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd adalah pakar filsafat. Al-Farabi bahkan dijuluki Aristoteles II, karena keahliannya yang tidak sekadar menerjemah filsafat Aristoteles, melainkan juga memberikan catatan kritis—berkontribusi atas perkembangan filsafat itu sendiri. Ibnu Khaldun melahirkan karya monumental, Muqaddimah. Ibnu Sina menguasai sains, ia seorang yang dikenal ahli kedokteran. Mereka semua adalah peneliti.
Intinya jelas. Dulu umat Islam berjaya karena semangat keilmuannya. Bukan karena khilafah.
Khilafah: Utopia Kejayaan
Kenapa hari ini banyak umat Islam yang terjerumus ke dalam ahistorisitas; menganggap Islam berjaya sebab khilafah, dan terindas karena tidak menegakkannya? Tidak lain adalah karena provokasi para pejuang khilafah. Mereka mengasongkan khilafah kepada umat yang dianggapnya tidak paham sejarah. Yang dijanjikan adalah kejayaan. Yang diinstruksikan adalah perlawanan terhadap pemerintah yang sah.
Para aktivis khilafah tersebut bernafsu menguasai politik dan ekonomi dunia, tetapi memakai tameng Islam. Padahal rekam jejaknya tidak terlalu simpatik terhadap Islam. Tetapi apa boleh buat, Islam adalah bungkus paling suci. Melalui tameng ‘Islam’ sesuatu yang bobrok akan terlihat sempurna. Para aktivis menyadari, umat Islam sekarang tidak suka baca. Mereka melakukan indoktrinasi secara visual, utamanya melalui internet.
Jurusnya sama saja: kejayaan masa lalu. Umat Islam digiring untuk berpikir, andai umat berada di atas umat lainnya, mereka tidak akan pernah terindas. Kecacatan logika paling besar yang ada dalam otak mereka adalah menganggap “kejayaan” sebagai “ketidaktertindasan”, dan untuk merealisasikannya adalah merombak tatanan kepemerintahan. Spirit khilafah tersebut lahir dari ruang konflik, di mana umat Islam merasa tertindas disebabkan kejumudannya sendiri.
Sampai kapan pun, khilafah harus ditentang. Sampai kapan pun, narasi khilafah harus dibungkam. Sampai kapan pun, khilafah tidak boleh tegak, apalagi di Republik ini. Tugas berat kita adalah menyadarkan saudara seiman kita agar tidak bodoh, dan tidak mau dibodohi, oleh para aktivis pengasong khilafah. Menjadi berjaya tidak harus dengan cara merusak tatanan kepemerintahan. Menjadi tidak tertindas tidak harus dengan cara menindas.
Biarkanlah khilafah menjadi utopia kejayaan para aktivis khilafah. Umat Islam yang cerdas tidak boleh terpengaruh propagandanya. Yang diinginkan Hizbut Tahrir, JAT, ISIS, dan sejenisnya, adalah kekacauan, sehingga delegitimasi pemerintahan berjalan lancar, dan mereka berhasil duduk di tampuk kekuasaan.
Menempuh kejayaan dengan cara menegakkan khilafah sangatlah keliru. Umat Islam tidak tertindas. Para aktivis khilafahlah yang memprovokasi, memanipulasi, agar umat Islam merasa tertindas. Mereka hanya ingin mengumpulkan massa demi hasrat politik mereka. Kenaikan BBM hanya alat dari propaganda mereka. Hati-hati!
Ahmad Khoiri, Mahasiswa SPs UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.