Khilafah.id – Sudah banyak hal yang mencerminkan bahwa sebagian dari kita, kaum umat Islam, memang lebih senang bereaksi cepat pada hal-hal yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun negara, baik itu berupa kebijakan maupun lainnya. Sebagian kelompok umat Islam yang seperti ini bisanya diwakili oleh adalah PKS, Majelis Ulama Indonesia dan organisasi-organisasi atau front-front yang dibentuk untuk tujuan tertentu misalnya kasus penghalangan pembangunan masjid Ahmadiyah di Sintang dan lain sebagainya. Reaksi itu bertingkat, dari soft (halus) sampai keras (hard).
Namun, untuk isu-isu yang mereka anggap secara keagamaan yang mereka yakini keliru atau menyimpang, reaksinya sangat keras. Bisa saya katakan mereka sangat rewel dalam hal yang mereka anggap telah keluar dari norma dan moralitas agama dalam melihat sebuah kebijakan.
Baru-baru ini misalnya kerewelan itu itu terlihat pada bagaimana respon mereka pada penerbitan Peraturan Menteri Pendidikan-Kebudayaan dan Riset Teknologi No. 30 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Protes mereka terkait dengan tindakan yang tergolong ke dalam kekerasan seksual yakni “Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban.”
Dengan logika yang mereka bangun, butir ini dibawa ke dalam ruang lingkup penafsiran tentang perzinahan atau hubungan seksual dalam perspektif agama. Padahal, jelas apa yang dinyatakan oleh Permendikbudristek ini adalah soal tindakan yang termasuk ke dalam definisi kekerasan seksual, bukan soal tindakan seksual itu sendiri. Sebenarnya, definisi tindakan kekerasan seksual yang dimuat di dalam Peraturan Menteri di atas yang memiliki nuansa yang hampir mirip dengan tindakan kekerasan seksual yang termuat di dalam UU PKDRT.
Bahkan, di dalam UU PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga), suami misalnya bisa dipidanakan jika melakukan tindakan kekerasan termasuk kekerasan seksual pada istri. Bagi kalangan yang berpikir dalam perspektif fikiyyah, jelas ini dianggap aneh. Bukankah istri adalah milik suami, jadi apapun tindakan suami pada istri bisa dimaklumi. Ini menurut mereka juga menolak RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual).
Sementara logika yang dibangun oleh UU PKDRT adalah logika hak asasi manusia di mana hubungan dan ikatan suami istri sama sekali tidak menggugurkan hak orang untuk tubuhnya agar tidak menerima penderitaan dan kekerasan. Logika ini juga sangat cocok dengan maqasid al-syariah dimana tiap kepala manusia memiliki hak dasar untuk menjaga diri (hifdz al-nas).
Sekali lagi, fokuskan pada jenis tindakan kekerasan seksual, bukan pada hubungan seksual. Karena tahu pentingnya pencegahan kekerasan seksual di lingkungan kampus ini, maka Menteri Agama mendukung Permendikbudristek ini. Bahkan Gus Men membuat surat edaran untuk menunjukkan dukungn itu.
Sebenarnya protes atau kerewelan yang sama juga terjadi pada kasus-kasus lain yang tidak hanya menyangkut pada hal-hal yang menurut mereka bertentangan dengan agama seperti dulu terkait dengan kebijakan Jokowi soal investasi MIRAS yang sudah dibatalkan dan hal-hal yang bahkan mendukung agama seperti soal sertifikasi mubaligh dan lain sebagainya.
Karena polanya yang tidak ajek atau tidak selalu dimotivasi oleh agama, di sini saya menganggap bahwa reaksi yang berikan oleh sebagian kelompok Islam pada kebijakan-kebijakan pemerintah memang menjadi lebih terkait dengan soal sikap politik daripada soal agama itu sendiri.
Jika kerewelan itu memang diajukan sebagai mekanisme kritik pada kebijakan pihak yang berkuasa, maka itu justru bisa dipahami apabila memang diletakkan dalam kerangka polirik. Namun, jika agama yang dijadikan sebagai alasan kerewelan, maka justru itu menjadikan sebagai alat politik.
Agar protes mereka itu tidak mengesankan bahwa mereka itu rewel dan terkesan bahwa mereka mengkritik apapun yang keluar dari pemerintah, maka sterilkan protes-protes mereka yang memakai alasan agama. Lebih baik terus terang bahwa sikap politik mereka menolak kebijakan ini dan itu. Tapi menggunakan agama memang bisa cukup ampuh di negeri kita.
Kerewelan sebagian umat Islam pada kondisi yang dihadapinya itu memang terjadi di mana-mana. Tidak hanya pada level Indonesia. Kerewelan itu sebenarnya sebagai salah satu alat untuk menutupi kekurangan-kekurangan dan kemunduran-kemunduran yang dialami. Biasanya, mereka tidak cukup menerima kenyataan.
Namun bagi mereka yang confident akan segala hal yang menimpa diri mereka saat ini sebagai umat Islam, maka mereka lebih banyak tenang dan menanggapi nasib buruk yang menimpa dengan usaha untuk membalikkannya. Mereka berusaha agar mereka bisa menjadi lebih baik karena salah satu sebab yang menyebabkan mereka terpuruk adalah diri mereka sendiri. Jika demikian halnya, mengapa rewel pada pihak lain.
Banyak kerewelan itu dikemukakan justru untuk menutup kelemahan diri dan mencari semacam “kambing hitam”. Ya korbannya menjadi pihak lain. Hal ini harus ditinggalkan oleh kita umat Islam.
Bukannya kerewelan itu hal yang buruk, namun jika kerewelan itu terjadi terus menerus pada setiap masalah yang dikeluarkan oleh pemerintah atau negara atau pihak lain (the others), maka orang akan menilai bahwa itu bukan semata kerewelan yang wajar, namun kerewelan yang politis.
Jika umat Islam dicitrakan demikian, maka itu sungguh merugikan umat Islam. Seolah-olah umat Islam bisanya marah dan protes saja. Konsekuensinya, kerewelan sebagian umat Islam itu dianggap sebagai asal rewel saja. Dalam bahasa lain, bukan merupakan kerewelan substansial.
Dalam sejarah keemasan Islam, lebih banyak umat Islam mencurahkan sebagian besar waktu mereka untuk berkreasi dan berinovasi. Mereka berpikir pada hal-hal urgen yang bisa membawa perbaikan nasib umat Islam. Mereka berpikir pada bagaimana mengembangkan ilmu pengetahuan dengan melakukan gerakan terjemahan besar-besaran sumber-sumber pengetahuan dari luar Islam ke dalam bahasa bahasa Islam.
Sebagai catatan, rewel, protes dan kritis atas kebijakan pemerintah itu hal yang baik, namun harus diberi catatan bahwa itu semua dilakukan bukan karena kedudukan dan sikap politik yang berbeda, namun itu benar-benar bertujuan untuk kemaslahatan bersama.
Perbedaan antara kerewelan yang muncul karena kemaslahatan bersama dan kerewelan yang muncul karena keirian atau politik itu bisa dlihat pada hal-hal yang direwelkan. Apabila yang direwelkan itu menyangkut kepentingan umat manusia semua, maka kerewelan itu bisa dipahami. Namun jika tidak, maka kerewelan itu bisa dianggap sebagai kenyiyiran.
Ini tinggal sikap pemerintah itu sendiri, apakah mereka teguh pada kebenaran keputusan yang mereka sudah ambil ataukah mereka bergeming.
Syafiq Hasyim, Pengajar pada FISIP UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta dan Visiting Fellow pada Indonesia Programs ISEAS Singapore. Tulisan ini merupakan pandangan pribadi.