Khilafah.id – Baiat menjadi salah satu kajian penting dalam kerangka berpikir Hizbut Tahrir Indonesia. Dikatakan demikian karena hadis tentang baiat dijadikan salah satu tumpuan untuk mendasari klaim keharusan menegakkan khilafah.
Argumen yang dibangun adalah bahwa umat Muslim wajib berbaiat. Masalahnya, mereka selalu mengidentikkan baiat dengan sumpah dan pengakuan kepada seorang khalifah, sebagaimana tertulis dalam Nizam al-Hukm fi al-Islam, karya al-Nabhani. Maka dari itu, konsekuensi yang hadir adalah kewajiban memperjuangkan berdirinya khilafah.
Mengutip pengertian baiat yang dikemukakan Ibnu Khaldun, ia menyebutkan dalam Muqaddimah-nya, bahwa baiat adalah perjanjian atas ketaatan. Patuh dan tidak menentang terhadap hal-hal yang telah dipercayakan umat kepada pimpinan. Dengan kata lain, baiat adalah semacam praktik seremonial untuk mengukuhkan sumpah setia rakyat terhadap seorang pemimpin. Dampak logisnya adalah keharusan patuh kepada pemerintah selama tidak dalam maksiat kepada Allah SWT.
Melalui sudut pandang sejarah, M. Quraish Shihab memberikan gambaran yang lebih luas mengenai makna dan praktik baiat. Pada masa Rasulullah SAW, baiat yang diikrarkan umat Muslim adalah janji setia untuk mengikuti dan memertahankan ajaran-ajaran Islam. Sedangkan pada periode setelah Nabi SAW, baiat lebih banyak dipahami sebagai kesaksian dan janji dalam urusan politik.
Setelah runtuhnya kekhilafahan, makna baiat kembali kepada khittah-nya, yakni janji setia untuk menjalankan ajaran Islam. Kemudian, muncul polemik mengenai baiat di masa sekarang. Kepada siapakah umat Muslim harus berbaiat? Apakah kepada seorang ulama atau pemimpin sebuah jemaah Islam? Sedangkan jumlah mereka tak terbilang adanya.
Di tengah kondisi ini, HTI hadir. Dengan berbekal dalil-dalil syariat mereka menjaring dukungan masyarakat untuk mendirikan khilafah. Salah satu hadis yang populer mereka jadikan pegangan adalah adanya ancaman mati dalam keadaan jahiliah jika tidak berbaiat sampai ajal menghampiri. “Siapa saja yang melepaskan tangannya dari ketaatan kepada Allah, niscaya dia akan menjumpai Allah SWT pada Hari Kiamat dengan tanpa memiliki hujah. Dan siapa saja yang mati sedangkan di atas pundaknya tidak terdapat baiat, maka dia mati dalam keadaan jahiliah.” (HR. Muslim).
Memelintir dalil sepertinya sudah menjadi tabiat HTI. Memunculkan klaim-klaim tabu yang ngawur. Oleh mereka, hadis ini dijadikan salah satu dalil kewajiban penegakan khilafah. Penafsiran gegabah ini menyebabkan tekanan psikologis tersendiri bagi kalangan awam. Kematian yang sia-sia bergelayut dalam bayangan mereka jika tidak turut serta dalam pendirian khilafah. HTI memanfaatkan kontrol atas ketakutan ini untuk menjaring massa.
Sejatinya, hadis ini berbicara mengenai kewajiban taat kepada Allah SWT dan isyarat tentang keharusan berbaiat kepada pemimpin politik umat secara umum, tanpa membatasi bentuk negara dan sistem pemerintahan. Tidak ada lafaz yang secara khusus mengarah kepada khilafah. Mereka terlalu mengada-ada dan tidak berupaya memperhatikan hadis lain untuk memperjelas makna dan konteks dari baiat itu sendiri.
Lebih lanjut, Ibnu Sa’d menuturkan dalam Thabaqat al-Kubra. Dikisahkan, bahwa ketika masa kepemimpinan khalifah Yazid bin Mu’awiyah, Ibnu Umar mendatangi Abdullah bin Muthi’ yang sedang menjabat sebagai penguasa di Harrah, Madinah. Kedatangannya berkenaan dengan kasus Abdullah bin Muthi’ yang hendak melarikan diri karena enggan menaati sang khalifah. Saat itu tepatnya sedang terjadi fitnah di masa pemerintahan Yazid. Ibnu Umar datang bermaksud mencegahnya melarikan diri sembari menyampaikan peringatan dari hadis Nabi tadi.
Sementara itu tidak diketahui secara pasti asbab al-wurud dari hadis tersebut, sehingga konteks yang melatari Nabi SAW mengucapkannya juga belum jelas. Namun demikian, Ibnu Umar yang meriwayatkan langsung dari Rasulullah SAW, baru menyampaikannya belakangan saat era Yazid bin Muawiyah.
Sekalipun tidak didapati latar belakang primer saat Nabi menyabdakan hadis ini, namun tindakan Ibnu Umar sudah cukup memberi titik terang mengenai konteksnya. Sama sekali bukan terkait dengan legitimasi pendirian khilafah, melainkan untuk menjaga ketaatan seorang Muslim terhadap pemimpinnya, sekalipun sang pemimpin berlaku zalim.
Mari kita cermati hadis serupa yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan Abu ‘Awanah. Melalui riwayat mereka, diketahui bahwa suatu hari di musim panas, Ibnu Umar mendatangi Abdullah bin Muthi’. Ibnu Umar disambut dan dipersilahkan duduk dengan bantal. Namun ia enggan dan mengatakan bahwa kedatangannya adalah untuk menyampaikan sabda Nabi SAW yang berbunyi, “Barang siapa yang melepaskan tangan dari ketaatan, maka ia tidak akan memiliki hujah pada hari kiamat. Dan barang siapa yang mati, sedangkan ia memisahkan diri dari jamaah (mufariq li al-jamaah), maka ia telah mati seperti kematian jahiliah.”
Riwayat tersebut sedikit berbeda. Terdapat redaksi mufariq li al-jamaah. Semakin mempertegas bahwa makna yang dikandung adalah kewajiban mematuhi pemimpin yang sah dan larangan keras melakukan pemberontakan. Ketaatan kepada pemimpin dan ancaman adanya pemberontak memang dua hal yang tak terpisahkan dalam kehidupan bernegara. Nabi sangat menyadarinya, sehingga beliau jauh-jauh hari telah mengeluarkan peringatan.
Menambahkan apa yang disampaikan Quraish Shihab, terma baiat dalam literatur hadis Nabi SAW tidak hanya berkenaan dengan konteks kepemimpinan, melainkan digunakan pula dalam beragam konteks. Dengan demikian, uraian di atas mendelegitimasi anggapan HTI bahwa istilah baiat hanya berlaku pada arena kekhilafahan.
Rasulullah SAW dalam berbagai kesempatan, mengingatkan akan kewajiban taat kepada penguasa yang sah dan telah disepakati umat. Imam Tirmidzi mengutarakan dalam suatu riwayat, bahwa hancurnya dunia ini lebih ringan (dosanya) daripada terbunuhnya seorang Muslim.
Bukan tanpa alasan, mengapa sekalipun seorang pemimpin berlaku zalim, kita tetap harus mematuhinya. Semua itu demi menghindari fitnah dan pertumpahan darah dan mengambil resiko yang paling kecil. Kita lihat, orang-orang yang memberontak kepada penguasa, hanya akan menyisakan duka lara dan melayangnya nyawa-nyawa yang tak berdosa.
Singkat kata, dalam wacana kontemporer, baiat diartikan sebagai janji kesetiaan kepada pemimpin dan negara yang kita diami. Adanya partisipasi aktif dalam pengawasan kinerja pemerintah, serta menyampaikan kritik dan keluhan dengan baik dan bijak. Jika melihat pemimpin zalim, jangan mencaci dan menyumpah serapahinya. Namun doakan dan tetap siaga untuk mengingatkan, bukan malah memberontak atau melakukan tindakan makar.
Jika demikian adanya, lalu siapa sebenarnya yang berpotensi mati dalam keadaan jahiliah? Pelaku makar yang piawai menikung dalil sebagai dalih menegakkan khilafah, atau rakyat biasa yang tetap mengakui Pancasila, demokrasi dan pemerintah? Entahlah.
Khalilatul Azizah, Muslimah reformis yang aktif di bidang kontra-transnasionalisme.